Pengalaman Saya Menjadi Perempuan
Profil Penyegaran Singkat
Seperti memulai perkenalan dari awal pertemuan. Saya, Atssania Zahroh.
I’am 25 years old. Di usia seperempat abad ini, banyak hal yang saya syukuri.
Salah satunya saya masih bisa merasakan sekolah, tepatnya di jenjang magister.
Terkadang pertanyaan dalam diri saya muncul. Kenapa memilih sekolah lagi
setelah sarjana? Rasa ingin belajar di dalam diri seperti tumbuh. Tumbuh, bisa
jadi seperti tumbuhan yang tumbuh tunas di samping pohon induknya, tumbuh
cabang di setiap ranting, atau bertambah jumlah daun-daun kecil. Mungkin itu
analogi yang cocok.
Keinginan saya sekolah magister, mulai tampak ketika di Aliyah. Betul,
jika keinginan sekolah sarjana setelah lulus Aliyah, hampir semua siswa merencanakan
untuk terwujud. Termasuk saya. Namun, ada saja rasa yang liar, ‘Aku ingin
sekolah lebih tinggi’.
Setelah empat tahun perjalanan sekolah sarjana saya berlalu, ada muncul
pertanyaan, apa rencana setelah kuliah? Pertanyaan di malam keakraban
terakhir bersama teman, sebut saja AMP2. Giliran saya menjawab, ‘Saya tentu
masih ingin sekolah lagi selagi ada kesempatan’.
Itu hanya sebuah pertanyaan dan jawaban pada saat itu saja. Waktu
berlalu dengan ritmenya. Waktu menjawab langkah saya, saya kembali ke Jepara
dan menuntaskan tanggung jawab pasca sarjana (bukan S2 ya), yaitu menjalani masa pengabdian.
Cerita pengabdian sudah banyak saya arsipkan di sini. Sedikit saja ungkapan pengabdian beberapa waktu lalu, agar bisa menarik benang merah.
‘Meskipun saya harus mengabdi dan waktu idealnya tiga tahun, saya harus lalui.
Saya harus tuntaskan segera, karena jika saya masih ingin sekolah tentu harus
menyelesaikan tanggung jawab ini. Sesekali melihat usia juga hehe, jika 3 th (pengabdian) +
2 th (masa kuliah S2), saya lulus sarjana di usia 22, bagaimana hasil akhirnya? Menghitung usia karena
juga memikirkan usia ideal menikah. Hihi. Aku dapat referensi menikah di waktu ideal, juga bagus untuk masa reproduksi.
Singkat cerita, kesempatan daftar sekolah magister datang di masa
penyelesaian tanggung jawab pengabdian itu. Rasa ‘sekolah yang tumbuh’ tadi
semakin subur, eh tumbuh bunga eh tumbuh buah, eh harus panen. Tiba
waktunya saya meminta ijin untuk sekolah lagi ke Ibu Nyai. Restu dan usaha pada
rangkaian waktu itu atau rangkaian waktu sebelum-sebelumnya, termasuk dalam
usaha untuk titik sekarang ini. Alhamdulillah, rasa sekolah itu benar-benar
saya rasakan lagi.
KUPI 2 (Kongres Ulama Perempuan Indonesia Ke-2)
Siapa sangka, saya bisa mengikuti event ini. Saya mendengar KUPI ketika
saya kuliah sarjana. Tapi saya belum paham banget. Sewaktu di pengabdian, saya
mendengar kata serupa ketika mengikuti
Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) oleh Ibu Nur Rofi'ah, disitu saya mendapati kata yang sama, yaitu KUPI.
Sebelumnya, saya mengetahui Ibu Nur Rofiah sekedar nama saat di Bandung pernah ikut
ngaji secara offline. Selain itu, tahu jika Ibu Nyai Hindun (Bunda) juga masuk
di dalam KUPI. Saya ingat juga, Ibu Masriyah Amva pengasuh PP. Kebon Jambu Cirebon masuk di dalam KUPI. Padahal sebelumnya sudah pernah bertemu saat rihlah di Pesantren Kebon Jambu tahun 2017, namun belum
mengenal apa itu KUPI.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah perhelatan kongres yang
digagas oleh Alimat, Fahmina, Rahima, dan organisasi lain yang peduli dengan
isu perempuan. Lebih tepatnya, memiliki tujuan yang sama yaitu meneguhkan peran
ulama perempuan yang memperjuangkan Kesetaraan Gender yang berlandaskan Islam.
Kenapa ingin mengikuti KUPI?
Jawaban versi saya, tentu menjemput pengalaman berharga. Di samping itu,
peran-peran perempuan yang pernah hadir di kehidupan saya membuat saya ‘ingin
seperti beliau-beliau’. Ingin di sini memiliki banyak makna, yang pasti
semangatnya, dedikasinya, dan yang terpenting keseharian (kesahajaannya).
Pengalaman pribadi saya, ketika saya di Aliyah, saya bisa bertemu,
membersamai guru perempuan, atau Ibu Nyai. Banyak sekali nilai yang saya ambil
dari mereka dan menjadikan saya bertahan dan berkarya, serta ‘saya ingin
menekuni hal “ke-perempuan-an”’.
Di jenjang magister ini, bertepatan dengan perhelatan KUPI 2 setelah
lima tahun berlalu (2017). Sekarang, di tahun 2022, ternyata saya sudah cukup
umur dan mengetahui spirit dalam diri saya. Motif sederhana, “Saya ingin
bertemu dengan perempuan-perempuan hebat dan menjadikan diri saya berdaya”.
Saya mengikuti beberapa kelas di dalam rangkaian KUPI. Diantara yang
masih saya ingat; kelas umum yang diisi oleh Ibu Alissa Wahid, Ibu Nur Rofiah,
Bapak Faqih. Selanjutnya, saya mengikuti kelas paralel pengelolaan sampah (di
kelas ini saya tidak menemui tokoh secara sadar, namun ternyata disitu ada Ibu
Nisa yang memiliki pesantren Ekologi di Garut. Satu lagi, saya mengikuti kelas
paralel pemanfaatan media mencegah radikalisme; saya bertemu Ibu Lies Marcoes
dan Bapak Noor Huda. Pengalaman luar biasa saat bisa mengikuti kelas bersama
beliau-beliau, meskipun masih banyak tokoh yang tidak bisa saya sebut satu
persatu.
Di luar kelas, saya bisa berfoto ria dengan Mbak Kalis, Ibu Amina Wadud,
Ibu Awani Amva, Ibu Dosen Eny, dan Umik Aizzah Amin. Pertemuan yang diawali
mimpi dan dalam bayangan, akhirnya terwujud di momen itu. Alhamdulillah.
Jika mendapat pertanyaan ‘Apa yang didapat dari KUPI?’, saya tegas
menjawab kit (cinderamata). Hehehe. Ilmu baru yang pasti, dong.
Saat peserta memfatwakan membuang sampah sembarangan dihukumi haram karena
merusak lingkungan, merugikan banyak pihak. Adapun seputar media, banyak yang
memuat konten Islam namun ternyata menggerogoti ideologi Pancasila. Ada lagi
tentang menikah, yang di dalamnya adalah Keadilan, Keseimbangan, dan Kesalingan.
Gelas kosong telah terpenuhi dengan air bernutrisi, -Saya-.
Terlepas dari ilmu teoritis itu, saya melihat ilmu baru, yaitu
antusiasme peserta. Ada pegiat literasi, jurnalis, masyarakat umum, akademisi,
aktivis, dan yang istimewa adalah para difable yang turut menyemarakkan KUPI 2.
Jadi ingin kembali bertanya dan menengok hati kecil. Apakah semangat dalam
diriku masih berselimut dan beralas bantal, sehingga masih betah ngerem dan
susah bangun? Ilmu baru itu adalah semangat pembaharu. Ecstatic.
Spirit untuk terus berdaya, seperti wejangan Ibu Nur Rofiah “Aku ada,
maka aku Bermanfaat”, atau sebaliknya. Meskipun usaha untuk menanggalkan
patriarki atau sesuatu tersebut yang tidak sesuai Al-Qur’an adalah hal yang
tidak instan, tapi yang dilakukan adalah terus bergerak. Ingatkah ada target
awal, antara, target final? Final memang tujuan akhir ‘yang sangat sulit’ di
raih, namun kita terus bergerak di ‘target antara’ yaitu kesetaraan, keadilan
hakiki. Semangat untuk memperbaiki sistem yang keliru inilah yang tidak boleh
padam, agar mendekati target final.
Lahirlah Buku ‘Bertemu Ulama Perempuan’
Saya senang bisa melihat nama saya ada di dalam buku, alih-alih seorang
penulis. Buku yang berjudul Bertemu Ulama Perempuan adalah buku bunga rampai
yang ditulis sebagai penyemarak agenda KUPI. Tidak lain tujuan penulisan itu
adalah mengenal siapa saja Ulama Perempuan, pengalaman pribadi dengan Ulama
Perempuan yang dijumpai, dan disitu tampak peran (meneguhkan) Ulama Perempuan.
Saya menuliskan cerita di dalamnya, bertajuk “Hindun Anisah: Mendukung
Pendidikan Tinggi”. Cerita nyata saat saya sebagai santri/murid bertemu
guru/Ibu Nyai Hindun Anisah (Bunda).
Saya sebagai santriwati, pernah mendapat kesempatan belajar dengan Bunda
di mata pelajaran History-disini saya mengenal apa itu keberagaman
keberagamaan, interfaith. Saat di pesantren, saya dibekali wejangan,
pengalaman soft skill, yang pasti ngaji banyak kitab yang dikaitkan dengan
hubungan saat ini Pesan Bunda, seorang santri harus semangat menempuh sekolah
tinggi. Perempuan harus berani bersuara, saya sebut jiwa jurnalis dalam diri.
Ini semua saya dapat dengan perantara Ibu Nyai Hindun Anisah.
Meskipun buku yang sudah tercetak adalah bunga rampai dengan kumpulan beberapa penulis, saya merasakan apa itu kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Terimakasih yang tiada tara atas semua pengalaman, terimakasih pada semua perempuan di sekeliling saya, dan saya sendiri yang sedia menjaga spirit menulis. Mungkin ini langkah awal untuk kebaikan tulis-menulis saya di masa mendatang. Aamiin.
kok saya belum punya bukunya ya? hehehe
BalasHapus