Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri
(Materi Prof. Quraish Shihab di Acara
Islamfest Sesi Book Talk Tentang Hak dan Perlindungan Anak Dalam Islam)
Dokumen pribadi: Launcing Buku "Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam" |
Suasana di suatu sore begitu khidmah, tidak
ada peserta yang berucap kalimat saat Prof. Quraish Shihab (kami memanggil
dengan panggilan Abi) menyampaikan materi. Saya juga mendengarkan beliau dengan
seksama. Acara yang sedang berlangsung tersebut bertajuk Islamfest. Islamfest
digelar sebagai rasa syukur atas 10 tahun platform islami.co berkiprah.
Acara hari itu mengusung tema ramah anak. Salah
satu pengisi acara inti adalah Abi Quraish. Abi Quraish mengungkapkan kisah
putri-putrinya. “Kenapa Abi bisa memiliki putri yang cerdas dan sangat menyukai
belajar?”, pertanyaan dari Mba Kalis selaku moderator. Sekilas tentang putri
Abi Quraish, mulai dari Mba Najwa dengan keahlian di bidang jurnalis, Ibu Ela
di bidang pendidikan dan psikologi, Ibu Caca adalah seorang dengan management
yang baik di Pusat Studi Qur’an, dan Mba Nahla yang telah menyelesaikan
pendidikan di dokter spesialis. Luar biasa, kesemuanya menekuni bidangnya
masing-masing.
Abi Quraish di acara Islamfest saat itu
ditemani Ibu Ela—tersenyum mendengar pertanyaan pertama itu. “Jangan membedakan
pengasuhan kepada anak laki-laki dan anak perempuan”, kalimat yang terucap
pertama kali dari Abi Quraish. Selain itu, menjadi pendidik anak (orang tua)
sudah seharusnya memberikan kesempatan berpendapat pada anak seperti saat memilih
jurusan (dalam kuliah). Disini tentu yang diajarkan adalah nilai demokratis.
Orang tua selalu mendukung setiap usaha atau kemauan anak, memberi saran, tanpa
menjadi sosok yang otokratis.
Kesuksesan di dalam keluarga Abi Quraish adalah
kecintaan terhadap ilmu, berjuang dalam belajar, dan menekuni bidang yang
memiliki banyak manfaat untuk pribadi dan sekitar. Ibu Ela menyampaikan kalau keluarga
Abi Quraish adalah keluarga yang cinta membaca. Kebiasaan Abi Quraish membaca,
bahkan Kakek Ibu Ela selalu membiasakan untuk membaca. Sehingga inilah salah
satu faktor keberlanjutan suasana dan kecintaan belajar yang dimiliki oleh
putri-putri Abi Quraish.
Abi Quraish menjelaskan, anak yang sukses
bukanlah proses yang instan. Proses dalam mempersiapkan seorang generasi
penerus sudah dimulai sejak sebelum mereka lahir. Secercah tips yang membuat
riuh ruangan dengan tepuk tangan adalah ucapan Abi Quraish, “Proses lahirnya
anak yang cerdas dimulai saat orang tuanya bertemu. Anak yang cerdas adalah
bertemunya perempuan yang cerdas dan laki-laki yang baik.” Antara laki-laki dan
perempuan sama-sama mempersiapkan diri dan membekali diri.
Saya sebagai peserta Islamfest juga
semangat bertepuk tangan. Saya juga merasakan pancaran cahaya yang masuk ke
dalam akal seakan mendapatkan nutrisi. Saya mendapat dua poin penting, yaitu keluarga
(pasangan suami istri) dan belajar. Menurut saya keduanya berkaitan. Saya
mencoba mengaitkan dengan sebuah pencarian jodoh atau model perjodohan. Jodoh
seperti identic dengan syarat-syarat yang bisa menjadi patokan kecocokan antar
pasangan. Salah satunya tingkat pendidikan. Tapi menurut saya ini sebuah hal
yang relative ya, tidak semua orang sama dalam memahami ‘syarat’ ini. Asal
Cinta, kata pamungkasnya. Heuheu…
Setujukah jika pasangan itu ditentukan
dengan persamaan pendidikan antara keduanya? Lalu pemahaman pendidikan seperti
apa sih yang tidak bermakna negasi? Mari pahami secara teks dan konteks.
Saya ingin mengulas makna dari pendidikan.
Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara, memberi latihan
atau pengajaran yang berkaitan dengan akhlak dan kecerdasan. Saya iseng saja
menulis di kolom pencarian dengan kata tidak baku atau dengan imbuhan
‘pendidikan’. Kata tersebut muncul tanpa arti, namun disertai dengan kata lain,
yaitu ‘bijak’. Bijak sendiri memiliki arti akal budi, pandai, dan cakap. Saya
harap pembaca sudah bisa menyimpulkan pengertian pendidikan.
Pendidikan juga seringkali dikaitkan dengan
sekolah. Sekolah berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta
tempat menerima pelajaran sesuai tingkatannya. Sekolah inilah yang seolah menyempitkan
makna pendidikan, ‘Saya tidak berani dengan perempuan itu, karena pendidikannya
tinggi (sarjana)’. Salah satu ungkapan laki-laki kepada calon yang tidak jadi
calon. Saya belum mengadakan survey sih, tentang alasan laki-laki yang
memilih alasan tersebut. Akan tetapi saya ingin sharing dari beberapa
informan; teman, saudara, bahkan orang tidak dikenal (dari podcast contohnya).
Saya menyebutkan alasan di atas karena relate dengan ungkapan yang
pernah saya dengar dari Mbak Kalis. “Misalkan laki-laki tidak mau isterinya
sekolah tinggi, emang mau isterinya sekolah SD? Apakah mau anaknya dididik
dengan pengetahuan setingkat SD?”
Saya mencoba merefleksikan apa yang saya
dapat dari Islamfest, pengalaman pribadi dan sejawat yang sedang di usia 20++,
sekaligus memori tentang Mba Kalis. Pertama, keluarga itu kunci daripada
masa depan anak. Anak bisa sukses bukan berasal dari sekolah semata. Akan
tetapi sebagian besar adalah bagaimana pendidikan di dalam keluarga. Kedua,
pendidikan tidak hanya terbatas dengan pengertian sekolah. Misalkan diartikan
sebagai sekolah yang memiliki tingkatan dari TK sampai Sarjana (1,2,3) bukanlah
kunci seorang itu cerdas dan berakhlak. Sehingga ketika seseorang itu
menentukan pasangan-kesesuaian pandangan atau tujuan adalah berdasarkan
pribadinya. Sehingga kalimat “Saya tidak berani meminang karena S1 atau S2”
sepertinya harus dikonstruk kembali. Walaupun saya tidak menafikan, peran
sekolah itu sangat besar dalam mendidik manusia. Ketiga adalah belajar
dan membaca. Meskipun seseorang itu tidak terlembaga dalam instansi sekolah,
kecerdasan itu dapat diperoleh dari mencintai belajar dan membaca. Seperti yang
diungkapkan Abi Quraish. Sejak orang tua Abi Quraish telah membiasakan membaca.
Saya yakin pada waktu itu pendidikan tidak seterbuka hari ini bahkan lulusan
Ayah Abi Qurash belum tentu lebih dari Abi Quraish (saya harus teliti ini).
Namun, hal yang saya garisbawahi adalah belajar dan membaca itu adalah laku
baik yang tidak dibatasi jenjang (usia atau lembaga).
Berpendidikan adalah bukan alat untuk
menguasai, alih-alih memenangkan ego pribadi. Berpendidikan adalah cara untuk
mengentas kemiskinan, kebodohan, nir-akhlak. Berpendidikan adalah proses yang
dimulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga atau keturunan kelak.
Berpendidikan adalah mengajak membaca dan melek pikiran bersama-sama.
Pasangan suami-istri, ayah-ibu, kakek-nenek
bersatu itu bukan karena sama rendah atau tingginya tingkat sekolah. Tapi memiliki
kesamaan tujuan untuk melanjutkan keturunan yang lebih baik pemikirannya dan
bisa belajar serta berpendidikan-memperbaiki pendahulunya.
Prof. Quraish Shihab juga memberi tanggapan
tentang Childfree. Ini hal menarik selanjutnya!
Red Top Hotel-Pecenongan, 10 Juni 2023
Komentar
Posting Komentar