Hidup adalah Jalan Tasawuf
Dari puncak candi Borobudur |
Timbul
pertanyaan dalam benak. Ketika itu, dalam suasana perkuliahan yang sedang
membahas tentang Epistimologi Tasawuf dalam ruang kelas. Epistimologi berarti
cara untuk mengetahui. Jika ada kalimat, “secara epistimologi” berarti
mengungkap dari sisi pengetahuan yang mendasarinya (teori atau ungkapan
tersebut). Pengetahuan/cara mengetahui Tasawuf adalah dengan ma’rifat.
Pengetahuan yang hakiki (Tasawuf/Sufisme) adalah terlepas dari hawa nafsu.
Definisi ma’rifat adalah sebagai berikut:
المعرفة: ان يتولى الله العبد(عبد)ب المعزفة
Artinya:
“Allah mentawally (mengambil alih), penghambaan kepada-Nya dengan Ma’rifat
Ma’rifat
dapat didefinisikan sebagai diri manusia yang sudah tidak bergantung (sengaja
melepas) ego/hawa nafsu. Pada diri manusia sudah menyerahkan sepenuhnya pada
Allah, ‘bagaiamana suka Allah’. Kita cukup dengan cinta, sukarela, tanpa
mengharap imbalan dalam menghadap-Nya. Terserah Allah atas diri kita. Sepenuhnya
pengabdian hanya pada Allah. Kita cinta dan suka rela, tidak ada yang membatasi
lagi untuk berbuat apapun demi yang kita cintai, dan tidak ada rasa untuk
menuntut. Hanya memberi, dan yang dicinta cukuplah Dia yang tahu dan bagaimana
atas kita. Bukan lagi urusan kita apa yang ia lakukan (balasan) pada kita. Kita
cukup melakukan, dan memberi.
Terlepas
dari hawa nafsu demikian adalah wujud dari penghambaan. Apa adanya diriku (apa
adanya diri ini) dihadapan Allah. Bukan atas dasar subjektifitas atau salah
satu pihak. Buya Nursamad Kamba mengungkapkan ma’rifat (tasawuf) dengan
fenomena politik:
‘seperti demokrasi (dalam memilih
pemimpin), belum menerapkan ma’rifat. Masih terbungkus dalam ego para penguasa.
Bukan jujur, bukan objektif. Namun berisikan subjektif. Apakah ini yang disebut
demokrasi?’
Pertanyaan
Buya di atas yang menjadi pertanyaan saya, namun pertanyaan baru. Beliau
mengungkapkan demokrasi yang kurang tepat yang telah diterapkan di Indoensia.
Beliau mengungkapkan tidak objektif, demokrasi yang telah ada saat ini. namun
penulis sendiri juga berkecamuk dalam pikiran kerdilnya, ‘lantas yang
objektif yang seperti apakah di dalam demokrasi yang sebenarnya?’. Namun
juga ada titik bias menurut penulis akan demokrasi kali ini yang tertuang dalam
pembahasan Tasawuf. Titik bias; apa yang menurut saya tidak sesuai, namun
menurut orang lain sudah tepat. Dan untuk peringatan saja, bahwa semua itu bias
atas manusia. Setiap manusia berhak menafsirkan apa yang ia tangkap. Cukup satu
saja yang tidak bias, yaitu cinta Tuhan (Allah) kepada makhluknya. Dan cinta
itu dimanifestasikan pekerti manusia antar manusia. Ya, berkahlak baik, menabur
kebaikan pada sesama dan alam semesta.
Bukankah
memilih atas kehendak sendiri (demokrasi) itu sudah objektif, karena sesuai
hati nurani pemilih. Namun juga dapat dikatakan subjektif, karena pemilih hanya
memilih satu saja, dan pasti dengan tujuan ingin memenangkan orang yang ia
pilih (sesuai hawa nafsu). Lantas yang seyogyanya seperti apa? Demokrasi
memliki dua sisi. Pertama, menerapkan nilai tasawuf (bermakrifat) karena atas
pilihan sendiri tanpa pengaruh orang lain, tapi menurut nuraninya. Namun sama
sekali tidak mengandung nilai tasawuf, jika dikaitkan dengan pilihan yang ingin
memenangkan satu golongan, dan berdasarkan hawa nafsunya. Menurut penulis itu
menjadi kontradiksi. Dan ditambah lagi fenomena yang tidak mengandung nilai
tasawuf, adalah ketika merisaukan pilihan orang lain. Masih berbicara akan
kekurangan pihak lain, dan masih menginginkan (pemimpin) yang jujur,
menghendaki kesejahteraan, dan masih banyak lagi ungkapan ketidakpuasan yang
kita rasakan atas (pemimpin) orang lain. Namun juga di sisi lain atas dasar
menghargai hak masing-masing (mungkin ini Tasawuf), untuk apa merisaukan
pilihan orang lain, sedangkan mereka memilih tersebut juga memiliki alasan
masing-masing. Jadi di sini letak tidak balanced antara dua statement,
mana yang demokrasi yang tepat dan terlepas dari hawa nafsu, yang berawal dari
nilai-nilai atau mengamalkan nilai ketasawufan? Atau, yang berdsasarkan nurani.
Apakah demikian sudah menerapkan nilai tasawuf, yang tidak perlu dirisaukan
kembali?
Masih
berlanjut untuk sedikit mendiskusikan sebuah jawaban yang saya inginkan. Lantas
kubertanya balik. Dan ini merupakan pendapat Buya Kamba, dan bisa menjadi
refleksi untuk pribadi saya. “Yang dimaksud merisaukan pilihan orang lain
adalah disini perlu adanya penyadaran diri, dan membersihkan diri pribadi. Dan
pemimpin mulai berpikir kreatif, membicarakan bagaimana langkah agar manusia
atau rakyat mendapat pekerjaan, saling memajukan bersama, bagaimana rakyat
bahagia. Sejauh ini, ketidakpuasan rakyat yang dirasakan. Politik atau dalam
memilih pemimpin sudah salah kaprah. Dengan politik, menjadi adanya perpecahan,
ribut antar penguasa untuk menunjukkan yang adikuasa diantara keduanya.
Sedangkan rakyat kecil, kebuthan makan setiap harinya belum terjamin. Apakah
ini pemimpin yang didambakan? Kan tidak”.
Cukup
sampai situ saja, jika dilanjutkan, tidaklah kepuasan manusia yang di dapat.
Tapi saya sendiri berterima kasih atas pengetahuan yang sedikit yang baru saya
peroleh akan tasawuf. Tasawuf terdapat dalam seluruh aspek. Dimanapun, kita
sadar kita bukan Tuhan yang bisa merubah keadaan, dan kita manusia yang
bertanggung jawab atas kemanusiaan diri kita pribadi. Kita bertugas untuk
menghamba, kita butuh Tuhan, kita tidak usah risau dengan banyak gemerlap yang
di dalamnya justeru lingkar kegelapan yang saling mejatuhkan dan ingin
dibenarkan sendiri, dan menjadi pemenang diantara pemenang. Tasawuf untuk diri
kita sendiri, kita yang menjalani kehidupan ini, yang membutuhkan Tuhan, dan
otomatis kita sendiri yang merasakan, bagaimana pahit dalam meniti jalan
menuju-Nya, lalu menikmatinya, dan merasakan seolah-olah pahit adalah manis
karena semua itu Cinta Tuhan. Dan Cinta Tuhan diturunkan untuk semua makhluk,
baru disitulah kesadaran kolektif, kesejahteraan bersama dicapai. Kita fokus
untuk membersihkan diri kita, mengisi dengan kebaikan pada diri kita, dan semua
diliputi (Kuasa) Allah. Maka Allah dengan terbuka merubah semua dengan
keniscayaan. Itu Kehendak Allah, bukan kita yang berhak mengatur kapan
keniscayaan itu muncul. Dan itulah yang kita tuju, kita jihad ma’rifatullah.
Yang bukan atas dasar nafsu kita, dan pengetahuan yang semurni-murninya.
Kita
serahkan setelah kita berusaha, mencari dan terus mencari. Termasuk pemimpin
negeri, Tuhan sudah menuliskan di alam sana, terlepas sang pemimpin terdapat
kekurangan dan kelebihan (bias), hanya Cinta (Kuasa) Tuhan yang mutlak. Dan
kusadari bersama (bermaiyah) adalah jalan sunyi, yang sedang saya alami. Saya
bersama, berdiskusi, namun pada akhirnya
adalah perlu mendialogkan dengan diri saya pribadi, karena perbaikan sejatinya
adalah dari diri kita. Wallahu A’lam
Komentar
Posting Komentar