Petuah Sang Ustadz, "Sangu Urip"

“Jangan berpikir setelah lulus nanti kerja apa?”, Tapi berpikirlah, “Apa yang bisa dan harus saya lakukan?”, pesan Pak Ustadz di dalam mauidhohnya.

Sekarang ini sedang musim politik. Dan semakin dewasa, maka semakin berpikir pula diri saya ini. Berpikir bahwa kalimat, “Setiap orang adalah pemimpin”, adalah benar adanya. Jadi mencocokkan kalimat itu dan diri saya sendiri. Sehingga terbersit dalam benak, “Apa yang kira-kira cocok dipimpin oleh saya? Atau, “Saya ini pemimpin yang bagaimana? Dan apa yang harus saya lakukan?, hmmm.”

Kebetulan disuatu malam, di pondok pesantren, sedang berlangsung kegiatan yang cukup khidmat, “Pelantikan Pengurus Pondok Pesantren”, di judul bannernya demikian. Maaf-maaf saja kalau kita mendahului pelantikan Presiden beserta jajaran menterinya. Semoga lancar pemilu di Indonesia kelak. Aamiin. Dan saya sangat setuju, pelantikan atau sumpah, semacam janji dimulai dari komunitas atau tingkatan terbawah pun, tanggung jawab tetaplah tanggung jawab, yang konsekuensinya bukan sekedar main-main, terlebih jika untuk kalangan yang lebih luas, pasti kadar tanggung jawab lebih luas (besar). Sudahlah, mari kita mulai dari sekeliling kita, daerah terkecil dan terdekat kita, maka ketika dalam skala yang lebih besar, ga akan kaget. Dan sudah biasa saja, untuk keep responsible.

Di malam itu, tak ada santri yang berucap kata, dari mulut atau mungkin dari hatinya. Hening, diam. Entah karena saking khusyuk atau ngantuk, entahlah. Melirik gebetanpun (santri-santriwati) juga ndak, bener-bener ngantuk berat ini mah. Cantiknya/gantengnya santri/wati (gebetan) malem itu dikalahkan oleh belaian rasa kantuk.. wkwkwk. Go back to our self ya gaes, ‘Perbaikan diri untuk kemaslahatan umat’. [Oposehhh, hadehh]

“Jadikan amanah ini sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Disini, tidaklah tempat orang yang bekerja lalu mendapat gaji atas semua peluh keringat yang bercucuran. Arghhh.. ajang show up,atau medan untuk menjadi yang paling benar. Ora babar blass. Tapi disini adalah tempat untuk meninggikan diri tanpa menjatuhkan orang lain.” tutur Ustadz kami..  (ora payu mas mba sombongmuuu,sombongkuu, sombong kitaa((((

Perkataan itu yang sontak membuatku terpekur dalam angan-angan diantah brantah. Tak kusangka eluhku mrebes mili. Ko malah mikir, apa seng wes tak lakoni? Apa seng wes tak wenehno mareng wong liyo? Tak ada satupun, selain sambat. Astagfirullah. Ilingoo sira..

Semoga pikran itu, tidak hanya pikiran yang melintas, yang panas-panas tai ayam, (semangat-semangat ketika di awal, bahkan ketika baru mendengar ucapan kata pertama, setelah beranjak ke kata kedua, kata pertama hilang begitu saja. Astaghfirullah, semoga tidak menyerah dalam belajar. Tidakkkkk!!!

Petuah beliau dapat menjadi bekal para santri muda mudi, seperti saya ini. Agar tidak mendapati kegagalan, gagal dalam menghadapi edannya zaman. Kita tidak kuat dengan arus, karena benteng atau beton kita tidak kuat. Maka terperosok, dan celaka kita. Na’udzubillah. Di zaman sekarang ini, orang rela menjual dirinya sendiri, untuk mendapatkan kekuasaan, mengikuti arus dengan mencelakai dirinya, karena obsesi akan keduniawian yang luar biasa. Ambisi untuk mendapatkan apa yang kita mau, tanpa berpikir apa yang bisa kita bagi untuk mereaka (yang mebutuhkan). Altruismnya perlu ditingkatkan Mas, Mba..

Seperti kalimat yang pernah diungkapkan Sayyed Hosein Nasr, dalam Buku Islam dan Nestapa Manusia Modern, yaitu “Orang di zaman modern seperti ini telah membakar dirinya dengan api yang ia nyalakan sendiri.” Sudah tidak sadar akan kemanusiaan yang ada pada dirinya, nuraninya sudah terkikis bahkan nyaris hilang. Loh loh, kok pembahasannya jadi panjang, jadi apa hubungannya pelantikan pengurus pondok (penyerahan amanah secara formil) dengan zaman edan. Pasti terdapat hubungan diantaranya. Zaman sekarang masa ga bisa dihubungkan seh? Semua berhubungan, jika tidak berhubungan,  ya memang nasib jomblo.~~

Jika manusia yang menerima jabatan, menjadi peluang untuk membesarkan diri lewat jabatan tersebut. Hal tersebut tidak salah memang. Dengan jabatan, lebih mudah untuk merubah tatanan. Namun, tatanan di sini harus digaris bawahi, yaitu dalam perubahan untuk kebaikan. Berbeda lagi jika amanah (kekuasaan) sebagai ladang untuk membesarkan diri, namun merendahkan orang lain, hanya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kemaslahatan umat. (Ini tidak mencerminkan nilai sufi (perilaku hamba), sufi yang terbaharu, sudah tidak lagi berorientasi pada kepentingan pribadi saja, tapi bagaimana menciptakan kehidupan kolektif yang damai, tidak hanya satu golongan). Jadi amanah atau kekuasaan itu media yang tepat untuk merubah tatanan menjadi lebih baik, dan untuk kepentingan bersama.

Amanah sudah sepatutnya sebagai media mengabdikan diri kita, yang merupakan tugas kita sebenarnya sebagai manusia. “Sebagai pengurus, atau ada posisi pemimpin, tidak lain adalah mengabdi. Memperteguh diri kita, untuk menyadari apa yang bisa kita lakukan dan berikan. Dengan tetap kerendahan hati, diantara orang-orang yang tidak suka atau mengolok-olok kita, karena tidak pantas menurut sebagian orang yang tidak berpihak dengan kita. Posisi ini terbaik, amanah ini terbaik, dan harus bertanggung jawab atas posisi ini. Teguh dalam menjalaninya, mengabdi (ibadah) kepada Allah melalui umatnya (mengurus dan melindungi, serta semaksimal mungkin mensejahterakan).

Ustadz juga mengungkapkan dua cara memperoleh pemimpin, atau jabatan:
“Posisi tinggi, dianggap oleh sebagian orang adalah ladang untung. Sehingga dia meminta untuk mendapat posisi tertentu. Namun Allah di sini meminta dan menunggu atas pertanggung jawaban permintaannya. Allah ,meminta”
Berbeda halnya, jika
“Posisi tinggi yang diperoleh seseorang karena ditempatkan, pilihan orang banyak. Maka, Allah akan menuntun setiap perjalanan orang tersebut. Allah, Memberi/Menawarkan.”

Meminta dan diberi berbeda. Pengurus yang malam itu dilantik, terlebih ketuanya dipilih berdasarkan kemauan orang banyak atau masyarakat. InsyaAllah, Allah selalu mengirimi dan membantu disetiap titiannya. Aamiin. Setiap manusia adalah khalifah fil ardh, pemimpin atas diri kita. Mengatur diri kita agar terus berbuat dan menyebar kebaikan. Dan inilah inti dari tugas kita, mengabdi kepada Allah melalui segala posisi, profesi. Semata-mata pengabdian hamba pada Tuhannya.

Cerita satu malam ini, yang selalu menjadi titik balik saya ketika saya lalai, akan siapa saya sebenarnya. Hanya insan yang masih hina dina, dengan segala macam permintaan dan keinginan. Namun, lupa kalau saya tidak pantas menuntut, sedangkan yang pantas dan seyogyanya menuntut adalah Tuhan. Yang pasti, yang berkuasa atas kita. Tapi Dia, masih saja mengabulkan doa, tapi saya lupa untuk berterima kasih. Tidak lain, terima kasih kita adalah merasa selalu butuh, dan selalu memenuhi apa yang diinginkan oleh Maha yang memberi cinta tanpa batas, dan yang pantas untuk kita kembali mencintai-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton