Akhir Perjumpaan di ‘Kopi Djanoko’ (Sekuro, 12 Januari 2020)


Tuan X, Stigma 
Semmedi, aku tidak tau arti yang pas apa itu masa-masa aliyah—setara dengan SMA. Sebegitu indahnya, indah yang tidak sesaat pada masanya, tapi masih bisa dirasakan sampai saat ini. Kurang lebih hampir empat tahun setelah kelulusan—sekarang sudah kuliah yang sedang pada tahap akhir, skripsi kurang lebih begitu.


Aku, di aliyah, mengambil jurusan Imersi, jurusan IPA-Bahasa Inggis. Jurusan yang digandrungi, konon jurusan favorit. Tapi emang iya sih, masuknya aja harus diseleksi—seleksi setelah masuk madrasah aliyah ditambah satu tahap tes masuk jurusan tersebut-- TPA plus listening (pastinya dengan Bahasa Inggris). Banyak banget kalau harus menceritakan kisah tiga tahun masa aliyah itu, spesialnya Semmedi. Hwaaaaa

***

Sore, sekitar pukul 16.00 WIB (12/01/2020), aku sudah meluncur menuju rumah teman aliyahku-masih satu desa. Dengan bergegas mengambil helm, starter motor dibunyikan, dan mulai tancap gas perlahan sambil pamit pergi, “Assalamu’alaikum, Kulo (Saya) pergi nggeh,” ucapku pada Bapak-Ibu—kebetulan hari Minggu, jadi Bapak, Ibu stay di rumah.


Setiap apa ya, saya kurang niteni (tau, paham). Semmedi selalu ada kumpulan, atau istilahnya ‘mutualan’. Sekedar membayar rindu, bertemu, duduk santai, nongki, ngopi, kongkow, cerita hal-hal yang masih lekat dalam ingatan, ketika di Imersi dulu. Hanya begitu saja. Tapi seingatku, kongkownya anak Semmedi, ketika anak rantau yang sedang di rumah, sekalipun hanya di Kudus, Nadia mungkin, Nunuk juga. Apalagi yang Jogja, Bandung, Malang, dan banyak lagi—dan yang di rumah selalu berkabar. Itulah istimewanya, yang lebih-lebih, komunikasi yang terjaga, kontinu, sekalipun tidak setiap saat menanyakan kabar, atau pertanyaan ‘sudah makan belum’. Kayak pac**an, yang tanpa ditanya laporan eehhhh. Tapi lebih dari itu, masing-masing sudah punya rasa, dan saling tau saja—anggap saja demikian. Seperti Nunuk dan Nadia, “Kostume selalu sama, dan senada. Apalagi di Jogja, Saa,” ceritanya ke Aku selepas membuka mukena di Masjid Sekuro-Jambu Barat—setalah dari pantai Mblebak, maghriban di jalan.

***

Kopi Djanoko

“Mbak Teh Tarik e wonten? (Mba, Teh Tariknya ada?—Indonesia)”, tanyaku pada waitrees yang sedang senyumin para pelanggan
Wonten (Ada)”, jawab si Mba Pelayan
“Purun satu (Mau satu)”, pintaku 
“Anget apa dingin (hangat apa dingin)”, tanya si Mba
“Anget (hangat)”, jawabku singkat dan membalas senyum manisnya

Percakapan di meja pesanan, dialog awal sebelum  ngariung (kumpul) di meja yang kita pilih. Setelah pemenuhan hasrat ‘selfi’ di pantai Blebak, saatnya rehat untuk memenuhi nafsu perut, dan ada bumbu ‘sambat-sambat’ katanya mah.

Pelayan laki-laki mondar-mandir mengantarkan minum termasuk di meja kita, Mas Pelayan bolak-balik 3 kali. Begitulah pemandangan di Kedai Kopi Djanoko.

“Ngopi yahene, magerrr”, pesan wa masuk dari Firdaus. (Ngopi masih jam segini, mager—memang masih terhitung sore untuk kalangan pecandu kopi ‘mungkin’, bar maghrib ‘wayahe jeh podo deres Qur’an’—batinku), Daus yang rumahnya hanya berjarak 500 meter dari Kopi Djanoko gamau dateng, lantaran hasrat magernya. ‘Yaweslah’, kata Abe. 

‘Sruput, sruput, sret, sret’, suara saling saut—meneguk kopi wa akhowatuhaa. Tidak ada obrolan yang serius. Sekedar tertawa dengan garingnya aku, Idang, kocaknya so(k) calm Nadia, konyolnya Nunuk, sarkasmenya Ilham ke Mba Khanif, perhatiannya Abe narik stop kontak dibawa ke meja kita (ternyata gegara batre hapenya habis—tiwas geerL kwkw), suara Ifay yang mengaduh beli bakso dan pingine baksone dianter di kedai Kopi Djanoko,tapi Bapak Bakso tidak berkenan mengantar (kebetulan kedai dan gerobak bakso bersampingan, tapi entah hehe, mungkin karena ramai yang beli bakso, jadi ga sempet antarJ).Dan akhirnya berlima yang memesan bakso menjemput grobak bakso dan makan bakso dulu baru kembali ke kursi, duduk untuk menyeruput teh tarik. Hanya sebatas itu, di sore-malam sekitar pukul 19.30 WIB.

“Aku pulang yo”, ucap Nadia
“Do hapenan kabeh ek (Pada sibuk main hape eh)”, sindir Abe
Sedang nge-stock foto, jadi podo serius mbi hape dewe-dewe,” sambung Nadia
Podo hapenan e cah”, timpal Nunuk 
Ida fokus ngedit foto dengan handal berkat Jurusan KPI ‘ceunah’, Ifay sepertinya sibuk bikin story, Ilham sedang liat notif WA barangkali doi ngechat, Mba Khanif yang lagi liatin galeri setelah puas liat foto yang dikirim di grup ‘dibuka lagi dan lagi’, dan aku sibuk dengan pikiranku, fiuh

(sekalipun tidak ada obrolan yang mencoba mendulang rindu masa lalu, mengkisahkan yang telah berlalu, atau barang mengucapkan harapan masa yang akan datang. Biarlah... aku tidak peduli itu, tidak melulu itu. Tapi keabadian ini, dengan menyempatkan waktu, bersedia hanya untuk foto, mengeluarkan uang 5000 untuk teh tarik anget. Ya, itu adalah kehadiran dzohir, dan aku selalu berpikir, batin merekapun ikut duduk berdiam bersamaan dengan jasad ini. Karena batin sudah terikat, entah ini (adalah) hiperbola. Ini lebih dari cukup)

“Cape berpikir keras gais”, tersadar dalam batinku, berucap sangking aku merasa puas, dan aku mau tidak mau harus mengabadikan ini dalam tulisan dan rapih karena mesin tik notebook Lenovo ideapad 300S, (dan sampai saat ini, 13/01/2020 di Kamar Ibu-Bapak, menghadap cermin, mendengarkan kang Jamali dengan Ka Roni menggoreskan alat ke dinding demi sebuah bentuk lepo yang alus, jemariku balapan memencet tombol yang bertuliskan abjad QWERTYU)
***

Pas ketemuan kemarin yo, crito wae, jaman aliyah biyen. Purnomo seng ngelingke, bla bla”, cerita berbuntut panjang sepanjang jalan dari Sekuro ke Jambu Timur di atas motor Vario merah berplat nomer AG semakin menjauh dari Kedai Kopi Djanoko, sampai tak terlihat, karena harus belok ke gang rumahJ.

Ciitt (perumpamaan suara rem motor)

Kamu langsung tah mlebu sek , Sa (Kamu langsung pulang atau masuk dulu)”, Nunuk menawarkan untuk singgah di rumahnya
Langsung ae Nyuk, wes bengi. Sesuk neh yaaaJ”, aku menjawab dengan hehehe

Cerita yang tak ada usai, tak bisa berhenti dengan sendirinya. Hanya bisa menyudahi ketika kita yang menginginkan itu ‘menyudahi’. Aku melanjutkan pulang sendiri, berkendara dengan kecepatan standar (standarnya aku, 40-50 km/jam). uwuwwu

Assalamu’alaikum”, ucapku sambil mencabut kunci dari motor Vario ‘ganteng’ (menurutku)
Wa’alaikumsalam”, jawab Bapak yang sedang menonton TV sendiri. Ibu dan adik sedang ‘perjanjenan’. Seperti biasa laporan cerita, tanya dan jawab antar anak dan Bapak. “Dari mana aja, jadi siapa aja yang ikut, dan seperti itu...” #bigluvbuatbapak (Ibu-Bapak selalu mengizinkan buat main, sekolah mah harus—kemana-mana yang penting hati-hati dan kasih kabar, satu lagi pesen Bapak yang tidak pernah terlewat ‘Jaga Diri Baik-baik’).

Abe, Ifay, Mba Khanif, Nyuk, Nadia, Akoh, Idang

[Sekian Cerita Yang Mbulet Ini, ­Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, ‘ceuk film mah kieu’]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton