Tulungagung, Make A Story

Makan bersama di rumah bude, menu makan siang



Menyusuri jalan mulus dan penuh dengan lampu kuning. Lampu yang sebenarnya tidak berdekatan, melainkan jauh berjarak hingga 500 meter di susul lampu berikutnya. Karena besarnya daya, membuat terang layaknya lampu yang berjajar juga bersanding.


Tol Banyumanik-Tol Ungaran-Tol Bawen-Tol Ngawi-selanjutnya entah. Lagi-lagi karena ngantuk. Perjalanan menuju Tulungagung. Dan lagi, perjalanan yang selalu mengundang apa itu kesadaran. Kesadaran yang membuat saya senang.


Apa yang dulu diimpikan, tidak pernah tidak terjawab oleh pengabulan Allah. Sewaktu semester 2 di bangku kuliah, saya mengikuti LKTI yang diselenggarakan oleh IAIN Tulungagung. Ada rasa PD dan tentu semangat. Ada juga fikiran, "Oh iya, dimulai dari yang saya mampu. Sepertinya di UIN Tulungagung belum berat saingannya". 


Jangan diterus-teruskan fikiran demikian. Ada baiknya, saya tahu cakupan atau kapasitas saya. Tapi jangan lah ya, dengan ada maksud menjatuhkan. Overall dari pengalaman itu, saya full SENENG juga SEMANGAT. Di semester awal, sudah punya ide, disupport dosen, kerja tim.


Eh ladalah, entah sebab niat atau ucapan tidak baik saya. Bisa jadi, memang kebijakan universitas yang menghentikan kegiatan. Sehingga, tidak ada kelanjutan informasi LKTI tersebut. Tim saya sudah mengumpulkan abstrak. Tinggal menunggu jadwal selanjutnya, jika lolos maka bisa lanjut mengerjakan satu karya tulis utuh.


Ah, bah. Biar jadi kenangan manis tapi tidak terulang. Sangat disayangkan karena tema yang diangkat adalah "Ramah difabel di kampus". Kalau tidak salah hanya kampus UIN SUKA JOGJA yang sudah memperhatikan hal tersebut. Kiranya, itu hanya kebijakan internal juga independen. 


Sebenarnya dari karya tulis itu, mengharapkan bisa ada peraturan atau kebijakan untuk seluruh univ. Bahwa difabel itu juga layaknya orang normal. Seharusnya lebih mendapat perhatian, dan itu dilindungi. Mereka (mahasiswa difabel) bukan bagian yang termarjinalkan. Mereka bisa mendapat akses yang sama, dan bisa kuliah dengan nyaman.


Panjang untuk selengkapnya tentang hal itu.

***


Tapi saya ingin menarik dari simpul lain. Tentang singgah ke Tulungagung. Tidak lain, harapan ikut LKTI itu adalah bisa ke universitas yang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Jelas, ingin menambah pengalaman, dan merasakan apa itu "PERNAH". 


Karena waktu itu belum waktu yang tepat. Dari kabar yang tiba-tiba hilang, lalu tergantikan oleh harapan lain. Ya sudah!


Tanggal 4 April 2021 menjadi ulasan atas harapan yang lalu. Saya menjalankan amanah untuk meng-GeNose peserta Muktamar Pemikiran Dosen PMII. Satu hari penuh berhadapan dengan berbagai jenis latar belakang peserta. Mulai dari ASN, Rektor, Dosen atau Panitia Acara.


(Cerita GeNose): Seru juga menegangkan. Seru karena hal baru ini membawa saya turut serta di dalamnya. Menegangkan, ketika saya menghadapi respon peserta atau pasien) yang belum paham dengan alat ini. Begitu hectic saat mendengar kata 'positif', begitu riang saat mendapat hasil 'negatif'. Memang umum, sebatas pengetahuan itu. Namun, maksud dari kami tidak menelan mentah-mentah hasil itu. 


Harapan dari proses tes 'GeNose' ini adalah setiap kita, bisa lebih paham dengan keadaan, mau menerima, dan mengistirahatkan diri. Ah, itu jauh agar sampai pada setiap diri mereka. Jadi dinikmati saja, melihat respon seseorang terhadap hasil yang keluar dari alat terbaharu ini. Dibalik itu, ada harapan semoga kita bisa belajar menyikapi dengan bijak.


((Perjalanan Tulungagung masih berlaku))


Singgah dan safar kali ini menciptakan pertemuan saya dengan putri pakpuh. Sekejap saja hanya bertemu, untuk berpelukan, menyampaikan rindu temu, dan saya menerima sekresek jajan tanpa adanya timbal balik. Saya oh saya, Sania oh Sania.


Sepanjang jalan ini, rasa dalam benak saya adalah lega dan suka. Beriringan dengan savana atau belantara yang disibak menjadi Tol Panjang (dalam berita, satu-satunya yang ada di Indonesia). Kanan-kiri hanya sawah, semua itu indah. Tol tidak jauh beda dengan rel kereta api. Sekarang ini sama-sama, perjalanan kereta api, atau bis, mobil pribadi; nyaman.


Sambil menyimak ingatan yang baru saja terarsipkan di dalam memori. Ingatan saya tentang tadi. Istirahat di kediaman bude (Pace, Nganjuk; daerah yang satu jalur dalam perjalanan kali ini). Tanpa ada rencana yang masak. Tapi niat saya kuat. "Saya bisa singgah untuk sebuah silah."


(Cerita Nganjuk): Meja makan sudah siap dengan lele goreng. Bergegas, Bude membeli es batu dan kopi sachet juga jajan warung. Sergap, beliau menyiapkan untuk serombongan 'tamu' (anak kecil; saya dan membawa teman). Nikmat, dingin yang diselimuti wujud pertemuan. Tidak bisa dielakkan, rasa senang bahagia siang tadi. Banyak cerita yang diungkap. Terlebih, cerita Simbah yang sudah mulai renta dan jauh berbeda dari saya berkunjung di waktu Agustus 2020 lalu.


Saya dan keempat teman tidak segan menghabiskan sajian yang dibuat bude. Cerita tetap berlanjut. Seperti tidak ada tanda titik atau ending kisah. Sementara itu, empat teman yang lain merasakan perut yang telah wareg wal hamdulillah. Jam 12 tiba-tiba memberhentikan semua agenda temu di tanggal 6 April hari ini (Selasa). Mobil menjauh dari daerah Pace dan derum mobil semakin terkikis tak tertinggal.


Tol Nganjuk sampai saat ini, Tol Banyumanik. Sudah menjadi tanda, "Oh, saya kembali kepada hari-hari saya"


Meskipun GeNose menjengkelkan, tapi terimakasih sangat. Karena wasilah alat itu dan barokahipun Ayah, Baba, dan seluruh Keluarga Umik, saya bisa di titik ini. Ibu, Bapak, dan keluarga, saya selalu memohon keridhoan kalian. 


Saya masih dengan apa yang saya suka, yaitu PERJALANAN.


Alhamdulillah, Medan tidak menjadi tempat yang dikasih Allah untuk saya. Allah tetap mengabulkan doa perjalanan dan bertemu dengan orang baru. Juga, Allah Memberi Tulungagung sebagai tujuan dari doa saya. Tidak sekedar pengabulan, melainkan pemberian. Tentu, itu lebih dan lebih lagi!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton