Karena Capek

Apa-apa yang tidak baik itu karena capek. Pagi tadi ketahuan saya dapat jatah bulanan. Jadi sementara kegiatan yang sifatnya harus dalam keadaan suci harus diistirahatkan dulu.


Yang biasanya saya salat berjamaah, mengikuti wirid wajib, mengawasi mereka santri-santri agar selalu terjaga, juga menjaga perasaan mereka eaa, terkadang menjengkelkan. Saya tidak melewati itu, sementara waktu.


Kali ini, saya istirahat. Setelah beberapa hari sebelumnya, hati terasa diuji, hati sering disinggahi dan meninggalkan luka. Tapi beres itu, biasa saja. 


(Menarik waktu yang sudah lewat),


Sampai kapan mengurus orang-orang yang berbeda-beda, banyak kuantitasnya. Berbicara beragam kebaikan, dengan berbagai tuntutan pula. 


Mengapa ya? Selalu berusaha lebih baik? Rasanya itu perlu. Tapi ada mikir juga, "wong ko golek-golek penggawean wae". 


Saya menemukan banyak jawaban, berdasarkan pertemuan-pertemuan yang pernah saya lalui dengan orang-orang baru. Mereka bersamaan dengan jawaban, datang silih berganti saya dapati.


Saya sepakat, jika saya atau manusia itu penuh usaha. Saya termasuk orang yang suka "beraktivitas". Seperti hal yang pernah saya ungkap, kalau saya suka dengan apa-apa yang baru, otomatis saya ga suka apa itu 'mandeg'. 


"Setiap orang itu suka kegiatan, gitu ga sih? Pagi sudah seger, diawali mandi, lanjut aktivitas lainnya", tutur kordes (Kordinator Desa) ketika KKN. Mencoba mengais ingatan. 


Betul pula pernyataan di atas. Ketika seseorang diam, bisa tampak bingung. Tidak tahu apa yang dilakukan menjadikan diri hampa, tidak memiliki tujuan, hari-hari menjadi gusar.


Aktivitas sejatinya sama. Meskipun konglomerat atau melarat, semua bersungguh-sungguh pada yang dihadapinya, bersungguh-sungguh pada bagian yang Allah tetapkan atas dirinya. 


Setelah menguasai aktivitas, perlu disadari dan diingat bahwa ada rasa 'capek'. Capek menurut definisi saya adalah bertumpuk aktivitas, tidak istirahat, atau kurang istirahat, dan dalam diri timbul rasa (keinginan) yang tidak bersambut dengan kenyataan, jadi 'gemes'. 


Di saat wirid bersama santri, saya diutus membiasakan agar sedikit pelan. Namun, kebanyakan santri ingin sat set alias cepet. Walhasil, suara tidak sama, dan diketahui oleh pengasuh. Apa yang terjadi selanjutnya? (Intinya, saya harus siap pasang badan saja).


Fiuhh... (Dapat, notifikasi--teguran)


(Pernah di suatu waktu)


Hari di mulai subuh, dan masih berlanjut satu hari penuh. Siang hari, jadwal seperti biasa saya menuntaskan jadwal menyimak ngaji. Tidak bisa dibohongi, ketika diri ini capek. Menyimak, dan ketika mengingatkan kesalahan dalam baca Qur'an bawaannya ngegas.


Disela-sela, gemuruh hati. Masih bisa ucap istighfar. Tak pelak, kembali lagi. "Mbak, harakatnya, diliat dulu Mbak, diulangi Mbak..." Saya mengucap juga merasakan kalau saya tidak santai, seperti biasanya.


Sudah perjalanan di siang hari. Otak saya sadar, "Oh masih ada sore, dan malam. Apalagi yang akan saya ucapkan?". 


Sudah terdengar adzan asar, artinya saatnya menunaikan menjadi imam jamaah. Membersamai membaca surat Ar-Rahman bersama santri. "Saya tak kuasa, sudah cepet tidak bisa 1 lawan 100 an", dengan saya tetap bertahan dan melantunkan kalam-Nya.


Sore, saya harus menyinggahi beberapa rumah asatidz. Anggap saja agenda bulanan dan itu sebuah utusan. Tidak mungkin saya mengalihkan. Selepas itu, saya harus menuju pesantren yang satunya (sama almamater hanya beda alamat, beda pengasuh juga sih. Tidak masalah, sama-sama dzuriyah Abah).


Menuju pesantren itu, juga sebuah utusan. Saya pasti mengiyakan. Sampai sana, saya ngariung dengan santri. Mendiskusikan topik yang akan diselenggarakan di hari Jumat, ada webinar bersama mahasiswa di Timur Tengah. Kata yang diulang-ulang di sore itu adalah Brain Storming, sama dengan bertukar pikiran. Benar saja, apa-apa itu harus dipersiapkan, masalah nanti tidak sesuai keinginan atau tidak tercapai pada tujuan, itu pikir belakangan. 


Hari, dengan agenda satu beralih agenda lainnya, saya tetap lalui. "Ya Allah, apa ini? Doaku, 'tidak ada hal lain selain kebermanfaatan, entah dari mana dan kapan', yakin." Saya bergeming sambi angen-angen apa yang sudah saya lakukan sampai setengah hari itu. "Banyak, Bercabang, Absurd, Saya Mau", beradu jadi satu.


Sore, adzan Maghrib menyadarkan self talk pada diri saya. Saya masih terus menarik gas motor yang saya kendarai dari pesantren satu, ke pesantren tempat saya mukim.


"Alhamdulillah", saya ternyata sampai pada buka puasa. Hari yang dipenuhi dengan hati gusar, saya hanya berserah. Saya puasa, (titik). Enggan berpikir embel-embel. Rasio yang menekan diri saya, bahwa ada pikiran yang hinggap "puasa saya muspro karena saya merasa banyak menyakiti orang lain, dan akhirnya saya juga merasa sakit (red-tidak nyaman)". 



Satu lagi, waktu yang harus dilalui dalam satu hari ini. Masih ada malam. Saya juga harus menepati sebuah pertemuan. Evaluasi bersama organisasi santri, dan tentu lagi-lagi menekankan agenda yang diutus oleh pengasuh untuk diikuti di Jumat nanti.


Evaluasi, sama arti 'mengungkapkan apa yang sudah terlaksana, menyampaikan suatu kekurangan, menyertainya dengan penyelesaian, tidak lupa juga saran. Kebanyakan orang mengatakan, evaluasi itu menyeramkan, juga membosankan.


Satu hari belum penuh, masih ada seperempat waktu atau sepertiga waktu (sebelum jam 12  malam hehe). Hari sudah penuh tuntutan, yang diungkap sebagai tuntunan. Tapi sungguh itu tidak mudah. Memang benar diri ini dikuatkan (Yang Maha Kuat). Nyata, terlihat saya masih duduk bersama mereka.


"Kamu itu ga mikir. Susah kalau tidak diketati aturannya. Karena banyak mendampingi", panjang lebar mengungkapkan besuk santri yang penuh kontroversi diantara pengurus putra dan putri. (Ih, tapi sebenarnya apa si? Bertanya, sudah enggan, berusaha biasa. Saya mendamaikan diri, mencoba mengingat bahwa saya sudah pernah di masa ini. Tidak usah terpancing dengan emosi sekeliling ini)..


Karena diri ini puasa, makan juga telat, aktivitas penuh. Saatnyalah! Ditegur, di riungan sudah merasakan pusing, berat, badan remuk, perut tidak bisa menampung dada keatas dan terlalu berat untuk pinggang ke bawah. "Ya Allah, sudah", memekik lirih.


Saya menganggap 'sudah' hari itu, karena sudah tidak fokus. Malam, sudah berakhir. Lupa dengan penutupan, entah. Berjalan menuju kamar sambil mengajak bicara isi kepala, "Sudah, kamu disuruh istirahat. Keadaan, semesta sudah tidak mau melihat wajah lusuhmu. Sudah tidur, tiduur."


Kamis sudah tutup buku. Ingat besuk ada Jumat, yang mengharuskan diri kuat, atau lebih kuat. 


"Grook, grok", batuk berat. Suara yang cukup mendefinisikan di waktu fajar yang membangunkan saya juga Umik. Agenda yang bisa disebut tugas namun bukan tugas negara, lebih dari negara, menemani Umik di waktu istirahat beliau. Umik terbangun, sadar bahwa itu sumber suara dari mulut saya.


"Saya sedikit kurang enak badan, Mik", ungkap saya di antara adzan dan iqomah. Berusaha menyampaikan bunyi dari mulut saya agar sampai di telinga Umik.

---

Umik mengarahkan saya istirahat, meminum obat, dan meninggalkan beberapa aktivitas yang biasa saya lakukan. Tibalah, waktu untuk 'Sakit'.

---

Kali pertama saya mengusulkan untuk rehat di rumah karena keadaan saya yang tidak memungkinkan di pesantren. Saya mencoba bertahan 5 hari. Tapi saya tahu, saya tidak mampu lagi. Tibalah waktu 'Pulang bersama Sakit'.

---

Waktu bergulir cepat. Rumah adalah tempat tidur, menangis, dan diam. Cukup, saya bisa menguasai diri. Menghadirkan kesadaran, dan eleh dengan keadaan. 

---

Pesantren, back home (dorm). Menemui anak (santri). Tiba di waktu, seperti yang saya ucapkan di atas. Waktu untuk "Mengingatkan, Sedikit Tentangan Banyak Pandangan Memuakkan".


Alhamdulillah saya masih bertahan. 


Semua perihal dan karena capek. Saya capek, tapi satu doa yang saya panjatkan. Semoga saya mampu diam:).




Komentar

  1. semoga ttp dlm cinta ya, kak. itu di antara pesan terakhir buya kamba yang paling membekas...

    BalasHapus
  2. Baik ka. Betul, semua karena cinta. Bukan karena capek sepertinya. Hehe. Makasih ka

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton