1 Ramadan (lagi)

Hari ini, aku tepar. Aku merasa pusing, serak, dan suaraku menjadi berat. Aku meraih ponselku. Aku berusaha mencari hiburan, eh tapi malah sebaliknya. Aku merasa tambah pusing. 


Aku mencoba mengenyahkan ponselku dulu. Aku beralih pada buku Filosofi Teras. Aku tidak fokus membaca apa isi dari bab yang kubaca. Aku tidak ujung selesai membaca buku ini semenjak aku menerima pertama kali sekitar satu setengah tahun yang lalu. Aku mencoba menuntaskan. Tapi ah, nihil. 


Aku tiba-tiba teringat di sela-sela membuka lembaran kertas yang tak fokus kubaca itu. CAK RUSDI!. Aku ingat salah satu kutipan dari buku yang berjudul Seperti Roda Yang Berputar karya jurnalis ulung ini (beliau: Rusdi Mathari). "Saya harus mengetik, harus bertahan hidup. Menulis adalah pekerjaan saya. Karena itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik". Beliau menyelesaikan buku itu saat beliau di rawat di rumah sakit tahun 2017. 


Aku langsung mengambil buku "Seperti Roda yang Berputar". Aku tidak bosan membaca buku tipis itu. Buku yang memiliki 75 halaman membuatku candu. Aku ternyata menyukai buku yang isinya real life dan tentu tidak tebal halamannya. Aku membaca buku Cak Rusdi itu sekali duduk. Aku merasa mendaras ulang apa yang pernah aku mulai baca itu. Rasanya tentu menyenangkan, seperti inilah rasa membaca buku favorit. 


Aku sempat lupa dengan rasa pusing di kepalaku. Aku masuk dalam alur cerita Cak Rusdi yang sedang berjuang melawan kanker. Kurang lebih sepuluh bulan, ia dirawat intensif di rumah sakit. 'Catatan di Rumah Sakit', ini adalah anak judul dari judul besar buku tipis itu. Mulai dari BPJS, ICU, Sir, Yes Sir, Perawat, dan Ibu yang kuat-menjadi bagian dari tulisan Cak Rusdi. Hal itu pula yang membuat Cak Rusdi sadar bahwa ada yang harus diperjuangkan demi orang-orang terkasih yang mengelilinginya. 


**

Aku ketika sakit, seperti ada rentetan kejadian yang mengiringi sebelumnya. Di minggu ini, adalah minggu pertama libur kuliah. Mulai saja di hari Jumat lalu. Aku dipusingkan dengan pilihanku sendiri. Tapi alhamdulillah aku bisa memutuskan untuk tidak ke Bandung. Keputusan itulah yang membuahkan rasa shock di hari Sabtu. 


Baiklah, dengan segala jurus sampai aku bisa merasa release. Di hari Sabtu pula, aku mengikuti event Mba Najwa Shihab. Aku lebih memilih ke event yang lebih awal kurencanakan dari pada ke Bandung. Tapi di tengah event, aku mundur karena tidak fokus. Aku pulang dan merasa capek. Sedemikian pikiran itu memengaruhi fisik. Setelah dirasa-rasa, aku sangat lapar. Pantas saja lunglai dan tidak fokus. Heu


Ahad, semoga hari yang cerah. Aku sedari pagi sudah ke pasar kaget. Aku membeli lauk Padang. Aku merasa full of minyak. Tapi tidak apa-apa, karena rasa nikmat itu yang lebih dominan. Tidak taunya sistem pencernaanku merengek. Aku masih memaklumi. 


Weekend telah lewat. Dimulailah hari Senin. "Kamu tidak perlu hebat untuk memulai, tapi kamu harus mau memulai untuk menjadi hebat". Aku mendapat quote di pagi hari. Ternyata, quote itu berlaku sampai larut malam, layaknya mantra. Sampai aku bisa bertahan lembur sampai jam satu dini hari. Eits, tidak karena quote saja, yang pasti besoknya saya presentasi. Weh, pantes lah melek. Aku harus selesaikan materi presentasiku, karena Selasa aku sudah berencana pergi pagi. 


Selasa penuh kebahagiaan. Aku bisa ziarah ke Habib Husein di Luar Batang dan dilanjut ke KH. Hasyim Muzadi di Depok. Perjalanan itu dari pukul delapan pagi sampai delapan malam. "Mba tenggorokannya serek ga?" Tanyaku ke Mba kawan pergiku. Aku merasakan ga nyaman dari siang itu. Tapi ya, rasa bahagia itu lebih dominan. Lewat lagi sinyal lemah tubuhku. Aku acuh hmm~~ 


Di Depok, kami juga ke UI. Kami berdua ditemani satu kawan lagi. Kilas balik, kami bertiga pernah bertukar cerita: sama-sama memiliki pengalaman di ndalem. Dari situlah ada rasa klik dalam berteman. Kami bertiga ngobrol dulu sebelum ziarah. Sore yang yang menyenangkan. Kami duduk santai di samping Danau Kenanga. 


Hari Selasa itu telah usai. Aku ingat jadwal di hari Rabu esok. Aku diajak kawan baikku ke sidang isbat. Sudah terencana tentunya. Apalagi pengalaman pertama, tentu sangat kunantikan. Kapan lagi punya tiket istimewa itu. 


Derrr. Tibalah rencana manusia itu hanya rencana. Aku tidak bisa menahan batukku yang nggeges dan kepalaku pening sekali. 


Rabu, H-2 jam berangkat. Aku berkabar dengan kawan baikku. Aku batal ikut. Pasti dia kecewa. Sudah mepet baru bilang. Tapi aku juga ga bisa bohong kalau sudah fisikku yang bilang tak kuasa. Bedahal jika pikiranku bilang tak kuasa, bisa jadi berubah. Ternyata aku payah di depan lunglainya fisikku. 


Aku akhirnya memilih mengetik ceritaku di android. Aku jeda, dan aku ketik lagi. Sekitar ba'da dhuhur aku merasa demam. Kuhentikan dulu permainan jariku.


Aku mencoba mengobati dengan paracetamol yang aku punya dari sakit sebelumnya. Alhamdulillah panasku turun. Menjelang malam, panas badanku semakin terasa. Suhu tubuhku naik lagi. Sampailah di waktu sahur. Aku buncah dengan air mata senyap. Aku sakit. Aku puasa atau tidak? Aku tidak suka posisi bimbang seperti ini. 


**

Hari Kamis ini aku sudah makan siang. Pagi tadi sudah minum paracetamol kali kedua. Nder, puasaku hari pertama bolong. Sekarang aku sudah merasa lebih baik lagi. Aku bisa menyelesaikan ketikkan ku. Aku selama menulis sambi menyibak ingatan di Ramadhan tahun lalu. Ternyata ada kesamaan. Sama-sama hari pertama puasa mengalami tepar. Jika tahun lalu aku di Wisma Rani-Rini-Cibiru. Sedangkan tahun ini, aku di kos H. Aksen Kertamukti-Tangerang. 


Jika sedang sakit, kita mau apa? Rasa sesalkah? Oh bukan, tapi rasa syukur. Jadi tau kan, dimana letak batasan dalam diri sendiri?


Bagaimanapun, aku harus mengetik. Karena ini yang kubisa. Hehe, ikut gaya Cak Rusdi sekarang. Bahagia di sana ya, Cak. Al-fatihah.


1 Ramadhan 1444 H/Kamis, 23 Maret 2023


Masjid Al-Hikam Depok. Shooted by Fujifilm XA-5 (potret objek jernih, ISO 800)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton