Pengalaman Konsultasi Tesis dengan Dosen Pembimbing LN
Saat teman bertanya, sudah bab berapa? (Aku membatin: pertanyaan adalah abadi, tesisku fana)
Loraine St, 60 |
Beberapa waktu
lalu, tepat jam 1 p.m sampai 1.30 p.m tanggal 4 Oktober 2023 di hari Rabu, aku
selesai bimbingan. Aku merasakan lemes. Pertama yang ingin ku tanyakan pada
diri sendiri adalah "apakah tesisku bisa selesai?". Pertanyaan ini
muncul setelah aku bimbingan yang ke-4 dengan pembimbing Hartford, dia adalah
Dr. Dahill. Bimbingan ke-4 ini sudah memasuki bab 3. Aku merasa berat di bab
ini.
Aku melanjutkan
bimbingan dengan dosen LN dari dosen DN ini, menjadi kesempatan yang sangat
luar biasa. Aku setiap menghadap Dr. Dahill, aku harus membuat summary
atau ringkasan. Aku membaca dan menuangkan ke dalam kalimat. Pastinya ini
banyak yang tersusun dengan bahasaku. Bahasaku yang masih amatiran ini
tertangkap oleh dosen pembimbingku. Aku ingat dengan teguran seorang teman,
tulisanku seringkali tidak sesuai dengan SPOK.
Di waktu
bimbingan, aku menangkap bahwa Dr. Dahill menilai makna atau maksud dari
tesisku sangat ‘dalam’. Di satu sisi, aku menangkap itu bukan ‘dalam’ tapi dosenku
tidak paham bahasaku. Huhu. Perkiraanku,
keseringan berpikir 'dalam' atau abstrak, pasti akan susah saat menulis. Susahnya
adalah praktik di dalam membuat kalimat sederhana. Jadi aku berpikir,
sepertinya summary-ku harus dengan kalimat sederhana dan sesuai SPOK.
Ini akan memudahkan Dr. Dahill. Selain itu, kalimat sesuai SPOK itu adalah
modalku preparing kalimat yang aku ucapkan. It's better
Setelah satu
bulan disini, aku empat kali bimbingan. Perasaanku sangat senang. Alasan pertama,
aku mendapat afirmasi positif dari Dr. Dahill. Artinya sedikit banyak ia bisa
menangkap apa yang aku ungkapkan. Aku yo khawatir, beliau tidak paham.
Sejauh ini aku masih bimbingan, artinya masih lanjut walau tambah berat. (Berat
karena pesimisku menyertai, pesimis akan selesai atau tidak tesisku ya?).
Kedua, khazanah ekologiku bertambah. Aku merasa 'klik' saat aku
menemukan orang yang sama konsentrasinya ekologi. Aku kemarin juga sempat ikut
kegiatan lapangan untuk membersihkan sungai. "Aku mau bersuami dengan
orang yang sepemikiran", tiba-tiba pintaku Heuheu. Sepemikiran
tentang peduli dengan lingkungan, atau dia dengan jalannya tapi tetap mendukung
dalam bidang yang kutekuni. Amiinkan dulu lah. Ketiga, aku bisa
pinjam buku di HIU Library. Di pertemuan bimbingan ke-4 ini, aku diberi
referensi judul buku "Muslim Environmentalism". Harus dibaca ya!
Dr. Dahill juga
selalu memberi notes di tiap summary-ku. Notes ini mengingatkanku pas
masa Aliyah. Di penghujung kelas tiga, setiap siswa harus menulis karya tulis
dalam bahasa inggris. Kami menyebut itu "scientific writing". Scientific
writing-ku tentang pembasmian hama tikus dengan tembaga yang menggunakan
elektroda. Tujuan tugas akhirku adalah mengurangi hama dengan tidak merusak
ekosistem. Seperti tidak menggunakan pestisida atau bahan kimiawi yang bisa
merusak tanaman, tidak pula menggunakan jebakan tikus yang mematikan tikus.
Tapi teknik memanfaatkan elektroda membuat tikusnya takut masuk ke kebun karena
ada gelombang suara yang dihasilkan oleh tembaga. Suara tersebut hanya bisa
didengar oleh tikus. Tikus itu menjadi peka telinga atau merasa ter-strum, aku lupa. Intinya sepenuh hati aku membuat scientific writing itu.
Aku ingat
ketika menyodorkan judul dan diberi notes sekaligus komentar oleh seorang guru.
“Kenapa tidak diambil saja tikusnya dengan tangan?”, pertanyaan Bapak
Ebit-Guru Fisika. Bapak Ebit memang bukan advisor-ku. Tapi aku mendekati
beliau karena materiku adalah fisika. Besar harapanku, aku mendapat pencerahan
dan memudahkan tugas akhirku selesai. Tapi kenyataannya tidak seperti
imajinasiku. Aku berpikir, sepertinya Bapak Ebit hanya mengujiku. Aku hanya
meng-iya-kan saat beliau melempar pertanyaan di atas. Tapi aku jadi mengoreksi
diri, aku butuh jawaban jika dapat pertanyaan demikian di-exam nanti.
Pembahasan scientific
witing itu membuatku kepikiran; tujuan untuk tidak merusak ekosistem dan
tidak pula membunuh makhluk hidup ini adalah cakupan di dalam ekofeminis. Karen
J. Warren dan Greta Claire Gaard adalah seorang ekofeminis. Gaard terkenal
dengan ekofeminis pembebasan hewan. Sedangkan Karen J. Warren membahas
ekofeminis dari sisi filosofi. Salah satu yang ia tekankan adalah bagaimana cara
seseorang memperlakukan non-human. Jadi, saat saya merumuskan untuk mengurangi
jumlah hama tanpa harus ada yang tersakiti atau berkorban, sepertinya spirit
ekofeminis sudah tampak. Wqwq. Candyahah. Entah berupa cocokologi atau
tidak, itu adalah sebuah nalar. Setidaknya ada memori yang membuatku mantep dan
yok bisa yok.
Namun, seperti
book review, selain kelebihan ekofeminis aku juga harus menangkap kekurangannya.
Ekofeminis pada umumnya dikenal dengan dualitas. Dualitas adalah sebuah masalah;
dimana adanya subjek dan objek. Seperti spirit ekofeminis yaitu mengentaskan
ketimpangan gender berupa dominasi laki-laki pada perempuan dengan membebaskan
alam yang sama nasibnya ‘terdominasi’ oleh cukong atau industrialisasi. Disitulah
letak dualitas: manusia atau laki-laki sebagai subjek dan perempuan atau alam
menjadi objek.
Kekurangan ekofeminis ditangkap oleh sesama ekofeminis, namun ia sebut sebagai ekofeminis kritis. Ekofeminis kritis lebih banyak mengambil dari sisi filosofi. Jika tetap menganggap bumi seperti perempuan yang dinilai lemah, maka itu masih adanya pandangan objek. Jika objek ada, maka ada pemahaman ‘siapa subjek-nya’. Saya sepakat dengan ekofeminis kritis. Ekofeminis (kritis) adalah masalah yang kompleks. Saya menyebutnya masalah world view terhadap sesuatu. Jika rasisme atas dasar sosial atau warna kulit masih ada, maka dominasi akan terus abadi. Oleh karena itu masalah penindasan ini tidak hanya lingkungan atau perempuan tapi ini masalah sosial-politik-kemanusiaan. Kurang lebih itu yang saya simpulkan dari Karen J. Warren.
Komentar
Posting Komentar