edisi kisah



Ketika Allah yang Berbicara
Tidak selamanya niat baik selalu mulus dalam mewujudkannya. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, jika itu harus melawan keinginan orang tua. Sekian lama, aku merengek di hadapan orang tua untuk di pesantren. Awalnya, aku sama sekali tidak ada keinginan untuk mengenyam pendidikan di pesantren. Mungkin sekarang ini, aku baru mendapat ilham atau apalah, semacam itu. Akan tetapi ibu menolak permintaanku, sedangkan bapak tidak berkata sepatah katapun, beliau lebih baik diam. Aku juga tidak habis pikir, kenapa niat yang menurutku baik ini, malah tidak ada respon yang mendukung.
              “Kenapa ibu tidak membolehkanku untuk mondok? Kan ibu pernah bilang, kalo pingin punya anak yang nyantri.”, desakku
              “Bukannya ibu tidak merestui atau tidak suka. Tapi... (ibu terdiam dan menyembunyikan wajah yang terlihat sedih).
              “Ibu merasa kesepian, kakakmu sudah kuliah, bapak juga kerjanya tidak tetap dirumah aja. Siapa yang mau menemani Ibu?”, ibu sambil menyeka bulir air mata yang hendak jatuh.
            Sejak jawaban ibu malam itu, aku termenung. Begitu jahatnya diriku, tidak tahu perasaan ibu yang selama ini tidak pernah merelakanku diejek teman, diremehkan orang lain, pengorbananya yang tiada tara. Mustahil jika hanya dengan aku memperjuangkan egoku, sedangkan ibuku menangis meratapi kepergianku, sekalipun itu kebajikan.
            Aku semakin sadar akan keinginan orang tuaku. Bagaimana kasih sayang mereka yang tidak pernah terkikis oleh apapun. Waktu berlalu begitu cepat. Hari demi hari, beranjak ke minggu, bulan, dan tahun. Tidak menyangka aku sudah kelas tiga aliyah. Aku harus mulai memikirkan bagaiman nasibku kelak setelah lulus MA.
            **
            “Tidak terasa kamu sudah besar, kamu sudah hampir lulus MA”, ucap ibu yang membuatku tidak tahu arah pembicaraannya kemana.
            “Ibu minta maaf ya, nduk. Ibu selama ini belum bisa menuruti apa yang kau pinta. Ibu tidak mendengarkan apa yang menjadi niat baikmu. Nduk, apakah kamu masih ingin nyantri?”, tanya ibu.
“Maksud ibu? Apakah ibu mengizinkanku mondok?”, jawabku dengan semangat. Aku masih berharap kalau suatu saat nanti ada keajaiban, dan hari ini sepertinya keajaiban itu datang.
**
Hari demi hari kulalui dengan suasana baru. Bercengkrama dengan santri, semua hal tidak ada kata sendiri. Betapa bersyukurnya aku, masih diberi kesempatan nyantri. Walaupun hanya satu tahun terakhir sebeluma aku lulus MA (setingkat SMA). Semakin hari, semakin dekat dengan ujian sekolah. Tidak dapat dipungkiri jika aku sedang mulai hidup baru, perlu adaptasi. Aku juga merasa pada satu titik, betapa susah dalam membagi waktu.
“Apakah pilihanku ini salah ya?”
Pertanyaan seperti itu kerap muncul ketika aku sudah penat dalam menghadapi hariku yang melelahkan. Mulai bangun sebelum subuh, ngantri mandi dan setelah itu berjamaah subuh. Setelah itu ngantri ngaji Al-Quran, berangkat sekolah sampai jam setengah empat sore. Jam empat ngaji kitab, sorogan, dilanjutkan salat maghrib berjamaah, habis itu ngaji, mulai dari setelah salat maghrib sampai jam 8 malam. Memang masih ada waktu belajar. Akan tetapi mataku sudah tak kuasa ingin terpejam. Setiap hari kujalani rutinitas dan aku hanya bisa berusaha maksimal, terakhir aku serahkan pada Allah.
“Nduk, besok ikut hafalan ya. Tidak usah ngaji sorogan lagi. Sayang kalau sudah tartil, tapi tidak dibuat hafalan, hanya sekedar membaca saja tidak ada tantangannya.”
Aku tidak henti-hentinya memikirkan ucapan Umik (bu nyai). Di sekolahpun aku tidak bisa fokus. Aku memang ada keinginan, tapi aku masih ragu untuk memutuskan melakukan hal itu. Begitu takut jika tidak bisa istiqomah. Akan tetapi aku ingat kata terakhir beliau saat aku selesai ngaji. Beliau mengatakan kalau belum berani, kapan menunggu kenberanian itu datang sedang tidak ada aksi untuk memulai. Beliau juga menuturkan bahwa tidak akan hafalan hilang jika tidak ada niat untuk melupakan. Semua memang harus dimulai walau harus dengan paksaan. Aku yakin kalau biasa karena dipaksa, dan akhirnya bisa karena sudah terbiasa.
Hidup memang tantangan, bukan sebuah beban. Cukup dijalani bukan untuk diratapi. Tapi semua itu butuh perjuangan. Aku sudah mulai menghafal, semakin banyak ayat yang harus aku pegang erat jangan sampai hilang dan harus bertambah. Aku berangkat dari nol, merangkak sedikit demi sedikit. Selalu menyemangati diri yang selalu dikuasai malas dan nafsu. Kehidupan di pesantren memang penuh dengan rangkaian jadwal yang terikat oleh aturan. Menghafal memang bukan termasuk di dalamnya. Akan tetapi sebuah komitmen itulah yang harus aku pegang. Jadwalku semakin padat. Aku harus menyempatkan waktu untuk murajaah dan menambah. Sungguh perjuangan santri itu luar biasa. Banyak tantangan yang tidak pernah lepas dengan management waktu. Lama-kelamaan aku sudah terbiasa walaupun masih ada saja yang membuatku terkadang menyesali apa yang sudah menjadi pilihanku. Bodohnya aku, ketika lalai (penat, lelah) aku berpikir lalu menyesali mondok dan ditambah menyesal memilih ikut program tahfidz. Namun, Alhamdulillah masih diriringi kesadaran (syukur), karena banyak teman seperjuangan yang selalu mengingatkan. Dari situlah jiwa ini kembali tumbuh dengan semangat yang baru.
Setiap hari santri dan santriwati harus mengikuti ngaji diniyah. Santri identik dengan ngaji kitab kuning, nahwu, sorof, dan sebagainya. Di pesantrenlah aku baru melek nahwu. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa syukurku karena masih bisa merasakan kehidupan santri. Aku memang sudah pernah belajar nahwu, tapi sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh ustaznya. Mbah To adalah guru nahwu-ku. Aku bisa mengi’robi sebuah kalimat. Menurutku itulah ilmu yang sangat luar biasa. Bagi santri yang sudah senior, jurumiyah adalah pembahasan nahwu yang paling dasar. Tapi justru itulah yang menjadi harapanku agar bisa aku kuasai pertama kali. Tapi semua yang kita harapkan atau rencanakan tidak selalu sesuai dengan keinginan. Waktu yang tidak berpihak padaku kala itu.
Sudah tiga bulan aku hidup di pesantren. Alhamdulillah aku bisa diterima disamping teman-teman dan aku sangat menikmati suasana baru yang aku tunggu-tunggu setelah satu tahun tertahan oleh restu ibu. Akulah manusia biasa yang sangat mudah dikalahkan oleh cepatnya waktu berputar. Aku sudah dalam detik-detik menghadapi ujian sekolah. Sebenarnya  bukan hal yang menakutkan. Tapi aku merasa terbebani dengan saingan yang cukup kuat disekolah. Aku juga bisa seperti mereka, aku ingin membuktikan bahwa aku juga bisa seperti mereka. Disamping itu, ngaji tidak libur karena ada ujian sekolah. Pikiranku mulai terombang-ambing. Jika aku harus mendahulukan ujian, pasti waktu ngaji akan berkurang. Jika fokus di ngaji pun aku masih mikir bagaimana jika nilaiku jelek.
Satu-persatu ujian telah terlewati. Inilah yang dimaksud dengan hidup. Cukup dihadapi, dihayati, dan dinikmati. Aku membuktikan pesan dari guru ekonomi waktu kelas satu aliyah. "Pasti semua akan terlewati", pungkas guru ekonomi kala itu. Tantangan dalam hidup pasti akan selesai jika ada usaha di dalamnya. Kalau masalah hasil, Tuhan (Allah) yang berbicara.
“Us, kamu udah ada rencana kuliah dimana gitu?”, tanyaku pada karibku, Firdaus namanya.
“Ga paham, Sa. Aku masih fifti-fifti. Plis deh jangan mikirin kuliah dulu. Ujian ni loh masih satu hari. Mana fisika sama kimia lagi.”
“Ohh... aku udah pusing mikirin ujian tiap hari. Sekali-kali mikirin kuliah lah. Jangan sampe ntar gugup baru nyari nyari universitas."
**
Inilah masa menunggu. Masa yang membosankan bagi kebanyakan orang, termasuk aku. Hasil ujian tidak bisa keluar saat itu juga setelah ujian berakhir. Satu bulan menunggu hasil yang menurutku mengecewakan. Bagaimana tidak, ujian satu kelas soal berbeda, ada yang sama nomor tapi soal beda. Sangat kecil kemungkinan untuk bisa kerjasama. Dari pada mikirin susahnya nyari contekan, lebih baik kerjakan sendiri, walau hanya dengan menghitung kancing baju. Selain itu banyak oknum yang bisnis kunci jawaban. Percaya ga percaya, ada orang yang bisa dapet kunci asli, atau bisa jadi sama sama ga tau soalnya, asal prediksi, bahkan ada yang sama sekali tudak tahu menahu soalnya sepertia apa.
Galau yang tidak bisa terbendug lagi.
Hahahaa (sedih). Bagaimana nasib kita kawan.. SNMPTN ga lulus, SPAN-PTKIN ga lulus, politeknik ga lulus. Jangan-jangan aliyah ini ga lulus..(huahuahua)..", ucap Irham sambil memukul tembok.
“Hushhhh!! Jaga omonganmu ya. Masih ada kesempatan yang lebih banyak . kamu sih nyerah sebelum bertanding, jawab Firdaus sewot.
“Santai gitu lohh. Wajar donk kalo aku nangis. Aku masih pingin kuliah. Aku tau kalo ga ngandelin beasiswa, mana bisa aku kuliah", Irham jawab lebih sewot.
**
Jalan tidak hanya satu, untuk mencapai sebuah tujuan. Berangkat dari pondok bertujuh untuk mengikuti tes masuk PT (Perguruan Tinggi) salah satu program beasiswa kemenag. Perjuangan tidak akan berhenti selama manusia masih mempunyai mimpi yang akan mereka capai. Tepat pada tanggal 10 Mei saya berangkat. Hari itu adalah hari istimewa, ibu aku ulang tahun yang ke42. Hari yang bahagia juga senakin merasa terjaga, alhamdulillah masih di beri kesehatan tapi disisi lain semakin renta usia orang tua ku. Sedangkan apa yang telah aku berikan padanya. Aku belum bisa membahagiakan mereka, belum ada yang aku sombongkan padanya. Rasa bersalah ku menyeruak pada hari dimana aku harus berjuang. Allah memang Maha Kuasa, ilham-Nya datang begitu saja. Awalnya aku setengah setengah da;am mengikuti program itu, saya bangkit dari lamunanku. Aku harus buktikan, aku harus bisa membahagiakan mereka. aku hanya bermodal doa dan salawat.
Bus melajau pada pukul 6 pagi. Saya menuju ke kota provinsi untuk mekasabakan tes. Begitu dramatis pada pagi itu. Ibu ku memberi tahu kalau beliau akan menghantarkan tapi di gang jalan rumah. Itu artinya saya harus tutrun dari bus untuk menjumpai beliau. Sungguh luar biasa engorbanan beliau. Beliau menunggu  is yang sayabtumpangi leewat di gang rumah. Aku tak ada inisiatif lain selain menggambar di selembar kertas, yang isinya ucapan selamt ulang tahun. Abgaimana saya dari kevcil yang bandel, dan pada hari itu, saatnya saya untuk berani mengambil langkah, resiko, untuk berjuang enuntut ilmu demi kebahgiaan kedua orang tua saya. “bu, mbak sekarang udah gede. Mbak pamit dulu ya, mba belum bisa ngasih apa-apa, mba hanya bisa menggambar ini yang jelek pula. tunggu mba ya bu, hadiah terindah untuk ibu dari mbak..”. itulah kalimat yang membuatku tak kuasa menahan tangis saat aku menggambar , menggoreskan tinta diatas kertas putih.
“selamat mengerjakan, jangan berharap lebih, kerjakan degan maksimal, serahkan semua pada Allah. Tidak sedikit yang memperebutkan satu kursi untulk masa depan mereka dan kalian kelak.” Ucap penjaga tes di uin sunan walisongo.
Dalam benakku, aku hanya bersolawat, berdoa, tawakkal. Dan anehnya pula, saya sebelum tes dengan pedenya belajar fisika. Da setelah membuka lembaran soal, soalnya keagamaan semua. Kata ang pertama terucap adalah istighfar. Tapi saya jadi tersadar, segala hal pasti butuh peruangan, jangan meremehkan. Saya yakin bahwa Allah lah yang oaling berkuasa, tidak ada yang tidak mungkin. Ya aku hanya yakin, berusaha, dan berdoa,. Allah pasti tau yang terbaik buat hamba-Nya.
            Siang , di trans semarang saat perjalanan pulang.
            “aku loh ga tau gimana ntar, soal yag aku kerjakan tadi sama sekali ga ada hubugannya dengan eksak. Luar biasa pokoknya,” ujarku.
            “udahlah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting usaha maksimal. Tinggal tunggu gimana nanti. Percaya, apapun hasilnya tidak akan menghianati usaha kita. Jikalau memang tidak, Allah punya planning B. insyaAllah..
*
            Ramadhan memnag bulan yang penuh berkah. Berkah dalam segala hal. Ramadhan kali ini beda, aku dan salah seorang teman ku tetap dipondok walupun sudah akhirussanah. Tidak lain adalah atas perinta bu nyai. Sayang kalau liburan tapi tidak tambag hafalannya. Dapat dipastikan kalu dirumah, pasti malas. (kali aku sih;0).. inilah kali pertama kau puasa di pondok, saur, buka, ngaji posonan, qultum, tadarus, semuanya bersama. Dan pasti terasa beda, bulan ramadhan adalah bulan yang istimewa. Atmosfer yang berbeda, dari bangun tidur dan kembali tidur, kalam-kalm Allah tidak henti-hentiya di lantunkan, di masjid, majlis pengajian, dan sebagainya. Maa sya Allah sekali.
            Di bulan Ramadhan itulah, perasaan bahgia yang menghampiri ku. Alhamdulillah saya diterima di salah satu univ, dan bersyukur lagi bisa mendapatkan beasiswa. Kabar itu sungguh membuat ku bahagia sekali. Walaupun di awalnya sempet tidak diharapka, degna suatu alasan yang irrasioanal. Tapi inilah keputusa Allah. Tapi menuuggu itu pasti. Setelah lebaran baru mngurusi perlengkapan yang harus dipenuhui nanti. Ya itulah waktuku dipondok, di bulan ramadhan yang penuh berkah, fastabiqul khairat. Allah memang tau apa yang teraik buat hambanya. Sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Teman seperjungan, temen ngaji, teman hapalan, juga mendapat infirmasi juga di terima di univ yang dijigaja beasiswa pula. Manakah nikmat tuhan yang kamu dustakan? Itulah yang harus di kecamkan dalam benak setiap ummat terlebih seorang muslim. Ternyata kebahagiaan yang akua dan temen aku raskan juga di ekspresikan temen satu pondok. Mereka ridak henti-hentuya mengucaokan selamt kepada ku dan teman ku. Dan tidak akan ketinggalan, ucapan selamt itu pasti diiringi degan doa. Maa sya Allah. Pondok pesantren adalah tempat yang aling tepat untuk bekajar segala hal, akdemik, akhlak, dan sosial. Kasih sayang, saling mengingatkan, perhatian nyya begitu luar biasa. Mondooku yang singkat itu sanagt membawa berkah dan perubahan lebih baik bagiku.
*
Setiap hari saya dan te,anksaya disibukkan di dalem (rumah Bu nyai). Semntara santri santri lain pada sekolah. Ada yang mts dan aliyah (pagi hari). Saya membantu bunyai, menuruti apa yang beliau kehendaki, dari masak, bersih-bersih, atau ngaji bareng . sejuk hati ini, tenang. Ternyata selain aku dan temanku, ada beberapa santri yang sudah lulus sekolah aliyahnya, dan belum balik ke rumah. Mereka itulah kang-kang pondok. Yaitu santri putra yang disuruh menetap dipondok membantu keluarga bu nyai. Otomatis intensitas berjumpa saaya dan teman saya dengan santri putra tergolong sering. Walau hanya berpapasan. Maklumlah yang namanya anak muda, bunga-bunga cinta oesantren todak bisa di hindari. Akan tetapi beda dengan yang lain. Kita hanya saling sapa, saling membantu dalam mengerjakan perintah dari keluarga bu nyai. Bercanda, saling ejek. Rasanya bahagia dalam bulan penuh berkah,  walau sebenarnya tidak ada kata atauikatan tentang kedekatan itu. Sebatas saling ejek. Tapi tidak bsa dibohongi, kenyamann itu selalu hadir sat saling bersama dalam satu tempat. Aku pun tak berharap lebih, aku mencoba mengendalikan nafsu yang sebenarnya bisa saja berdmpak buruk seketika.
            Semakin dekat dengan lebaran, H-3 menuju hari raya idul fitri. Aku pun bergegas untuk kembali pulang ke rumah, atau artinya boyong dari pondok. Rindu keada orang tua tidak bisa dibendung lagi. Akan tetapi begitu berat meninggalkan pondok yang sudah mengajarkan ku arti hidup yang sebenarnya, menrubah diriku menjadi pribadi lebih baik, tangguh, melek nahwu, mencintai Al-Quran. Sedih ku tak terhinfarkan airmata ku tak bisa ku seka. Aku pamit dengan bunyai
“umik, saya mau boyongan, minta doa restunya umik. Semoga dilancarkan urusannya, kuliahnya, ngainya. Aku tertelungkup dalam pangkuannya. Tidak bisa di pungkiru ika aku ataupun santri lain bisw swdwkat itu dengan umik yang sebagai pengasuh. Memang beliau sendiri yamg mengajar ngaji, jadi selayaknya ibu kita sendiri. Hati ini tak bisa dibohongi, sedih haru.
“(elsan tangan lembutnya yang sudah berkeriput), Umik selalu mendoakan. Apa yang di cita-citakan kamu tercapai dikabulkan oleh Allah, pegang [rinsipmu nduk, yang sudah kamu dapat dipesantren ini. Tetap jaga hafalanmu. Umik tidak bisa memberi apa-apa, tapi umik memberimu sajadah dan sarung bantal, supaya kamu ingat umik disana.
            Tak kuasa aku menhan airmata sedih dan haru. Aku teringat semua yang pernah aku lakukan tapi tak sesuai atau membangkang apa yang beliau perintahkan. Ternyata umik prhatian sekali, dengan segala wejangan bahkan terkadang marah itulah  ukti sayang nya beliau pada santri-santtrinya. Akuhanya terdiam mengangguk. Tapi hati ku dibasahi dengan airmata bahgaia, haru sedih dan oenyesalan.
**
Allahu akbar Allahu Akbar
Suara adzan berkumandang dari masjid di desa ku. Itu lah hari pertama aku buka puasa di rumah pada ramadhan tahun itu. Seneng sekali masih bidsa menikmati uka puasa dengan keluarga. Rasanya semua tidak ada yang emnyakiti ku, semua ternya sauyang sama aku. Saaat saya merasa sendiri itulah, Allah menguji ku, seberapa rasa syukurku atas nikmat-Nya. Semiga Allah mengamouni ku. Salat berjamah, tarawih tadarus di musahollah dekat rumah. Berjumpa dengan tetamgga, teman seaktu sebeluma aku berang kat ke pondok. Alhadulillah masih di berikesempaan untuk saling melepas rasa rindu, berbagi, iilah rahman dan rahim Allah
Tak terasa malam takbiran pun tiba. Semua sorak sorai,menyambut harkemengangan.emua anak tidak sabar untuk memakai baju lebaran. Ibu mempersiakan makanan lebara stidak lain adaalh opor, dan kawan-kawan. Bapak salig bercegkrama di serambi masjid, yang dipenuhi dengan masyarakat sekitar berxakat fitrah. Tapi aku hanya sendiri dalam kamar, menangis, entah terharu, bahgia atau bersedih. Aku mmbaca sebuah surat dari kang-kang yang dipondok dulu, yang tidak lain aku kagumi. Dia sempat memberiku sepucuk surat ketika aku selesai sowan di umik. Untungnya keluarga yang menjempurku tidak melihat. Sengaja aku baca waktu malam takburan, soalnya itu pesen dari dia. Semga bisa membuatmu terseyum di hari kemenangan.
Untuk
Sahira
Assalamualaikum
Maaf kalau selama saya berteman denganmu kurang sopan, berbuat tidak baik, atau salah dalam bertutur kata. Aku sungguh bersyukur bisa mengenalmu. Setiap hari, aku memandangimu dari jendela kantin, melihat mu mengaji, berangkat sekolah, bergurau dengan satri lain. Dari situ aku mengenalmu walau dari visual saja. Tapi aku tidak bisa berbohong dengan perasaanku. Aku mengagumimu atau perasaan apalah, yang aku rasakan selama ini. Tapi mulutku selalu kelu untuk mengucapkan dihadapanmu. Entah karena begitu tak pantasnya diriku jika mengucapkan perasaanku padamu. Alhamdulillah, dengan sepucuk surat ini, aku bisa merangkai kata terindah utukmu. Aku selalu menyertakan namamu dalam doaku, semoga selalu sehat, dimudahkan urusanmu, dikabulkan harapan-harapanmu. Dan pasti ku utarakan, “jika dia emang tebaik untukku dekatkanlah, dan pertemukan lah kami kembali, entah kapan waktunya dan dimanapun tempatnya. Jika tidak, semoga ditunjukkan yang terbaik bagi kita semua. Asalkan Allah ridho.”
Sekarang saatnya kita memperjuangkan dulu apa yang sudah kita rencanakan, membahagiakan kedua orang tua, mewujudkan cita-cita. Jaga hafalanmu ya.
Wassalamualaikum...
                                                                                                            Salam
                                                                                                            Syahrir
Ya Allah indah sekali rangkaian perkaatan yang ia tulis di lembaran ini. Jika aku boleh menjawab, “aku pun demikian.” Semoga Engkau menyampaikan langsung padanya. Aamiin. Aku harus sungguh-sungguh dalam menggapai cita-citaku. Hal yang terpenting aku harus membahagiakan kedua orang tua. Jika masalah jodoh, Allah sudah menyiapkan. Entah si Syahrir atau yang lain. Asalkan Allah meridhoi. “Terima kasih ya Allah, Engkau telah menghadirkannya di hadapanku, walaupun tidak ada hubungan yang spesial, dia telah membantuku dalam memahami kitab-kitab yang isinya adalah penjelasan dari perintah dan larangan-Mu.”
“Sahira, kesini nak. Bantu ibu menyiapkan semuanya. Supaya besok tifdak repot, dan bisa salat ied bersama.” Pangggilan ibu menyadarkanku yang larut dalam air mata haru, bahagia, sedih juga. Aku langsung bergegas mengusap airmata dan menyimpan surat nya di buku diaryku. Aku berlari dari kamar menuju dapur memenuhi panggilan ibu sambil mengiyakan beliau.

=to be continue=^.^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton