cerpenku



REMBULAN DI UFUK BARAT
OLEH: Atssania Zahroh
                Sujiwo anak pertama dari tujuh bersaudara. Otomatis sebagai anak pertama harus memikirkan masa depan adik-adiknya. Namun, hidup begitu kejam, ayah sudah meninggalkannya sejak kecil. Ibunya lah yang banting tulang mencari nafkah untuk ketujuh anaknya. Sujiwo tidak patah semangat, dia punya mimpi tinggi, dia tidak mau hanya diam dirumah. Dia harus kuliah dan kerja mapan. Rasanya begitu suram masa depan jika melulu tinggal didesa.
                “Bu, Jiwo ijin ke kota. Jiwo akan kuliah sambil kerja”, pinta Jiwo pada ibunya
“Sudah kamu pikirkan betul-betul? Ibu ga punya apa-apa nak. Tidak ada pesangon yang ibu berikan”, ucap ibu
“Ibu tenang saja. Jiwo ga minta ko, Bu. Saya punya tabungan. Jiwo mau Ibu pake buat kebutuhan sebulan kedepan”, Jiwo meyakinkan
“ibu percaya sama kamu, Wo. Ibu Cuma bisa mendoakan”, balas Ibu dengan senyum hangat
                Kehidupan kota lebih keras. Tidak ada kebenaran diantara mereka. Tidak ada rasa kepedulian diantara satu dengan yag lain. Jiwo baru merasakan kehidupan yang sesungguhnya. Jiwo memulai hari pertamanya dengan berjas. Walaupun hanya penjaga koperasi, dia harus profesional denga pekerjaannya. Bagaimanapun kepuasan dan senyum nasabah adalah tujuan dari pekerjaan mulia ini. Pagi itu, dikantor, dering nada HP berbunyi. Ternyata telpon dari Ibu.
                “Gimana kabar kamu di kota?”, tanya Ibu lewat ponsel
                “Alhamdulillah, sehat Bu. Gimana keluarga di desa?”, jawab Jiwo semangat
                “Alhamdulillah, sehat semua, Wo. Gimana kerjanya?”, Ibu balik tanya
                “Lancar bu kerjanya, Jiwo udah mulai nabung. Jiwo juga minta doa bu, Jiwo udah mulai kuliah”, papar Jiwo lewat ponselnya
                   “Jiwo, ibu sayang Jiwo, doa ibu slalu ada namamu. Jiwo jangan lupa salat, jaga kesehatan ya, Le”, ucap Ibu serak
                Pagi hari jiwo kerja sampai siang. Terkadang sampai sore jika ada evaluasi sama menejer. Jiwo tak pernah mengeluh. Walau sebenarnya, gaji tak seberapa. Setidaknya cukup hidup dikota dengan makan tempe dan sayur bening. Dia selalu ingat orang tuanya yang banting tulang untuk anak-anaknya. Terlebih lagi tanpa ada sosok ayah. Dia sudah bertekad untuk selalu berusaha menggapai cita-cita, membahagiakan ibu dan adik-adiknya, dan satu hal yang dia tidak mau menjadi laki-laki gagal seperti ayahnya. Dia sudah muak dengan kata-kata ayah. Tapi apa boleh buat.
                Sore harinya dia harus bergegas menuju kampus. Dia sengaja mengambil jam sore, menyesuaikan dengan jam kerjanya. hanya sebagai pegawai bank. Walaupun sudah kerja, dia tidak mau mengubur mimpinya untuk berkuliah. Toh juga dikerjaannya dia hanya pegawai pembantu. Mungkin pihak bank merasa iba dengan keadaan Jiwo yang bertampang kekurangan, melas, tapi pekerja keras.
                Kuliah akan menjadikan dirinya berpengalaman. Bisa lanjut pendidikan yang lebih tinggi lagi. Dia memang tidak peduli orang bilang apa. Tapi dengan dia berpendididkan tinggi, dia bisa mencapai gelar doktoral. Jiwo mau dunia juga menghargainya. Sekarang dia bisa kuliah, rasa syukur yang luar biasa. Tuhan tau yang terbaik buat hamba-Nya. Dia ditemukan dengan saudagar kaya. Anehnya, saudagar itu dosen killer yang membuatnya males masuk kuliah. Dosen itu yang membuat Jiwo terkenal tapi melepaskan impian untuk mempunyai gelar doktoral.
Dosen killer adalah dosen antropologi yang membahas hutang negara. Tapi terdapat satu hal yang dia salut. Rasa nasionalisme si dosen sangat tinggi. Dosen killer itu kalau sudah membahas keterpurukan Indonesia ini, sampai nangis penuh drama. Alay memang, parahnya seluruh mahasiswanya tidak boleh ada yang ngomong. Tapi pada tidur karena sangking merdu suaranya, seperti dongeng penghantar tidur. Tapi Jiwo tidak bisa seperti yang lain, Jiwo sudah berprinsip tidak tidur saat pelajaran dan emang ga bisa. Oleh karena itu jiwo menjadi sasaran diskusi dosen killer itu.
                Suatu pagi yang cerah, dengan semangat yang loyo, Jiwo mau bertemu dosen killer berbaju pelangi yang super pede.
                “Hai jiwo, sungguh cerah hari ini. Gimana kabar hari ini?”, sapa Dosen killer
                “Ya pak, damang. Saya sibuk pak, bapak mau ngomongin apa?”, jawab Jiwo ketus
                “Sewot sekali kau, nak. Saya tidak mengapa, karena saya tau kamu akan merubah negeri ini dengan seluruh etos kerjamu”, balas bapak Dosen dengan santai
                “Bapak jangan berdalil panjang, to the point saja”, timpal Jiwo
                Si jiwo anak baik, tapi bukan untuk hal yang ini. Dia sudah tidak ada kecocokan sama sekali sama si dosen killer. Setelah pertemuan hari itu, Jiwo pulang ke kos dengan wajah kusut tanpa senyum lagi. Dosen killer menyuruh Jiwo menulis satu buku dengan tema Kebangkitan Indonesia. Saya harus mikir 1000 kali lebih berat. Cuma ada dua pilihan, kuliah dengan menuruti permintaan dosen killer atau beasiswa hilang karena nilai satu mata kuliah tidak kluar. Saya bingung tapi sangat rasional jika saya milih pilihan pertama. Jiwo langsung tidur setelah sampai kos, dia pikirkan tawaran dosen killer di hari esok dengan harapan dunia berubah seperti dinegeri dongeng.
                Matahari tidak henti-hentinya menyinari bumi. Permintaan jiwo sebelum tidur tidak dikabulkan Tuhan. Dia harus berusaha menyelesaikan tugas dari dosen killer dalam minggu itu. Untungnya jiwo tidak perlu uas. Dia dengan hati yang berusaha lega, demi mengalirnya alur cerita yang akan ditulis, dia membayangkan desa tercintanya. Bagaimana desanya bisa maju, masyarakat yang hidup sejahtera, keluarga yang terjamin, satu lagi yang paling penting, kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya tanpa henti. Cerita yang terus mengalir dengan goresan-goresan tinta membawa Jiwo dalam imajinasi.
Orang tua jiwo yang berusaha keras, sebagai single parent. Memperjuangkan pendidikan anak-anaknya, supaya bisa jadi orang besar, melalang buana untuk mencari ilmu dengan harapan kembali ke rumah bisa berguna bagi masyarakat. “Jangan pernah bahagia jika tanah kita masih diinjak-injak oleh orang-orang bodoh”. Kata itu tidak pernah lupa diucapka sang ibu untuk ketujuh anaknya sebelum berangkat sekolah.
                “Ternyata indah sekali menulis itu. Walau terpaksa, saya menikmati prosesnya. Saya bisa menyampaikan rindu ini untuk desa saya tercinta. “Rembulan di Ufuk Barat” judul buku yang cukup indah. Alhamdulillah berhasil saya tulis dalam waktu seminggu”, gumamnya lega
 Buku itu berisisi kisah nyata, motivasi dan mimpi-mimpi Jiwo yang digantung setinggi-tingginya untuk diwujudkan satu-persatu. Keindahan desa sebagai latar cerita dan kondisi keluarga yang menghidupkan alur cerita demi cerita.
                “Ibu, perjuanganku baru dimulai. Kesuksesan akan segera dalam genggamanku. Rembulan segera terbit dari barat di kegelapan malam”, tekad Jiwo dalam hati.
                Dosen killer sangat berterima kasih pada jiwo telah bersedia membuat sebuah buku. Buku jiwo sangat memuaskan bagi bapak dosen, sesuai dengan yang beliau harapkan. Ternyata dosen killer itu memiliki percetakan buku yang sudah terkenal di Indonesia. Jiwo baru mengetahui setelah karyanya diserahkan kepada bapak.
                “Jiwo, terima kasih sudah menjadi partner menulis saya. Semoga akan akan laku berjuta-juta copy”, ucap pak dosen
“Iya, Pak. Tapi apa maksud dengan laku berjuta-juta copy?”, Jiwo bertanya-tanya
“Bapak akan mencetak dan menerbitkan buku karanganmu yang 200 halaman ini. insyaAllah ini akan menjadi best seller, karena roda penerbitan  buku tahun ini mencari pecetakan yang mencetak buku untuk anak bangsa dalam yang ber-genre nasionalisme dengan etos kerja. Good job, Jiwo. Berdoalah dan tunggu kabar dari bapak diakhir bulan ini”, jelas pak Dosen panjang lebar
“Iya pak. Saya tidak menyangka. Sudah lama saya menulis tapi hanyalah tergeletak dalam buku kusamku. Saya sangat berterima kasih,” tukas jiwo semangat dengan wajah terheran-heran
Di awal tahun 2018, Jiwo duduk disofa empuk, disinari lampu hotel berbintang, disorot kamera, masuk tv nasional, radio RRI Bandung, dan Jiwo readears mengerumuninya pada malam itu. Sekarang madu yang ia kecap, yang sebelumnya mungkin selalu menyantap brotowali. Kesuksesan tidak ada yang tau datang darimana. Dengan uluran tangan bapak dosen killer, dia berhasil menjadi seorang pembicara dan penulis yang membawakan bukunya didepan publik. Dia pun tak lupa atas jasa sang dosen. Bapak Dosen itu selalu mendampinginya dalam menghadiri acara seminar, atau bedah buku dan sebagainya. Sebenarnya dia sangat merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif dengan beliau selama masih dibangku kuliah. Tapi dia berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi kacang yang tak lupa kulitnya. Walaupun hanya sarjana, dia sudah bisa memberi manfaat kepada orang lain lewat tulisannya.
“Le, Nduk. Lihatlah masmu. Masmu sekarang di tv. Duduk disofa empuk, wajahnya bersinar, disoroti lampu kuning mewah. Jadilah seperti masmu tapi tetaplah jadi diri kalian masing-masing”, tutur ibu terharu bahagia.
“Kamu memang rembulan yang beranjak dari ufuk barat, mulai menyinari jagad raya dalam kegelapan malam. Indahmu ditemani cahaya bintang yang setia, keluarga yang sangat mencintamu”, tutur kata hati sang ibu kala melihat Jiwo didalam kotak ajaib itu.
Jiwo berhasil menggapai mimpinya. Dia kembali ke desanya, membangun desa tercinta dengan berbagai inovasi memajukan desa. Desa yang membesarkannya kini telah hidup sebagai desa teladan se-Kabupaten. Dia disegani masyarakat, terlebih lagi dia menjadi kebanggaan keluarga. Ibunya senang sekali ketujuh anaknya disampingnya dengan jalan hidup mereka masing-masing.

THE END


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton