Remo(ne) Duta Damai


    
Aku masih usia belia jika dikatakan sebagai seorang mahasiswa kala itu. Ketika itu, Aku sedang menjalani masa-masa semester II. Usia yang masih nub (pemula) untuk Aku ikut sebuah organisasi atau kegiatan. Namun, semangat di awal itulah yang ternyata manis dikenang untuk sekarang ini. Aku merasakan nikmat dunia, begitulah Aku mendefinisikannya.


Syukur, syukur, dan syukur yang tidak putus. Aku dipertemukan dengan orang-orang baik, hebat dan peduli. Itu yang mendasari perasaanku sampai saat ini sama terhadap orang-orang yang kutemui. Tidak melulu Aku sok bisa memberi, tapi yang pasti Aku mendapatkan dari mereka, ilmu dan pengalaman baru.

      
Aku bertemu sosok orang Jawa, lebih tua dari ku-- Mas Zidni, Aku memanggilnya. Dia yang mengajariku mengenal dunia luar lewat karya tulis. “Ikutlah Duta Damai, coba saja.” Dengan sigap aku merespon ungkapan itu. Dan selain itu, ada sosok yang mendorongku dari masa aliyah, ternyata dia juga berkecimpung di Duta Damai, dan lebih master dari Ka Zidni-- namanya Ka Haydar. Sehingga, Aku mantap mendaftarkan diri. Tidak lain, “Aku mencari pengalaman.” Mau tidak mau, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, dengan kemauanku yang sungguh-sungguh, prinsipku.


Aku bersama empat orang temanku, diterima untuk mengikuti pelatihan Duta Damai. Aku, Ka Burju, Ka Rinaldi, Teh Uny, dan Icans. Sore-sore kala itu; sebelum pengumuman disebar di akun media sosial resmi BNPT—penyelenggara kegiatan pelatihan Duta Damai, diiringi rintik hujan, kita berlima menuju Cafe BOBBER untuk interview, kalau tidak salah di Bandung Kota. Proses formalitas itu berjalan lancar, dan tidak ketinggalan hal wajib yaitu foto, untuk kebutuhan nafsu yang ber-moment. Masih bayi sekali, Aku kala itu. Baru menjadi mahasiswi, tapi sudah melalang buana, pikirku.

Kabar datang; pengumuman yang lolos seleksi interview. Ternyata kita berlima lolos, dan melanjutkan pelatihan Duta Damai Dunia Maya yang berlokasi di Hotel Four Point Bandung. Senang, pasti!!! Rasa kala itu diliputi syukur wal hamdulillah. Banyak sekali cerita selama empat hari. Dari mulai peresmian acara, pembagian kelompok, sampai dinobatkan sebagai Duta Damai. Seorang Duta, ‘Oh dasar dunia’, imajinasiku.. Intinya Aku suka dan berterima kasih kepada semua (pihak). Dari situ, Aku meyakini apa itu pengalaman, belajar, dan Aku suka mendalaminya. “Mencari pengalaman, bertemu orang baru, dan kutemukan relasi”, hobi yang baru kusadari.

Remo dasar remo. Remo kalau dalam bahasa Indonesia adalah makmur. Tidur di hotel, (lupa siapa partner seranjang Aku). Hihi. Makan enak, dapat baju, cinderamata jam seharga 800 ribu. Sebelum kegiatan yang remo itu, Aku pernah merasakan hidup makmur yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya; diterima menjadi santri PBSB. Yang merasa ujub-ujub, setelah sampai di Bandung disambut sekaligus dimanusiakan dengan sangat, dan ada unsur dunianya. Di-hidupi selama satu minggu di hotel Lingga. Diberi pembekalan. Setelah capek, maka tidur di kasur empuk, dan lanjut makan, kembali materi, dan begitu seterusnya. Mewah, nikmat, dilakukan bersama (ber-24 orang), demikian wajah dari hotel bintang tiga. Maa syaa Allah...

***

Aku lihat-lihat, “Oh, ini four point, ternyata bintang empat. Sudah mewah intinya mah, makan tinggal ambil dari Italian food sampe Javanese food. Lantai beralaskan karpet: mewah nan indah. Satu hal yang ku ingat, ternyata Aku sama Icans adalah peserta termuda di forum Duta Damai Jabar waktu itu, tahun 2017, Aku masih semester 2. Walaupun secara umur, Aku sama Icans lebih tua ketimbang Teh Uny yang saat itu semester 4. 

I’m grateful masuk di dalam agen perdamaian, Aku memiliki kelompok yang bernama Bhinneka Duta Damai yang beranggotakan Icans, Ka Burju. Sedangkan Teh Uny dan Ka Naldi, di kelompok Cahaya Duta Damai. Hasil dari pelatihan, kita menduduki posisi masing-masing, Aku, Icans, Teh Uny, Ka Burju adalah blogger. Sedangkan Ka Naldi ambil posisi di DKV. Pulang-pulang mengantongi amanah, kita memiliki website yang harus diisi dengan konten yang anti propaganda. 

(Kisah ini, bagian dari proses (belajar) hidup)

Masih saja berlanjut kisahku ini. Aku mendapat kabar sekitar akhir bulan Oktober 2017, untuk mengikuti pelatihan lanjut Duta Damai di Jakarta, Se-Nasional. Dari yang awalnya berlima, tapi kesempatan kali ini hanya berempat yang pergi ke Jakarta. Icans tidak ikut ke Jakarta. Pada waktu itu Icans mengungkapkan kurang enak badan, juga ada keterbatasan kuota Aku merasa tidak enak karena alasan yang kedua itu, rasa yang menyergap seketika. Tapi Alhamdulillah, dengan komunikasi yang baik, Icans say ‘no problem’. Dan ada ka Burju yang menimpali, “Saya mengajukan kamu, jadi tolong amanah”, pesan Ka Burju. dududu. Terimakasih dan rasa takut saling tumpang tindih di tubuhku, fiuhh...

Pelatihan ini yang menjadikanku belajar, dan tidak tahu (lagi) apa itu nikmat yang ada di dunia ini. Ada-adanya hal yang demikian; pelatihan yang dibiayai, pesertanya terdiri dari pemuda-pemudi Sabang sampai Merauke. Kurang lebih ada 150 peserta yang terpilih dari kota-kota pilihan. Dan kali itu, yang membuatku pernah merasakan apa itu naik pesawat. Dari Bandar Udara Husein Sastranegara Bandung ke Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, hanya 35 menit. Tapi itulah yang menjadikanku ‘pernah’. Sesampainya di bandara, kita dijemput, dan ada kameramen yang menyambut, kita take sebentar. Di depan pintu yang bertulis “Arrival/ Kedatangan”. Ya Allah nikmat apa yang seperti ini, seperti hal yang wajar tapi menurutku masih kaget lah ya (Ucapku dalam hati) 

Sampai di lokasi Jakarta Pusat, Hotel Grand Mercure, Subhanallah, five point. Mewah dan mewah lagi. Kegiatan berjalan selama 6 hari. Kamar hotel bintang lima itu, pintunya tidak memiliki kunci seperti biasanya. Hanya bermodal kartu, digesek ke kotak yang di sisi pintu. “Seperti Flim Home Alone”, pekikku.

Aku masih lekat akan kisah itu, cukup sampai sini saja. Cerita bertele-tele ini cukup memantik ingatanku untuk mengulas semua yang terjadi saat itu. Setiap orang berbeda dalam menanggapi fenomena atau apa yang dialami dalam hidupnya. Aku dengan sengaja, menulis kisah yang seperti ini. Karena layak untuk menjadi pengingat. “Aku pernah, tapi Aku silau. Astaghfirullah. Tak lupa Alhamdulillah  atas belajar yang seperti ini.

Tak tahu apa yang akan terjadi nanti, mari lalui!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton