Nikmat Ngabdi #1

Hujan deras, suara manusia untuk tingkat ambang normal akan terkalahkan dengan dentuman air yang jatuh di atas esbes. Esbes aula pesantren yang menjadikan suara air jatuh seperti batu yang jatuh menyentuh benda keras pula. Tidakkah terbayang, derasnya?

Deras hujan di siang hari, tanpa matahari pastinya, seyogyanya dingin suhu yang dirasa. Namun siang yang penuh guyuran hujan, seperti kemarau, panas, mencekam, tidak nyaman.

Suara derasnya air, dinginnya musim hujan tidak berarti apa-apa ketika disitu ada kemarahan dan kekecewaan. 

Pertama kali, saya mendapat teguran juga amarah dari Kiyai. Acara yang diselenggarakan di pesantren dengan saya yang sebagai penanggung jawab, pada hari pertama itu kacau. 

Acara mundur satu jam, sound system tidak siap, tidak ada koordinasi dengan kang Sound, tidak komunikasi intens dengan pihak inti, Kiyai, Ustadz, Kang, sebelumnya, gladi sebatas kumpul tidak cek semua perlengkapan. Dan kesemua itu diketahui oleh Kiyai yang datang awal. Sebenarnya juga sudah telat, namun tidak kunjung ada konfirmasi dari panitia (mungkin), jadi kedatangan beliau menunjukkan bahwa kekurangan bahkan tidak siap sama sekali, itu tampak! DUAR!!!

Tas jinjing beliau dibanting. Suara deras hujan kalah dengan 'duko' Kiyai, dinginnya suasana jadi panas karena rasa kecewa campur amarah.

"Saya tidak mau seperti ini lagi. Kalian yang menjadi panutan (lebih tua) dari santri. Harus bisa mengatur, biar tidak jalan sekedar jalan, seadanya, usaha zero", Kiyai

Saya, dan dua partner saya hanya diam. Mendengarkan dan dengan jujur mengakui 'benar akan kesalahan", dan yang paling penting "Biasa wae, Sa". Jiwa meronta-ronta untuk terus berani, sekalipun salah dan memalukan. Saya mulai menyetujui untuk membiasakan keadaan demikian. Memang 'kali pertama' itu perlu, meski 'seolah gagal'. Biar tidak kagetan di belakang, dan ada perbaikan.

Tapi saya harus belajar, dan melakukan. Setelah kejadian itu, saya baru menuju Kang/Ustadz sekitar waktu 'surup', beliau ngabdi sudah sejak Mts, kurang lebih 17 tahun.

"Baiknya setiap ada agenda, pemberitahuan saja minimal. Jadi tidak bertanya-tanya, kalau ada rame-rame di sekitar pondok. Dan ketika ditanya tidak tahu, padahal itu bagian dari orang-orang disini. Kalau ada kendala, bisa dibantu. Coba kalau hanya diam, tidak ada penyelesaian. Biasa saja, nikmati kesalahan yang terjadi. Kamu juga masa pengabdian. Tidak sekedar karena tanggungjawab PBS* saja. Tapi yakin, memang saat ini kamu dijatah-Nya di pesantren ini. Untuk mendekatkan diri dengan Allah. Ngabdi, itu sendiri. Misal saja dzikir sama Allah kalau tidak cinta dan senang. Maka yang ada hanya rasa berat dan beban. Kamu disini harus cinta dan senang, dan pasti ditemui rasa itu." (Dalam pesan dari Kang itu, mengandung bawang merah. Air mata diri, tidak sungkan luber tumpe).

Panjang penjelasan yang menjadikan saya tambah 'nriman', duh. Saya yakin mantap disini. Bukankah hidup yang wajarnya, itu bisa menikmati sedih,  senang, marah. 

Ingat kata Bapak, apa-apa yang dilakukan itu ada isinya (niat), tidak kosong tanpa makna yang akhirnya juga dirasa hanya ada 'hampa'. Meski ada penilaian yang tidak sesuai keinginan diri terkait pengabdian ini, bukan berarti tidak tepat dan harus ditinggal. Tapi rasa awal untuk mencapai apa itu 'nyaman' memang harus jatuh dan balik lagi ke start. Dan ternyata kita sudah bisa move (berubah dan betah) berjalan dengan sendirinya dan mengalir, tidak kita sadari. Aaminn❤️

Tasawuf itu nyata. Nikmat Ngabdi "Karena Dimarah, Saya Belajar".

Acara hari pertama, sudah cukup berhasil. Berjalan dari awal sampai akhir. Kendala itu harus ada memang. Hujan yang panas tadi, semakin ke arah jingga sore, terang nan berarti. Bersama Mba dan Kang, saya diperjalankan Allah menyelami pengabdian.

Mereka  adik-adik, anak-anak(ku) juga boleh. Terimakasih, belajar tidak selamanya dari yang lebih tua. Namun dari mereka, yang lebih muda, memberi pelajaran bagi saya yang secara umur, lebih dewasa dikit lah:). Semangat! (In pict, santriwati Hasyim Asy'ari Bangsri)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton