Ini Namanya Riwa-Riwi

Dilema saat menghadapi pulang ke rumah. Pulang ke rumah saat ini menjadi hal yang sangat istimewa, khusus bagi saya. Setelah mukim di pesantren terhitung dari Juli 2020 sampai Mei 2021, dengan pulang dua kali, singgah rumah sekali adalah luar biasa menurut saya. Lagi, dengan jarak rumah-pesantren hanya butuh waktu 15 menit, sama halnya di tanah rantau yang jaraknya butuh waktu 10 jam untuk sampai Bandung (waktu itu). Sama saja, jauh-dekat!


Di momen bahagia, Ramadhan yang disambung dengan Syawal, saya berkesempatan dan diijinkan pulang. Meskipun hanya 1 Minggu, bersyukur sekali. Perjalanan pulang hanya satu minggu, eh masih saja riwa-riwi. 

 

Keputusan awal saya pulang adalah setelah lebaran, saya yakin itu bercanda. Diseriusin dengan ungkapan Umik, saya pulang h-2. Saya iyakan. Ada kabar keesokan harinya. Ternyata saya bisa pulang di hari besok. Lanjut saya ijin ke Baba, tidak begitu saja mengiyakan keputusan Umik. Saya harus menunggu satu hari. Baik! 


Persoalan tidak cukup antar saya dan pengasuh. Tapi juga antar saya dan orang tua. Orang tua mengharapkan saya pulang lebih awal. Saya hendak pulang, dan ketika sudah tiga hari di rumah. Saya kembali ke pesantren, lantaran menurut saya "Saya masih harus stay di pesantren, berat meninggalkan". 


Bagaimanapun orang tua, itu prioritas saya. Orang tua mengatakan langsung pulang, tidak usah bolak balik. Sayapun mengiyakan. Belum berhenti sampai situ saja, dilema saya. 


Suatu sore dikabari bahwasanya masih ada dua agenda dalam dua hari ke depan setelah saya pulang. Sebelum pulang (beneran), saya mempertimbangkan untuk di pesantren biar tidak riwa riwi. 


Oh malangnya, saya tidak bisa mengelak lagi dengan chat ibu di pagi hari (Sabtu). Beliau menanyakan kepastian saya pulang. Saat itu juga, saya jawab. Saat ini juga saya siap-siap pulang. Duh, bukan canda (sayang). Saya benar pulang. 


Sampai di rumah pukul 9.30 A.m. Suka cita tidak bisa ditepis dengan dilema saya untuk memilih waktu pulang. Sudah lewat begitu saja. 


Sore hari, tiba. Saya kembali ke pesantren untuk mengikuti Reses.  Reses Jepara yang dibilang Ayah hanya sebagai formalitas. Benar adanya. Saya kali pertama dibanding Mba Eni, Mba Nisa dan Mba Dewi. Okelah saya belajar, memahami sesuatu. "Inilah realitas". (Hanya berfoto untuk SPJ) Masih saja ada pikiran baik. Bagaimanapun itu menyejahterakan, buktinya orang berdatangan dan berair muka bahagia, dengan sembako dan mukena/sarung yang ditenteng, diberi cuma-cuma.


Sore beranjak pada malam. Saya masih ada perjalanan berbeda lagi. Saya sudah mengiyakan undangan buka bersama. Saya harus hadir meskipun tidak sampai selesai waktu. Disini saya juga dibersamai dengan rasa dilema. Antara saya pulang setelah Maghrib atau Isya. Walhasil saya pulang setelah Isya. Dilema diijinkan atau tidak oleh orang tua karena saya baru saja sampai rumah, sudah main sajah. 


Orang tua saya, Bapak-Ibu tidak pernah membatasi. Selalu membolehkan dengan dibekali apa itu ijin, apa itu matur, apa itu jujur. Ijin kalau main, matur ketika dalam perjalanan atau bahkan sudah sampai ke tempat yang dituju.


Dilema, diantar Fitri atau nebeng teman yang pulang duluan. Sudah mengiyakan diantar Fitri. Keputusan saya berubah, dengan dalih kasihan dan merepotkan lantas saya nebeng teman yang searah dengan rumah saya. 


(Berusaha tidak menyesali keputusan. Karena saya pulang lebih awal dan nebeng saya menunggu jemputan dan ngemper di pinggir jalan. Untung ada warung klontong). Demikian warna warni dilema.


Keesokan harinya.


Ibu tidak sedia menunggu saya pulang dua hari kedepan (keputusan awal). Niat saya biar semu beres. Jadilah wira-wiri selanjutnya. Saya masih diutus GeNose. Biasanya saya berangkat dari pondok, menempuh jalan 500 meter dari pondok saya menuju pondok Joglo. Saat itu saya harus menempuh jalan 7 kilo. Ya! Saya berangkat dari rumah. Saya menuruti apa bilang Simbok. "Gapapa, pulang dan harus riwa-riwi. Intinya kamu pulang".


Detik ini. 


"Alhamdulillah merasakan", tukas Ka Hay dalam chat.

"Mumpung tidak puasa", tindih Mba Dewi dalam chat.


Saya masih menunggu Ayah Bunda. Saya berangkat sejak siang karena utusan. Sudah di rumah, eheh. Tidak bisa lepas begitu saja.


Menikmati masa ini, sungguh Khidmah:)


Kami sedang numpang pengalaman di Kantor DPRD



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton