Obrolan Bersama Toples Lebaran

Rona hari raya Idul Fitri tampak jelas di daerahku. Mereka, tetangga, sanak famili, orang lewat di jalan depan rumah, entah saya tidak mengenal hilir mudik untuk silaturahmi dan saling melebur maaf satu sama lain. Khusnudzonku mereka semua suka cita menemui saudara atau kerabat yang mungkin saja lama tidak jumpa. "Setahun sekali, kalau tidak lebaran mana sempat", ungkapan yang sering kutangkap.


Beberapa waktu lalu, sejak awal Ramadhan sudah santer kabar larangan mudik. Kabar ini, menurutku cukup membuat patah harapan para perantau yang rutinitas pulang setiap lebaran. Namun, ini bukan kali pertama. Tahun ini sudah tahun kedua larangan mudik, semenjak kedatangan Corona. Iya, Corona sudah dua tahun menetap di negeri subur ini.


Harap cemas, sedih, menanti menjadi ekspresi keluarga yang di rumah dengan tetap berdoa bisa berkumpul ketika lebaran kelak. Aku tidak cukup merasakan dampak kebijakan larangan mudik itu. Tapi dengan nyawang saja sudah nyesek. "Pusat perbelanjaan mendekati lebaran dibuka. Namun perbatasan jalan mudik ditutup". Ungkapan yang kurang lebih demikian. 


Sejak 6 Mei mulai diberlakukan larangan mudik. Jalan yang menjadi akses mudik sudah mulai diperketat. Setiap pengendara harus menyertakan diri dengan surat keterangan sehat, atau hasil dari tes pendeteksi covid. Tidak jarang, yang tercekal oleh aparat dan harus putar balik. Sudah nekat tapi ujungnya apes. Ikhtiar ini disuarakan untuk menekan penyebaran virus covid. Wallahu A'lam


"Sekarang nduk, sudah bias antara benar dan salah. Berita banyak beredar. Malah terkadang membuat bingung. Covid seperti sudah reda, tapi nyatanya belum. Larangan mudik tapi tradisi belanja persiapan lebaran yang tumpah ruah di pasar tidak bisa dibendung", simbok turut urun perasaan.


Kabar larangan mudik teralihkan dengan hilir mudik sanak saudara yang berdatangan di rumah Bapak-Simbok merayakan hari raya ini. Secara urutan silsilah, Bapak anak sulung. Tidak heran mulai pagi sudah mulai datang adik-adik, atau kupanggil "Pak Lik/Bu Lik". Panggilan yang disingkat dari Bapak Cilik atau Ibu Cilik (adik dari orang tua kita). 


Ramai suasana rumah, Pak Lik datang bersama anak cucu cicit. Diumurku yang masih terhitung muda, sudah dapat panggilan 'Mbah'. Kadang aku merajuk ketika dipanggil Mbah. Tapi itulah warisan. Silsilah keturunan menjadi harta karun yang berharga. Bisa jadi, ketahuan ketika lebaran dan kumpul dengan keluarga. "Jangan sampai putus ya, pengetahuan anak-turun itu. Susah nantinya". Hihi


"Pulang sejak kapan?", tanya Bapak ke  ponakan

Pertanyaan yang Bapak ajukan tidak sekali itu saja. Aku sering dengar. Wajar, karena banyak dari sanak famili yang merantau. Sudah menjadi ciri khas, anggapku. Ketika seorang Bapak kerja di luar kota, atau mungkin Kaka/Mas, sangat membuka peluang keturunannya melanjutkan jejak tersebut. 


Ponakan Bapak mengulas cerita saat hendak pulang kampung. Tentu pulangnya sudah diantisipasi, sebelum tanggal 6 Mei. Menjaga keselamatan dari pihak berwajib. Di samping itu, dia menggunakan mobil pribadi. Sehingga tidak merasakan dampak yang teramat. Tidak merasakan harga tiket yang melambung ke angkasa (canda ke angkasa). Bukan soal perijinan jalan (surat sehat). Sehingga di saat ini, perantau yang tergolong buruh akan merasakan 'keberatan ongkos' mudik. 


"Pulang tanggal berapa?", pertanyaan Bapak pada saudara jauh (masih ada keturunan dari Simbah)


Aku hanya bisa menyimak dan mengamati obrolan mereka. Sama seperti toples lebaran di depanku. Diam tak memberi tanggapan. Sempat muncul pikiran, 'Bapak kepo banget', 'Tanyanya itu lagi itu lagi'. Meskipun begitu, aku banyak tau bagaimana ungkapan mereka (perantau) hendak mudik yang harus banyak pertimbangan. 


Dokumen Pribadi at Sweet Home


Cerita di lapangan cukup miris dan cukup banyak pemakluman. Dampak dari larangan mudik, sangat dirasakan oleh 'wong cilik'. Sebut saja kuli yang memutuskan menerima proyek di kota. Gaji yang pas-pas.an. Sudah diperhitungkan untuk lebaran (sandang dan kue lebaran) cukup, dan sebagian lagi sudah harga tiket. Sudah habis!


Perhitungan tersebut tidak berlaku untuk lebaran 2021 ini. Akibat larangan mudik, sudah pasti tidak bisa mudik. Namun tidak lantas tidak ada arus mudik. Nyatanya tetap ada namun dipersulit, mulai dari surat hasil tes bebas covid, dan harus menghadapi aparat ketika apes di jalan. Satu hal penting, yaitu harga tiket. Harga tiket normal 200 k. Akan melonjak mulai dari 300k sampai 500k. Gilanya lagi, tahun ini bisa mudik jika penumpang membayar uang transportasi umum sebesar 800k. Wes angel, wes angel. Pilihan mutlak "Rak mulih lah". Keputusan yang memohon pemakluman dari keluarga yang di kampung.


Bersamaan dengan fenomena mudik lebaran. Media tidak datar-datar saja mengabarkan berita faktual. Seperti kelonjakan kasus covid dari klaster pemudik, media yang mengabarkan banyak kendaraan yang diminta putar balik (ternyata itu hanya beberapa; hanya sebagai data yang dilaporkan). Miris, Yo wes Ben.


"Intinya pemudik bisa pulang, kendaraan tetap ada, namun biayanya itu yang tidak manusiawi", tutur kaka sodara jauh.


Saudaraku ada yang berkesempatan pulang. Karena ada kenalan yang mengajak untuk travel bareng-bareng. Di samping itu juga dibilang Rejeki dari-Nya. Ada juga yang tidak pulang, alasan seperti tertulis di atas. Memilih tidak pulang dengan perhitungan yang tidak bisa dikurang-kurangi. 'Rela menawar sabar dalam diri untuk pertemuan yang lebih manusiawi dan berarti'. Bisa Yok.


Ingatku dengan ucapan Simbok. Benar dan salah sudah tidak ada bedanya. Diri kita yang benar-benar diuji. Untuk bisa bertahan dan memikirkan mana yang lebih mendatangkan kebaikan. 


Tidak lagi, rumus salah dan benar. Namun memantapkan hati untuk memilih dan tidak lepas dari penyerahan pada Allah. Bagi yang pulang, dengan usaha dan niat untuk bertemu keluarga, adalah tepat. Ataupun, memilih tetap tinggal di rantau untuk menjaga keluarga, juga tepat. 



Lebaran tahun ini merekam rangkaian sambatan para perantau sekaligus keluarga yang ditinggal. Ada yang bisa bersua, ada juga yang otewe bersua. Sama saja. Insyaallah:)


Semoga senantiasa dilindungi dan dirahmati Allah. Aamiin


Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim.

Selamat Lebaran 1442 H

Mohon maaf lahir dan batin


*Plot: Merantau Jakarta-Jepara 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton