Day Three

Saya berangkat menuju kantor pelatihan pukul 8.00. Saya tergesa-gesa. Seharusnya sebelum jam 08.00, saya sudah sampai lokasi bahkan sudah masuk di ruang pertemuan virtual (zoom). Tapi, apa daya. Seperti yang saya pikirkan dari kemarin, dan terjadilah.


Saat ini adalah masa yang masih bersambung dengan kabar diterimanya saya untuk lanjut studi magister. Dari LPDP (penyelenggara beasiswa) mengagendakan jadwal wajib, yaitu PK (Persiapan Keberangkatan). Agenda ini wajib diikuti oleh seluruh awardee. Jika tidak, maka konsekuensi mengulang di tahun depan. Atau, jika sudah lelah, akhirnya tidak usah dilanjutkan saja. Ahh..


Hari ini memasuki hari ketiga. Acara dimulai tanggal 24 (Senin). Sejak di hari pertama saya ada i'tikad untuk membuat konten, '10 hari bercerita'. Saya tentu semangat, karena di hari pertama saya sudah menemukan highlight, cocok untuk sebuah narasi yang ber-seri sampai hari terakhir, 10 hari kedepan. 


Keinginan itu, juga selaras dengan usaha mewujudkan. Iya bukan? Dan ada satu hal yang jangan sampai lepas. Yaitu, 'tantangan'. Di hari pertama, saya merasa senang dan beban tugas PK belum sampai merunyamkan pikiran. Setelah hari pertama PK selesai, saya langsung menulis. Mengutip dari social campaign PK-179 (Abhipraya Nagara), "Biasa Literasi, salah satunya dengan cara menulis. Menulis esensi sebuah tulisan". Lantas, analisis saya, sepertinya sama halnya menuliskan esensi kehidupan.  


Esensi kehidupan, terlalu luas menurut saya. Sehingga saya ambil alih istilah, "Menulis Esensi (kegiatan) Keseharian". Saya di hari pertama menulis, "Semua awardee duduk sama rata di ruang zoom. Sementara ini, menanggalkan semua profesi atau ego. Tidak peduli ASN kementerian, ASN daerah, dokter, peneliti, atau siapapun. Saat ini kita semua sama, sama sebagai awardee dan nanti akan mengharumkan Indonesia setelah menjalankan studi masing-masing", perkataan dari Mas Mukhlis Gumilar (tim LPDP yang mengawasi PK-179).


Saya di hari pertama itu, merasakan bahwa perjuangan itu berat, namun nikmat. Berat karena ada tanggung jawab, nikmat karena bertemu orang hebat. Semua itu termaktub dalam Rasa Syukur. Alhamdulillah...


Saya siap untuk mendapatkan hal baru di hari berikutnya. Kemarin, saya belum sempat menulis rapih seperti hari pertama. Saya menulis intinya saja. Untungnya saya bantu rekan Musa. Awalnya saya iya aja, membantu. Namun saya tidak ingat dengan i'tikad awal untuk '10 hari bercerita'. Saya sadar setelah seharian menghadap laptop, lalu bergegas kembali ke pesantren. Saya baru ingat!


Maa syaa Allah bukan? Apa yang kita perbuat tidak disadari, ternyata membawa manfaat setelahnya. Saya merasa aman, karena punya bahan. Cukup ditulis ringkas saja, nanti diperbaiki. 


Waktu begitu cepat, tibalah hari ini-hari PK #3. Saya sudah siap. Namun, perasaan tetaplah perasaan. Dua hari lalu, saya sedikit lega. Karena Ibu Nyai sedang tindak. Jadi waktu malam sebelum PK, saya begadang tidak masalah atau membereskan tugas. Alhamdulillah, tadi malam Ibu Nyai rawuh. "Wes, wayahe", waktu tidur saya jam 10. Jika lebih, maka ada rasa tidak enak, sungkan masih main laptop. 


Hal yang sudah biasa saya alami, yang sifatnya mengecewakan tepatnya. Saya lupa akan pesan Ibu Nyai menyambut pengajian rutin. Ibu Nyai berpesan pada saya, untuk menyediakan air minum di hari Selasa untuk pengajian. Aihhh! Saya tidak ingat sama sekali. Hari itu, hari yang sangat bermanfaat, great, semangat. Sampai saya lupa pesan itu. 


Ketika Ibu Nyai datang, yang ditanyakan adalah hal (pesan) tersebut. Saya mlongo, "Duh kejadian lagi", batin saya auto merespon. Sudahla, akhirnya terjadi 'diam' diantara kita. Tidur malam sekedar tidur, bangun, lalu jamaah. 


Saya menuju kamar Ibu Nyai, pamit mau ke tempat PK. Ibu Nyai diam, sekali menjawab 'ronoo' (pergilah). Saya iya saja. Saya menuju tempat PK dengan cepat, rasa tidak nyaman ikut-ikutan. Oke! Terjadi pas berat masanya. 


Alhasil saya telat. Alhamdulillah sudah masuk, dan mengikuti sampai sore ini. 


"Betul kan, apa yang saya khawatirkan terjadi." Dimana saya mengambil keputusan, masih ada tanggung jawab, sudah dialihkan, namun masih ada jasad saya disini. Saya harus bisa menunaikan semua itu. Berat. Bukankah seharusnya saya sudah di rumah? Saya sudah mencoba matur, tapi belum waktu yang tepat. Ibu Nyai meminta saya menunggu setelah beliau datang.


Semakin banyak kesalahan (semoga semakin banyak pelajaran). Kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton