Kitab al-Sullam: Mengupas Kaidah Ushul Fiqh 'al-Mubayyan

Saya di pagi itu hanya sekilas membuka chat di WA. Saya juga tergolong iseng membuka grup WA pondok pesantren yang saya tinggali saat masih di Bandung. Sebelum pada inti perbincangan, saya masih ingin mengulas sebentar tempat istimewa itu. 

Pondok pesantren Al-Wafa Cibiru Kota Bandung adalah pondok pesantren mahasiswa. Seperti pada umumnya, kajian di dalam pondok pesantren tersebut berbasis kitab kuning. Namun, hal yang baru menurut saya adalah kitab yang dikaji, pertama kali saya membahas tentang kaidah fiqih. Pada waktu itu, saya mengkaji kitab yang berjudul qowaidul fiqhiyah. Dari situ, saya sedikit tahu dan mulai tidak asing dengan kata yang kiranya pernah saya temui sebelumnya. “Jika sudah yakin, yasudah hindari keraguan”. Di dalam kitab tersebut juga mengkajinya, kaidahnya yaitu al yaqiinu laa yuzalu bisyak. 

Grup WA pesantren yang sudah ada di android saya adalah grup para anggota aktif. Namun saya sebagai alumni masih bisa masuk di grup tersebut. Saya dapati link pengajian yang live YouTube dari grup tersebut. Sebelum kesadaran yang kali pertama itu, saya juga sering melihat pesan broadcast yang di-share rutin. Oh hanyyy, “Saya belum ngenah dengan siaran yang istiqomah di-publish itu. 

Suatu pagi, pertama kali, saya mencoba menenangkan diri untuk mengisi hal yang bermanfaat (di sela-sela kebimbangan, saat hendak tes kampus daring). Idep-idep saya ngalap barokah agar sedikit lebih tenang. Alhamdulillah, saya merasa mendapatkan hal baru dan saya suka itu.


Kaidah Al-Mubayyan dalam kitab al-Sullam oleh Ustadz Fahmi Hasan Nugroho di Pesantren Al Wafa
 
Al-Mubayyan adalah kaidah tentang penjelasan. Disuratkan dalam kitab al-sullam suatu kaidah yaitu ta’khirul bayan la yajuz. Kaidah tersebut memiliki arti ‘Mengakhirkan penjelasan itu tidak apa-apa atau boleh’. Disini dicontohkan dengan perilaku atau kejadian saat umat Nabi Muhammad bersama beliau sedang perjalanan menuju Bani Quraidhah setelah menghadapi Perang Khandaq.

“Salat asarlah di Bani Quraidhah”, ucap Nabi Muhammad pada pengikutnya. Pengikut Nabi Muhammad pada saat itu sudah memiliki pandangan atau tafsiran yang berbeda dari ucapan Nabi Muhammad. Ada umat yang berpikir bahwa, ucapan tersebut memiliki arti kita harus salat asar di Bani Quraidhah. Namun adapula yang berpikir, utusan tersebut dipertanyakan (umat merasa ragu); nanti salat asar kita lewat dari waktunya.

Fenomena atau kejadian tersebut membuat para pengikut Nabi berbeda-beda dalam memutuskan atau bersikap. Terdapat kaum/pengikut yang salat di perjalanan (sebelum sampai di bani Quraidhah) dengan alasan masih masuk dalam waktu salat. Pengikut yang lain salat di Bani Quraidhah, mereka yakin meskipun sudah lewat waktu asar, tetap boleh karena sudah menjadi utusan Nabi Muhammad.
  
Sesampainya di lokasi Bani Quraidhah, Nabi Muhammad tidak mempertanyakan salat para pengikutnya. Nabi Muhammad tidak menanyakan siapa yang salat di jalan atau di Bani Quraidhah, beliau tidak mempermasalahkan itu.

Penjelasan di atas adalah contoh dari al-Mubayyan. Nabi Muhammad memberi penjelasan dengan diam, artinya boleh. Penjelasan tersebut letaknya di akhir dari suatu kejadian atau hal yang terjadi. Ustadz Fahmi di pengajian pagi itu memberi penguat, jika suatu yang terjadi dilarang atau salah maka Nabi Muhammad akan memberi penjelasan lanjutan. Jika kebalikannya, “Tidak adanya penjelasan itulah penjelasan”.

Ustadz Fahmi mengaitkan tentang al-Mubayyan pada hubungan seorang laki laki dan perempuan. Tentunya hubungan tersebut belum sah. Jika sah, tidak perlu dipermasalahkan bukan? Eh, hehe. “Tidak adanya penjelasan adalah penjelasan”, jika laki laki hanya diam ketika ditanya kepastian maka jawabannya adalah belum. Jika suatu hubungan tidak ada kejelasan, maka itulah penjelasan. Oleh karena itu, jangan dulu mempunyai hubungan jika belum bisa memberi penjelasan. Jika mempunyai hubungan, maka sahkan. Jika tidak berani mengesahkan, sekalian saja tidak memiliki hubungan. Mumett! Kerjakan skripsi saja!-Ust. Fahmi

(Sebuah Pesan: ketika sedang masa pacaran, baik laki-laki atau perempuan saling memuji, menunjukkan sifat baik; secara luarnya saja. Pacaran tidak seperti hubungan rumah tangga. Dimana seluruh dari diri kedua belah pihak baru terlihat. Bagaimana sifat atau kebiasaan kurang baik, tidak mandi, suka membentak, atau apapun. Hal tersebut baru terlihat ketika sudah menikah. Sehingga saling mengerti dan menerima adalah kunci utama. ‘Hal yang tidak terlihat saat pacaran, maka akan terkuak saat sudah menikah’).

Al-Mubayyan bisa juga dilihat dari kejadian lain, masih dalam masa Nabi Muhammad. Umat Nabi Muhammad sedang menjalankan puasa, sedangkan Nabi sendiri pada saat itu minum. Lantas umat Nabi Muhammad lainnya melihat hal tersebut dengan tafsiran berbeda, adanya pendapat atau pilihan yang harus dilakukan. Maka, adapun yang puasa atau tidak, tidak masalah, keduanya sah-sah saja. Beberapa contoh yang sudah diungkapkan, adalah bentuk dari ijtihad para ahli fiqih atau dalam hukum fiqih memunculkan sebuah ikhtilaf adalah suatu kewajaran. Tentu ini fakta jika dalam ulama madzhab banyak perbedaan pandangan, karena berkaca dari sahabat pada zaman itu di depan Nabi juga berbeda dalam menafsiri sikap atau ucapan Nabi. 

Ustadz Fahmi dalam menjelaskan sepertinya singkat, namun ketika dituliskan memiliki penjelasan yang panjang. Satu topik ini hanya yang saya tangkap. Selain al-Mubayyan, ada juga al-Mujmal. Namun pembahasan ini terlewatkan karena saya telat masuk link YouTube. 

Masih dengan al-Mubayyan, di dalam kitab al-Sullam menerangkan pembagian al-Mubayyan menurut jenisnya. Jenis penjelasan (bayan) itu ada 6, 

  1. Bil Qoul, penjelasan dengan ucapan
  2. Bil Kitab, penjelasan lewat tulisan
  3. Bil Sukut, penjelasan dengan diam
  4. Bil Fi’il, penjelasan dengan kelakuan atau tindakan
  5. Bil Isyaroh, penjelasan dengan isyarat
  6. Bil Tarki, penjelasan dengan cara ditinggalkan
Pengajian oleh Ustadz Fahmi di tanggal 27 Desember 2021 ditutup pukul 5.30 pagi. Saya bisa turut doa kafaratul majlis, alhamdulillah mendapat ilmu baru dengan rasa seperti dulu. 

Hal yang tidak dijelaskan adalah kejelasan itu sendiri-Al-Mubayyan dalam Kitab Al Sullam karya Syekh Abdul Hamid Hakim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton