Mindfulness for Everything and Everyone

Belakangan ini, kata atau term mindfulness sering saya jumpai. Awalnya, saya tau dari tulisan Mba April yang intinya adalah pembaca diiming-imingi untuk mindfulness eating.


Mindfulness eating adalah bagaimana sikap kita saat makan yang sebisa mungkin sadar dengan apa yang di depan kita. Ada sendok, garpu, piring, se-centong nasi, sayur urab sedikit pedas dan banyak parutan kelapanya, tahu goreng, dan sambal. Sadarkah kita dengan rupa-rupa itu?


Seringkali kan? Saat makan, alih-alih sayang dengan waktu hanya untuk makan, atau sayang kalau tertinggal episode serial drakor kesukaan kita, atau ga mau terlewat gosip terkini. Sehingga kita tidak sadar, sendok demi sendok nasi kita masukkan ke mulut seraya mata melolot di depan layar ponsel. Mungkin juga, kalau ada lauk yang masih di bawah tudung saji, nasi di megicom dan sambel, diambillah part ke-dua secara ga sadar. Bukankah berpotensi untuk overweight?  Yap, bisa jadi lebih lahap dan porsinya lebih banyak.


Belum lagi, makan bersama anggota keluarga, suami-isteri, teman, kesayangan, apa ga bikin cemburu? Eh ada orang hidup, tapi yang dilihat layar datar dengan lakon-lakon di dalamnya. Padahal kalau kita diam, atau saling berpandangan, tanpa berucap bisa tersenyum atau tertawa. Asyik kali lah itu. Kenapa disia-siakan lo?


Saya mencoba mencari arti mindfulness dari world wide web. Dilansir dari laman Halodoc, mindfulness adalah (sikap) fokus pada situasi yang dihadapi saat ini disertai rasa menerima dan tidak menghakimi. Mindfulness sering digunakan dalam terapi psikologi. Karena dengan fokus sekaligus meditasi dapat menjadikan diri tenang, mengurangi strees dan mengendalikan kecemasan.


Ada juga penuturan Dr. Fahruddin Faiz, ahli bidang filsafat. Bapak Fahrudin mengungkap alasan seseorang memilih membiasakan mindfulness dalam setiap aktivitasnya. Alasannya tentu berkaitan dengan banyak beneficial effects yang di dapat. Diantaranya berkurangnya anxiety (kecemasan), addiction (ketergantungan/kecanduan), aggression (perasaan marah), suicidality (merasa putus asa), depression, chronie  pain (disakiti teman), insomnia, hypertention. Maka akan reducing stress and improve attention (mengurangi stress dan mengubah perhatian--lebih fokus).


Dr. Fahruddin Faiz juga membagikan, apa saja yang bisa dilakukan untuk mencapai mindfulness. Bisa kita mulai dari sadar makna dan tujuan, menikmati proses, olah fisik selain olah fikir, beri keseimbangan pada otak, mengembangkan sikap tenang, dan mengendalikan diri seutuhnya.


Saya mencoba merefleksikan, apa yang saya baca dan apa yang saya alami. Saya sudah sekitar 10 bulan hidup di metropolitan. Salah satu ciri yang melakat adalah kemacetan. Apa nih hubungan mindfulness dan kemacetan ibu kota?


Macet sudah menjadi rutinitas. Manusia-manusia yang memilih hidup di Jekarda--mereka harus hitung-hitungan, seperti waktu kerja, atau tekanan dari orang lain (bos, dosen, teman kerja, teman kelompok dibersamai rasa jengan dan gerutu). Semua itu harus dibagi dengan kemacetan. Bagaimana complicated-nya tu?


Mindfulness bisa jadi salah satu opsi solusi di tengah kemacetan. Seperti halnya ulasan Mba April dan Bapak Fahruddin Faiz.


Kita awali untuk fokus dan sadar apa yang ada di depan kita dengan menerima keadaan itu. Saat kita menghadapi macet, kita sadar bahwa motor, mobil, dan kendaraan lainnya juga nasibnya sama. Jadi rasa jengah itu ringan (tak terasa) karena dihadapin bersama, berat kalau sendiri kan? Hehe. Munculkan satu per satu our mind. "Eh, saat macet bisa baca wirid syifa, eh pas berhenti ada lewat asongan, eh pas macet banyak orang nyebrang lari-lari karena hujan ga bawa payung." [Cukup dulu].


Saatnya melihat dan merasakan kehadiran kita. Coba pegang baju kita, apakah basah? Kita masih di bawah atap bus, coba lihat lagi, kita pulang sekolah dapat ilmu, mereka yang bekerja tidak langsung mengantongi upah tapi tetap terjaga harapan baiknya untuk hari esok. Apakabar will-being pada diri kita?


Coba lagi, coba dulu, dan coba terus, maksimal 15 menit untuk merenungi itu. Apakah otak kita yang awalnya mengkerut dengan wajah cemberut berubah menjadi mengembang dengan senyum merekah? Do you feel release? Gimana detak jantung kita yang awalnya terpompa kencang seperti lari ngos-ngosan ingin mencapai finish (tujuan) tapi masih terhalang lawan (kemacetan). Sebetulnya bukan terhalang kemacetan. Tapi terhalang ego (kan)? Berat ga sih kondisi seperti itu? Totally berat mestinya.

***


Kita tidak akan merasakan ketika kita tidak mencobanya sendiri. Layaknya mindfulness ini. Tidak akan berpengaruh tulisan Mba April, ulasan Pak Fahruddin Faiz, ataupun afirmasi dalam tulisan ini, jika pembaca enggan mencoba jeda sejenak 15 menit dan do that surely.


😉😊

Finished at Cihampelas, 18 Oktober 2022



















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton