Gema Takbir, Tanda Kemenangan Tiba

‘Pesan malam 27 Ramadhan untuk 1 Syawal 1440 H’. Harapan yang diungkapkan oleh ustadz pada malam itu, “Semoga puasa kita sebulan diterima oleh Allah, mendapat ganjaran, dan bisa masuk ke dalam surga-Nya”. Pesan yang sungguh luar biasa untuk masyarakat desa, yang hadir di majlis peringatan maleman (begitulah istilah Jawa) memperingati malam Lailatul Qadr, malam ganjil di 10 hari terakhir Bulan Ramadhan. “Nggih namung rahman- lan rahim e Gusti Allah kang ngersaake umate manggen wonten pundi kemawon”, batin penulis dalam majlis.

“Kenapa ketika malam hari raya, seantero jagad mengumandangkan takbir?”, tanya Pak Ustadz kepada seluruh jama’ah. “Pada saat itu Kanjeng Nabi perang bersama umat Muslim melawan kaum musyrikin. Alhamdulillah, kemenangan diperoleh oleh Kaum Muslim. Pada saat itulah seluruh umat Muslim mengumandangkan takbir. Menyatakan kemenangan atas kekalahan musuh (orang kafir).” Seklumit cerita Pak Ustadz yang menambah khazanah jamaah majlis, terlebih penulis. Luar biasa makna takbir yang berkumandang pada malam hari raya umat muslim di alam raya. Mengumandangkan makna kemenangan setelah berperang di bulan sebelumnya, di bulan Ramdhan. Melawan musuh yang paling nyata bagi kaum muslim, (umumnya seluruh manusia), yaitu hawa nafsu diri sendiri. Nurani yang terus berjalan di keramaian dunia, namun harus membentengi nafsu agar selalu terjaga dan terkendali. Maa syaa Allah, Laa haula wala quwwata illa billah. Tanpa kuasa-Nya, kemenangan ini mustahil kita rasakan (dapatkan).

Pak Ustadz melanjutkan pesan atau hikmah yang lain dan tak kalah penting untuk kemenangan yang datang. “Ada tambahan dalam mengumandangkan takbir, semoga bermanfaat”, Ujar beliau. “Ketika setelah mengucap takbir, ada tambahan (ular-ular, bahasa Jawa, yang beliau ucapkan) dengan diakhiri kata ‘walau karihal kaafiruun’, atau ‘walau karihal musyrikuun’. Ini boleh. Akan tetapi jangan ditambah dengan ‘walau karihal munaafiquun’. Karena apa? kata munaafiquun, kurang tepat. Golongan orang munafik, bukan seperti halnya orang kafir atau musyrik, yang jauh dari surga Allah dan jauh dari kemenangan. Orang munafiq tidak selamanya memusuhi kaum muslim, mereka pernah membantu kaum muslim dalam perang. Mereka juga berhak mendapati kemenangan. Secara sederhana, kaum munafiqun bukan golongan keduanya, dan jika urusan surga-neraka tidak tergambarkan oleh kita. Tapi,  bagaimana (keputusan) Allah di akhir saja”, papar Pak Ustadz.

“Yang terakhir”, pesan beliau kepada kita. “Untuk pelafalan kalimat takbir, yang bagian ba’-nya ب)) jangan dipanjangkan. Nanti akan berbeda arti. Jika suara samar akan terdengar akmaar bukan akbaar (ini kurang tepat). Jika akmaar tersebut memiliki arti hewan yang kemaluannya besar, dan sangat bodoh. Tapi yang sesungguhnya adalah akbar (ba’-nya di baca pendek), berarti Agung, kuasa (Allah)”, jelas Pak Ustadz. Sungguh sangat jauh makna kata yang beti (beda tipis), jika kita kurang memperhatikan hal kecil tersebut. Pesan ini disampaikan karena kasus (melafalkan dengan ba’-nya panjang) pernah didapati oleh Pak Ustadz. Tidak lain tujuan disampaikan hal ini bukan menyalahkan, tapi mencoba menyampaikan hal yang sepatutnya disampaikan, dan ketahui bersama, dan diamalkan. Wallahu a’lam..

[Musholla Mamba’ul Huda, Bangsri-Jepara, Mauidhoh Hasanah dari Ustadz/Bp. Miftahul Ulum. Maleman, 27 Ramadhan 1440 H]

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Taqabbal Yaa Kariim, “Ngaturaken Sedoyo Lepat Kulo, Mugi Panjenengan lan Allah Nampi Ugi Maringi Samudra Pangaksami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton