Ramadhan (Saya) Hendak Berakhir, 1440 H
Tepat, hari ke 28 Ramadhan, pagi ini saya masih bisa menghirup
udara segar, melihat, dan jari-jari saya ini bergerilya demi menganyam tiap
kata. Sungguh luar biasa Ramadhan saya kali ini. Jauh dari target yang ingin
dicapai orang pada umumnya. Dengan niat menghatamkan Alquran, i’tikaf atau
hal-hal yang disukai Allah yang lain. insyaAllah Aamin.
Tapi setelah saya berpikir, dan mencoba meratapi nasib, ternyata
ini ‘Rasa’ Ramadhan yang sesungguhnya. Deloki awak dewe, muhasabah diri. Ya,
makna dan rasa ini yang saya dapat. Semakin kecil dan tidak berdaya diri ini
dihadapan Tuhan, Penguasa Seluruh Alam. Jika intropeksi diri, dulu pernah bisa
menghatamkan tiga kali membaca Alquran dalam sebulan, sekarang belum bisa
demikian. Karena jika menanyakan “mengapa?”, pasti ada alasan lain, kesibukan
duniawi pastinya. Tapi diri yang dzolim atau banyak dosa ini, masih membela
diri, dan mengharapkan rahman dan rohim Tuhan. “Gusti, dengan bobrok diri
ini, atiku kulo mantepaken madep lewat nopo mawon seng nembe kulo hadepi.
Sekolah, dolan, ghibah, mugio direkso kaliyan jenengan Gusti. Mboten saged ugi
mboten gadhah daya nopo-nopo awak dewe iki.”
Hal-hal wajib dalam Ramadhan saya kali ini, memang tidak
ditinggalkan. Tapi kembali lagi pada rasa, rasa dalam menjalani yang ‘wajib itu’
bagaimana? Apakah bisa didapat? Itu menjadi pertanyaan yang harus dijawab
masing-masing pribadi. Menjalani yang sunnah apalagi, tertatih-tatih, ziyadah,
murojaah. Masih dengan pertanyaan yang sama. Bagaimana rasa yang didapat?
Dapatkah madep marang Gusti? Namun, saya berasumsi tertatih-tatih inilah
sebuah ‘Rasa’. Usaha dan rekoso ing njerone ini (menjalani Bulan
Ramadhan) yang mengasah qalb untuk bersih, dan terhindar dari hal yang
mengeruhkan hati nurani. Bukankah kurang tepat, jika kita sempurna ibadah
(menurut kita), tapi hablum minannas (orang yang membutuhkan kita),
misalkan menyelesaikan tugas (individu) agar kebaikan bersama tercapai, namun
malah diabaikan. Ya, kembali lagi, jawabannya di masing-masing pribadi. “bisa
dikatakan inti dari hidup ini, adalah Memaknai (meniati) hidup, dalam kebaikan
dan perbaikan diri.”
Alhamdulillah, dua hari lagi, akan mengakhiri perang. Perang yang
sesungguhnya, dengan musuh kita, hawa nafsu kita sendiri. “Datanglah di tempat
keramaian, dengan pernak pernik dunia, disitulah hati (iman) kita diuji yang
sesunggguhnya”, Buya Kamba. Bukan menjaga, tepatnya berperang dengan diam, dan
tanpa lawan. Tapi perang yang sesungguhnya adalah ketika kita adanya perlawanan
dengan musuh/lawan.
Terima kasih Yaa Rabb, atas nikmat dan tiada lain adalah rahman
dan rahim-Mu. Menganugerahkan rasa, dan menyelubungi kesemuanya dengan
kekuatan-Mu. Sehingga saya, tidak pantas berbuat apapaun, kecuali hanya
mengabdi kepada-Mu. Berusaha inilah yang menjadi jalan mengabdi diri ini. Tidak
pantas diri ini mendapat karomahmu, karena itu urusan-Mu. Yang pantas dan utama
adalah istiqamah, yang patut di-belajari hamba. Puasa hamba-Mu
ini tidak lain, adalah bukti lemah hamba-Mu ini, dan Agung serta Luhurnya
Kuasa-Mu.
(Ahad, 2 Juni 2019 M/28 Ramadhan 1440 H)
Komentar
Posting Komentar