‘Filsafat’ Wajib Bagi Setiap Manusia
Dalam salah satu jurnal filsafat (UGM ’94) disebutkan, permasalahan
manusia saat ini adalah berawal dari kekacauan intelektualnya sendiri. Contoh di
Barat, yaitu faham materialisme melampaui alam kodratnya sendiri. Atau bisa
dibilang ambisi yang terlalu tinggi, dan lupa bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki batasan (batas makhluk atau hamba, masih ada yang menciptakan manusia,
yaitu Allah yang Maha Agung). Seyyed Hossein Nasr, mengungkapkan, bahwa manusia
di zaman modern akan lupa bahwa dirinya adalah manusia. Ternyata benar adanya. Ada
beberapa poin, yang mencerminkan kekacauan intelektual adalah menuhankan sains
modern, menolak sains islam (tradisi), dan menjadikan Al-Quran tidak ada
apa-apanya, padahal Al-Quran adalah panduan mutlak di dunia untuk seluruh alam.
Perlu kita ketahui sekilas. Sains Islam. Mungkin bisa dianalogikan
tradisi keilahian, orang katolik pada saat itu. Manusia mengenal planet, dan
salah satunya bumi. Di sini dijelaskan oleh Paul yang mengatakan bahwa bumi
diberi anugrah Tuhan. Sehingga frame ini yang menjadikan makhluk itu memiliki
sandaran, mengakui Maha Agung, sebagai pencipta, yang lebih kuasa dari ‘manusia’.
sehingga Paul, biarawati adalah cahaya terang dari Tuhan yang diutus untuk
mengajari orang biasa.
Nilai bertuhan yang berawal dari menganal planet-planet yang
tercipta, lantas ada bumi, di dalamnya ada kumpulan manusia. Dari situ tau
kalau kita ada karena diciptakan. Apapun yang diperbuat manusia adalah sebatas
ciptaan makhluk, yang sebanarnya masih ada sang Maha Pencipta. Pengetahuan ini
yang harus dilestarikan, agar sadar sebagai manusia dan bisa memanusiakan manusia lain.
Memanusiakan manusia erat kaitannya dengan Sains modern. Sains
modern itu apa sih? Sains modern adalah perkembangan teknologi yang pesat, yang
bisa kita nikmati saat ini, gedget dan sejenisnya beserta aplikasi di dalamnya.
Gedget dengan segala variasinya yang dapat membuat penggunanya lupa waktu,
terbius dengan konten-konten di dalamnya. Dapat kita rasakan sendiri, karena di
sini kita sebagai user, kita tumbuh di zaman now. Bisakah kita hindari?
Tentu saja tidak. Akan tetapi kita bisa mengendalikan, dengan perasaan dan
fikiran (hati) luar biasa yang ada pada manusia, sebaliknya jika tidak mampu
mengendalikan, maka diri kita sudah tidak lagi manusia. Lantas, bagaimana untuk
memanusiakan manusia lain?
Kita menengok ke sejarah menyebut zaman sains modern adalah setelah
abad ke-17. Yang disebutkan dalam sumber, perkembangan teknologi melaju pesat,
ibaratnya memiliki kecepatan 5000 kali dibanding perkembangan sebelumnya. Ternyata
ini yang menjadikan manusia kacau dalam alam intektualnya sendiri. Sesuatu/sosok
yang rusak adalah bukan orang lain, melainkan diri sendiri. Mulai saat ini,
saatnya kita menjadikan diri kita yang sewajarnya manusia. Manusia yang harus
tau teknologi, tapi kita tetap yang menjadi nahkoda atas diri kita dengan
panduan (selalu ingat) Allah berdasarkan panduan seluruh alam (Al-Quran).
Teknologi bukan segalanya. Walaupun akan terus maju selama dunia
masih dihamparkan Allah. Jika ikut (masuk) di zaman teknologi tidak dibarengi
dengan awarenes diri sebagai manusia, yang memiliki Tuhan, bukan budak
teknologi. Maka kita kalap, lupa kalau kita sebagai manusia. Jangan harap untuk
memanusiakan manusia yang lain. Karena diri ini bingung apa manusia itu
sendiri. Na’udzubillah, belum terlambat untuk kita melakukan perenungan diri.
Sudah saatnya kita kembali atau menengok tradisi. Apakah perlu
belajar filsafat orang zaman sekarang? Bukankah tambah bingung? Sebenarnya suatu
keharusan belajar filsafat, dan tidak membuat bingung. Karena filsafat
berisikan nilai-nilai kebaikan atau luhur. Manusia memiliki nurani, fitrah
bertuhan, dan memiliki insting kebaikan (Bertuhan). di Jawa ada kata sumeleh
(Menerima pemberian Allah). Jika tidak sumeleh, orang akan susah menjalani
hidup. Akan merasa tersiksa, tidak ada penerimaan, sadar diri. Manusia cukup memiliki
keyakinan kepada Allah (semua hal-hal baik), Al-Quran (tuntunan), dan akan
kembali kepada-Nya, di akhirat kelak.
Sadar menjadi manusia dan belajar memanusiakan manusia lain. Sadar
bahwa kita ada, sehingga sadar orang lain (manusia) di sisi kita.
[Tanjungmekar, Rumah Klasik, 26 Agustus 2019 (Senin)]
Komentar
Posting Komentar