Pertama, Baik (.)



Kepergianku ke kampung halaman (Nganjuk) terasa berbeda dari yang sudah-sudah. Yang biasanya bareng keluarga dari asal yang sama, tidak lain adalah dari Jepara. Namun, kali ini dari kota-kota yang berbeda. Tujuannya satu, ingin bertemu, berkumpul, dengan keluarga besar di rumah simbah (Mbah Tri), dan sekaligus dalam momen haul simbah kakung. Aku berangkat dari Bandung, Ibu-Bapak-Adek berangkat dari Jepara, dan Mbak berangkat dari Surabaya.

Cukup itu yang mejadi prolog. Mungkin aku akan menyampaikan beberapa rasa dalam kalimat. Barang dua sampai tiga paragraf ke bawah. Aku selalu mendapati kebaikan, entahlah. Itu menurutku. Setiap aku pergi dan bertemu orang baik dalam perjumpaan kali pertamaku dengannya (atau yang lain) di bus Pahala Kencana Bandung-Nganjuk Via Pantai Selatan Bukan Tol, 22 jam perjalanan.
“Di Bandung kuliah?”, tanya Bapak kepadaku
“Iya Bapak. Bapak mau pulang kampung? Alhamdulillah kita tujuannya sama”, aku menimpali
“Tidak, Saya dari Jakarta ada urusan. Ini, ke Bandung mampir, ke rumah anak”, terang Bapak
Walah, iya Bapak.”, jawabku


Perbincangan berlanjut, yang kurang lebih isinya adalah pengalaman beliau bujang sampai beliau sudah memasuki usia senja, seperti ketika aku berjumpa di bus waktu itu. Dulu, beliau kuliah di Jogja, dan setelah itu langsung bekerja di pemerintah daerah di Jakarta. Segala usaha dimulai dari bawah. Seperti perjuagan Bapak, yang awalnya bapak menjadi staf di dinas kependudukan dan sampai menjadi kepala pusat dinas kependudukan dan sipil pusat.

Beliau mengatakan bahwa orang yang diam akan menjadi orang stress. Itu yang aku tangkap dan membekas dalam ingatan. “Pejabat yang sekarang sudah pensiun, malah tidak karuan tidak jelas, atau bisa dibilang stress. Karena setelah pensiun hanya diam. Yang biasanya mendapat gaji dan banyak tunjangan dari banyak sumber. Barang sudah pensiun hanya mendapat jatah pensiun yang jauh berbeda dengan gaji normal”. Jelas Bapak. Bapak mengungkapkan sangat menikmati masa tuanya-masa dimana harus melepaskan semua yang berkenaan dengan pemerintahan yang tidak pernah menemui titik ujung, dan balik ke kampung halaman. Yang sekarang hidup berdua bersama isteri di rumah yang dulu, dan menggarap sawah, ladang,-jika diukur adalah dalam hektare. Maa syaa Allah. Dengan menggarap ladang itu, saya setidaknya masih berkeringat. Saya mengaku sehat, dan hati saya senang saking menikmatiya aktivitas baru itu.

Saya sudah pernah merasakan bagaimana fenomena, atau kebohongan yang ada di dunia pejabat. Uang yang dari pemerintah untuk desa, tidak akan murni sampai di desa dalam jumlah yang sama. Ada banyak jalan yang dilalaui dari pusat hingga sampai ke daerah, dan disitulah ladang uang bagi para oknum. Luar biasa pemerintah daerah usahanya dalam membangun daerah yang sangat mengharapkan bantuan dari peemrintah, yang barangkali disitu mereka anggap pemerintah pusat adalah induk biyung, layaknya ibu yang selalu menyayangi anaknya. Tapi, buktinya?
“Alhamdulillah saya menjabat selama dua periode. Terhitung yang paling lama. Entah apa alasan sebenarnya. Saya hanya kembali kepada nilai awal, kejujuran yang pasti itu berangkat dari diri saya sendiri. Dan jika pejabat jujur, tidak menutup kemungkinan bawahannya adalah jujur pula. Dan berlaku sebaliknya. Waallahu a’lam
“Alhamdulillah, anggapan saya untuk Indonesia hari ini sudah semakin baik. Dalam segi pemerintah dan pengaturan serta pembangunan. Jika dari kacamata saya, oknum-oknum yang saya ceritakan sebelumnya sudah diretas. Semakin membaik. Sehingga dari pemerintah semakin selektif dalam menurunkan dana ke daerah. Disitu, melalui seleksi. Dari anggaran awal sampai pertanggungjawaban dikemudian. Benar-benar laporan dan seleksi yang sesuai prosedur, yang dapat diakui semakin membaik atau ketat. Semoga menjadi usaha untuk mengendalikan korupsi.
Masih dengan bau politik. Tidak terpaut jauh antara demokrasi yang kemarin April 2019 dan Juli 2019, terpaut beberapa bulan, masih terdengar atau membicarakan isu politik yang telah menuai hasilnya. “Saya heran dengan masyarakat, sudah diberi pemimpin yang baik dalam kinerjanya . masih mengeluh dan banyak menuntut”, bapak memungkasi obrolannya. Dan aku hanya tersenyum sebgaai tanggapan dari obrolan bersama bapak.
Pukul 11.00, menjadi akhir dari pertemuan dengan bapak. Kurang lebih di bis 22 jam. Ngomong panjang lebar, tapi masih ada yag terlupakan. Tidak sempet kenalan, tidak tahu namanya. Hanya aku kirim al fatihah atas beliau, semoga Allah yang membalas kebaikannya kepadaku.
Yang aku gondeli, “Berusahalah, hindari diam. Jika usaha tidak membuahkan hasil mendapat skor 1, sebagai nilai usaha. Jika diam, mendapat skor 0. Usaha tidak, apalagi hasil, mustahil. Jika usaha dan berhasil atas izin Allah, nilainya 2. Tinggal pilih saja!
Rumah Mbah Tri di Nganjuk


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton