Arti Pertemuan

Bangun pagi, seperti hari biasa dalam fase ini. Berat, begitu dalam imajinasi saya. Tapi bagaimanapun saya harus tetap melek melihat langit, bukti kalau saya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri atau setidaknya bertahan mensyukuri setiap hela nafas yang cuma-cuma dari Tuhan.

Hari ini, hari yang kunanti. Hari dimana saya bisa keluar pesantren karena ada agenda bersama para alumni. Sayang seribu sayang, lagi dan lagi karena kecerobohan saya dalam membaca. Saya mendapatkan pesan WA yang saya buka seketika pesan masuk. Namun kebiasaan jelek saya, langsung klik scroll yang menuju pesan terakhir. "Ahad ini saya ada agenda", pesan dari ketua. Ternyata maksud dari pesan itu adalah "di Minggu ini saya ada agendanya", ditambah pesan berikutnya yang tidak terlihat oleh kedua mata saya, "Saya berangkat hari Sabtu". Cetho welo-welo, jelas sejelas-jelasnya.


Intinya, saya keciri (salah pemahaman). Saya sudah mandi pagi, siap, wangi, tinggal berangkat. Eh, BATAL. Oke, saya menertawakan diri sebentar sebelum saya menuju kamar Ning, bilang kalau saya tidak jadi berangkat. 


Tapi, di hari itu tidak kecewa banget. Karena saya sudah ada jadwal untuk mengikuti seminar Srikandi Lintas Iman (tentang media). "Oh iya, saya ada tanggung jawab dengan jadwal yang sudah saya gadang ini", hela nafas karena merasa tersadarkan oleh keadaan. 


Eh, Allah itu memang tidak bisa ditebak akan segala kuasa-Nya, skenarionya lebih mantap betul. Di hari itu saya berkesempatan untuk mewujudkan sebuah pertemuan. Teman sepondok saya dulu, sedang duduk di depan Ibu Nyai. Saya tidak tahu maksud kedatangannya.


Ibu Nyai memanggil saya untuk menemani teman saya itu. Mungkin teman saya sudah sedikit bercerita tentang saya (PD banget), kalau pernah berteman semasa Aliyah (mondok). Lantas saya membahas rindu dan hanyut dalam cerita, tanpa jeda. 


Saya ingat masih ada yang belum tuntas tertunaikan, seminar yang sudah saya ikuti ketika pembukaan. Tapi saya lebih memilih untuk ngobrol dengan teman seperjuangan. Tidak mengapa, demi sebuah perjumpaan.


Teringat dalam sebuah kisah. Lagi dan lagi, hanya buku yang saat ini menjadi pendamping, guru, (semoga nanti ada dosen atau pengalaman lain). Mengapa harus menyesal? Tidak jadi berangkat kuliah karena kesiangan, toh bisa merasakan kenikmatan kebersamaan teman lama yang datang tiba-tiba. Coba seduh air panas, buatlah secangkir kopi untuk dinikmati bersama dan bercerita kesana kemari, membicarakan yang lalu atau yang akan datang." 


Seputar di atas, pembicaraan dalam buku Mas Putut. Dilanjut, seputar diri. Mengapa harus menyesal? Tidak jadi kumpul, merutuki kesalahan diri karena tidak fokus baca. Kenapa menyesal sudah daftar seminar tapi tidak jadi mengikuti sampai selesai? Toh ada pelajaran yang berharga karena pembicaraan kita. Aku dan temanku yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Sungguh nikmat. Saya rela, lepas.


"Di umur 20-an memang saat dimana orang itu melakukan apapun, sibuk, juga produktif. Namun belum banyak mendatangkan cuan. Karena itu sebuah fase yang normal dilalui. Namun, di umur 30 ke atas, sudah mulai ringan (pekerjaan) tapi cuan yang akan menghampiri", pesan teman yang datang tiba-tiba itu:).


Sumber: sederet.com

 

-Temu Beberapa Minggu Lalu- 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton