Washilah Melalui Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi Serta Perantara Buya Kamba

Saya ingin menyapa. Menyapa teman sejawat yang pernah kuliah di jurusan Tasawuf dan Psikoterapi, atau teman sekelas saya (tidak lain jurusan yang sudah saya sebut, mereka adalah AMP2), atau yang pernah merasakan duduk di bangku kuliah dengan KRS jurusan tersebut. Oh iya, Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati khususnya. Tapi saya juga menyapa yang lain, yang lebih luas, siapapun yang pernah ngangsu kaweruh kepada Buya M.N Kamba. Siapapun, yang mengenal, pernah melihat, atau yang tidak kenal juga tidak masalah.

Kalian rindu Buya? Kalian ingin bertemu kembali dengan Buya? Kalian gagal bertemu Buya? Saya memukul rata jawaban yang akan saya dapat. IYA, jawaban yang tepat.

Seringkali, terlebih di saat kondisi saya saat ini, saya mengucap rindu, mengirim bacaan surat al-fatihah saya khususkan kepada beliau, Buya. Saya sedang dalam aktivitas pengabdian. Saya fokus dan telah memutuskan untuk mengabdi di pesantren asal. Pengabdian yang telah saya rencanakan, walau tidak mau lebih awal membayangkan. Tiba saatnya, saat ini.

Setiap hal memiliki dua sisi, dua rasa, dua fenomena, sudut pandang, nilai. Dimana mengandung kebalikan atau negasi. Baik:Buruk, Sedih:Senang, Berat:Ringan, beberapa sifat yang saya dapati ketika mengabdi.

Ketika saya mendapat teguran, saya rindu Buya: sosok yang tidak pernah marah, menurut saya. Ketika saya tenang, hati lapang, saya juga ingat Buya: (mencoba) merasakan dan belajar ikhlas. Saya telah melewati beberapa rasa, dan saya semakin nyaman, atau lebih tepat menerima dan menyadari atas pilihan mengabdi ini. 

Berulangkali, ada rasa yang saya juga tidak tahu persis. Jika diungkapkan dalam bentuk nilai, apakah ini baik atau buruk (?). Saya merasa di bela buku, Mencintai Allah Secara Merdeka. Tapi saya belum sependapat penuh dengan kata 'dibela'. Saya rubah saja ya, diksinya. Diarahkan dengan ada dan bersama buku itu. 

Dokumen Pribadi


Saya baru kali pertama di fase ini. Fase yang menempatkan saya untuk patuh, mengungkap kata khas 'pesantren' yaitu barokah, tidak sekedar ngaji tapi manut Ibu Nyai. Setiap ada celah untuk merutuki keadaan, selalu dibarengi kesadaran (penerimaan). Ketika saya merasakan ketidakistimewaan mengabdi, di satu waktu itu saya dipertemukan dengan sosok yang (bisa dibilang), "saya bisa hidup dan bangkit itu karena ikut Ibu Nyai", ungkapnya. Dia, dengan didukung jam terbang, dinominalkan adalah 17 tahun. Jika ditimbang dengan nominal saya adalah 4 bulan. Wuh, mau menyerah? Entah, saya merasa ingin dan tambah ingin menyelami.

Teringat dengan ungkapan yang saya pilih waktu itu, Pengabdian dan Ketulusan. Boleh sedikit mengungkap brand, CSSMoRA. Dari rumah itu, saya mendapati ungkapan di atas. Saya mendapti sambungan cerita saat ini. "Kenapa saya memutuskan dua kata itu bersamaan?" Juga karena tipe saya, percaya 'sebab juga akibat', dan dibalut kuasa Allah; biar saya tidak fanatik banget dengan aliran positivisme, sehingga saya ada rasa, 'Saya sudah berucap, berarti saya juga beraksi'. Saya mengucap pengabdian dan ketulusan (dulu di organisasi), ternyata sampai saat ini, ril. 

Buku Mencintai Allah Secara Merdeka, mengungkap dan terdapat kata yang diulang-ulang, yaitu 'ketulusan'. Ketulusan yang berisi murni, tanpa balasan. Saya menuliskan kata itu (seolah inti buku) di kertas terakhir, selain tertulis tanggal dimana saya tamat membaca (4 Desember 2020) dengan tanda (tulisan) khotam

Agama isinya ketulusan, ketulusan hadir dari dan lahir karena cinta. Cinta yang bermuara pada Tuhan. Refleksi Tuhan adalah (perbuatan) Kebaikan. 

Sempat ada ungkapan, jika kamu terus diperlakukan demikian (tidak dihargai), maka kamu yang akan rugi. Ungkap satu teman ke teman yang lain. Merasa direndahkan dan tidak dihargai atau tidak diperlakukan baik adalah ranah diri pribadi, tidak menyangkut orang lain. Dan lebih jauh dari itu, yang meliputi pribadi dan orang lain adalah berbuat atau membuat kebaikan. Semua orang punya batasan (terkait baik-buruk), pasti tidak sama. Ada ungkapan, seolah dibodohi, itulah cukup bagi orang yang merasa. Karena ada hal mutlak, ada Kecenderungan Baik (menurut Allah), bisa sebagai titik balik.

Tokoh kenamaan, R. Covey: Sebagaimanapun kamu, kamu harus jujur, meski berpotensi kamu dibohongi atau dikhianati, bagaimanapun kamu harus tetap berkata jujur. Kamu menolong, meskipun berpotensi dikelabuhi (dimanfaatkan), bagaimanapun kamu harus tetap menolong. Sekali lagi, ungkapan atau tulisan sering tidak sejalan dengan aksi, mungkin. Seperti ini (?), banyak bacot tanpa gerak.
 

Terimakasih atas pengalaman melalui Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi, juga kehadiran serta bertemunya saya dengan Buya. Saya rasa, sangat berpengaruh pada kehidupan keseharian. Kebermanfaatan yang dirasakan, dan yakin hal yang tidak berwujud itu 'ada'.

Bismillah... ngalap barokah ugi ta'allum 😇


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton