Kuncup Bunga (Sebuah Izin Ibu Nyai untuk Khodim yang Punya Mimpi Belajar S2)

Apa kabar saat ini? Tetap baik-baik saja bukan? Masih dalam perasaan yang sama? Ah...


Dalam diri saya saat ini, ada timbul semangat baru. Saya telah mendapat izin untuk mencoba mendaftar beasiswa untuk lanjut S2. Senang bukan kepayang tentunya.


Saya ingat, waktu awal bulan Januari 2021. Waktu itu sudah dibuka pendaftaran beasiswa santri untuk program magister maupun doktoral. Beasiswa yang sudah familiar di telinga saya juga kalangan awam. Yaitu, beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) di bawah Kementerian Keuangan RI. 


Waktu itu, beasiswa santri terhitung baru. Kali pertama diselenggarakan setelah ada launching peresmian dari Kementerian Agama. Benar saja, beasiswa santri adalah kerjasama dari Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan. Kenapa disebut beasiswa santri? Karena terobosan program beasiswa tersebut memudahkan para santri terutama lulusan mahasantri PBSB tingkat strata 1 menuju jenjang selanjutnya.


Dalam benak saya, ada harapan juga doa agar bisa mencoba kesempatan di awal tahun itu. Namun, kehendak tidaklah kenyataan. Sepertinya saya sudah pernah berkisah tentang kesedihan di waktu itu. Eh, bukan kesedihan ding. Tapi, bukan waktu yang tepat.


"Untuk apa kuliah S2 cepat-cepat, Mbak. Pikirannya pragmatis sekali; orang-orang yang terburu-buru mencari gelar. Tapi kita lihat pas di lapangan, dia tidak mampu survive. Misalkan dirimu apply beasiswa santri, masih ada pengabdian lagi. Apakah kamu sanggup kembali kesini? Tidak ada pikiran tentang waktu nanti kamu sudah saatnya untuk berpasangan, ada tantangan lain. Apakah mau untuk terjun ke bawah mengurus *seperti di pondok. S2 tidak seperti S1. Tentu tugas dan penelitiannya lebih berat dibandingkan jenjang sebelumnya", tutur Ibu Panutan, sementara saya hanya diam tidak berkata atau mencoba membela tekad dalam diri saya. 


Saya ingat betul. Saat itu, saya juga dilanda dilema. Kurang menyangka saat responnya demikian. Saya juga mengingat cerita lama, sebut saja luka lama yang dirasakan pihak pesantren. Saat ada mahasantri yang waktunya mengabdi namun tidak menjalankan dengan baik. Sehingga adanya kekecewaan pada pihak pesantren. Dari situ, beliau mewanti-wanti agar tidak terulang kejadian kurang apik itu. Saya juga setuju, saat mengaitkan diri saya yang bahasa sederhananya saya sudah neko-neko sebelum tugas atau tanggung jawab saya selesai atau belum ada masa untuk bertahan atau perubahan yang saya bawa.


...


"Sepertinya saya sudah ditempatkan Allah disini. Saya juga ga bisa melakukan pembelaan, saya tidak mau itu. Saya yakin ada jalan yang terbaik nanti, atau jalan lain yang juga lebih baik", satu kemantapan yang saya ungkapkan sendiri dalam hati.


Waktu terus bergulir dan saya tetap menjalani hari demi hari. Sampai pada suatu waktu, saya di pesantren mengalami perbedaan atau penyesuaian kultur yang baru. Saya dari awal sudah membersamai Umik. Saya bersama dengan sedikit santri, mereka adalah anak ndalem. Sampai pada satu waktu, sudah normal menurut orang kebanyakan, (terutama) orang-orang lama di pesantren sebelum adanya saya. Normal, seluruh santri masuk tepat di satu tahun saya pengabdian. 


"Ini adalah kenyataan. Ternyata kemarin itu mimpi. Betul, kalau ini yang harus saya hadapi, dan saya temui setiap hari."


Sejak Agustus 2021, saya sudah mulai bersama dengan 200 sekian santri. Suasana baru, ilmu baru, pengalaman baru. Saya sudah merasakan kalau ini adalah kehidupan saya. 


Saat sore di pertengahan Oktober 2021, saya disadarkan oleh hingar bingar dunia luar. Ada kabar beasiswa LPDP dibuka kembali. Berita itu membuat saya mengais ingatan yang telah lalu. Bisa langsung menyeruak. Pun, tidak bisa langsung untuk memutuskan, bahwa saya harus mengambil kesempatan ini. Lagi -lagi pada kebingungan, diri saya masih bimbang.


...


Di suatu pagi menjelang siang, diri saya diperjalankan-Nya menuju rumah. "Saya mampir rumah dari bank, saya mau ambil sertifikat skor toefle", ucap pada diri sendiri.


Setengah sadar mengendarai motor. Pikiran saya berkecamuk, teringat kata Ibu Panutan yang mencoba mengajarkan nafsu studi saya untuk tidak terburu-buru. Di sisi lain, kecamuk karena kesempatan beasiswa kedua ini adalah kesempatan terakhir saya. Skor toefle saya tidak bisa digunakan setelah bulan terakhir di tahun ini. Saya takut, tapi saya juga tekad. 


Sesampainya kembali di pesantren, saya merasa biasa saja. Saya sudah dijemput dengan rutinitas. Lupa dengan kabar hati sendu saya. 


"Gapapa, asalkan berkas sudah di pondok. Jadi atau tidak untuk mendaftar S2, itu dipikir lagi nanti." Tersadar kembali dengan ingatan kalut saya. 


...


"Umik, kulo bade matur. Upami kulo daftar beasiswa S2 nopo diparengaken?", ucap saya terbata-bata dengan hati bergetar. Apakah pertanda ketidakbaikan, ataupun sebaliknya.


Sore, ufuk sudah petang. Saya diberanikan-Nya menghadap Umik. Setelah pulang dari rumah di waktu siang, adanya niat S2 saya utarakan tapi juga keraguan karena ijin yang pernah saya temui adalah nihil. "Saya harus coba", ucap saya sembari mengingat kata teman pengabdian, jika matur pasti diijinkan apalagi kuliah, menuntut ilmu.


Perihal ijin, memang tepat kalau langsung kepada Umik. Saya tidak ijin ke Baba dulu, karena Baba pernah mengatakan, "Saya selalu boleh, tapi bagaimana Umik. Saya manut keputusan Umik", dari situ saya tidak banyak pertimbangan. Saya menuju inti dari diri saya saat di pesantren kali ini. Tidak lain adalah 'Umik'.


"Umik mendukung 200%. Kenapa tidak boleh. Umik sangat mendukung. Matur Baba, jangan lupa. Menurut Umik semua mendukung. Tidak ada yang terkecuali. Termasuk Baba, insyaallah mendukung", tegas Umik merespon perkataan kelu dari bibir saya.


Sumpyuh, saya nangis alon-alon selepas mendengar dawuh Umik. "Ya Allah, kasih sayang Umik. ...", terdiam, masih tidak menyangka. Laa haula wa laa quwwata illa billah. 


Selesai matur Umik, saya menyusul Mba Baiti di kamar. Rasa dalam diri campur aduk. Syukur, seneng, terharu. Layaknya mendapat jawaban. Saya ingat bacaan yang baru saya lihat di tanggal 30 November pagi tadi. "Sejatinya manusia adalah menunggu Jawaban Tuhan". Demikian gambaran rasa terdalam saya pada hari itu. 


Satu per satu, 'izin' saya lalui. Saya temui ataupun saya hubungi orang terdekat, orang tersayang, Ibu, Mama, Bunda. Ketika ijin Bapak, orang pertama dari yang pertama, saya aturi. Yaitu sebelum Umik. Sosok layaknya Bapak, adalah Baba. Waktu saya hendak izin, selepas dari izinnya Umik, Baba tidak ada di ndalem. Jadi, izin dari saya, saya titipkan pada Mama.


Jadwal, langkah, dan aturan saya coba lengkapi. Waktu yang sudah menjadi timeline saya ikuti. Berlalu, walau sesekali teringat. Saya belum secara langsung matur pada Baba. Seperti masih ada hal yang kurang. Tapi saya masih yakin, nanti ada waktu yang tepat.


...


Seleksi administrasi, sudah lewat. Meskipun eror juga terjadi saat hendak submit. Human error tepatnya. Sehingga 7 menit menuju jam 12 malam, hari terakhir di tanggal 22 Oktober, saya baru berhasil submit. Antara, "Ya sudah jika telat, berarti belum rejeki", pekik saya sebagai tanda pasrah setelah ikhtiar menyusun komitmen dan personal statement.


Seleksi substansi akademik, sudah berlalu, Alhamdulillah. Saya tes pada tanggal 12 November. Perlu saya sebut, siapa yang termasuk luas hatinya. Dia, Ka Haydar. Saya tes menggunakan laptop pribadinya, dan dibantu. Intinya, saya tidak bisa membalas kebaikannya. Pada tanggal 16 November, telah keluar hasil tes. Syukur wal hamdulillah. Kalimat yang pantas, dan harus abadi untuk selalu terucap.


Besuk,

1 Desember menjadi sesi tes terakhir beasiswa LPDP BPKUP-MI (Beasiswa Pendidikan Kader Ulama Perempuan-Masjid Istiqlal). Saya mendapat jadwal jam 14.00 WIB. dengan persiapan laptop kepunyaan Ibu, mengantongi izin Bapak, Ibu, Mbak, Adik juga Baba. Sekaligus, izin meminta tolong kepada Abe, teman Aliyah. Si baik hati dan luas hati masalah tolong menolong. 


"Saya setuju, Sa. Mudah-mudah hashil-maqsud. Tidak apa-apa melanjutkan S2. S2 sudah tidak lagi teori. Tapi di lapangan. Kamu harus menerapkan apa itu lisanul haal. Ingin S2, bukan pendak gludug, dan ikut-ikutan, atau sekedar gelar. Tak jaluk, tidak usah neko-neko. Nanti akan jadi apa. Tidak perlu. Niat belajar, fokus. Satu hal lagi, ojok sampe ninggalno Qur'an mu. Tetap dilanjutkan, tetap nderes. Di Jakarta, itu bagus untuk karirmu. Banyak orang sukses di Jakarta. Tapi bukan mendedikasikan untuk pendidikan. Saya harap, kamu setelah lulus S2 tetap berjuang untuk pendidikan, kembali kesini. Pesan terakhir, di manapun kamu, misalkan di Jakarta nanti. Kamu akan ketemu banyak orang, tentu macem-macem. Berbeda watak dan kebiasaan. Ojok sampe awakmu ngarani wong kuwi. Ojok gampang justice seseorang. Meskipun kamu tau orang itu buruk (menurutmu). Karena orang baik atau buruk itu pada satu titik, yaitu nanti ketika mati. Dia khusnul khotimah atau su'ul khotimah", waktu yang telah ditentukan-Nya untuk beliau, Baba mengucapkan itu dengan pelan dan tulus.


Saya diam, saya kembali ke dalam hati. Tanya hati, yakinkan hati untuk tidak ada niat lain, selain belajar, kebermanfaatan ilmu dan di lingkungan sekitar.



[Tulisan yang ditulis secara berkala, saat tenang, yakin, dan penuh hati untuk merangkum semua anak tangga dari start sampai tangga tengah ini, jauh dari dasar dan belum sampai ujung. Tahapan tengah ini sudah tinggi, dan memaksa saya untuk bertahan lalu melanjutkan]


-30 November 2021, Selasa-


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton