Meluangkan & Meluaskan Hati

12 Rabiul Awal tahun 2021 menjadi tahun istimewa. Istimewanya adalah 'berbeda' dari sebelum-sebelumnya. Meskipun sudah jalan dua tahun pengabdian. Namun tahun 2021 ini berbeda. Berbeda karena santri sudah di pesantren. Sedangkan tahun lalu, saya fokus menjadi abdi ndalem saja. 


Sepotong kisah

Bertemu dan membersamai anak-anak bisa dibilang kesempatan yang luar biasa. Luar biasa dapat ilmu baru, cara mengenal mereka, cara bersikap kepada mereka, dan luar biasa ketika menguji hati lantaran ulah yang nyebelin.


Anak millenial, mereka yang banyak karya. Mereka sangat memanfaatkan teknologi, dan pandai membuat konten. Mereka juga bukan generasi pendendam. Mereka tidak melakukan atau merasakan apa yang generasi sebelumnya rasakan. "Orang dulu" sangat lekat dengan sejarah. Ketika dulu ada reformasi, dan paceklik, maka orang tua yang dulu mudanya-merasakan itu, sekarang merasa sakit jika mengingat waktu itu kembali. Mereka berjanji untuk tidak mau diperlakukan seperti itu. Berbeda dengan anak millenial, mereka bukan tipe 'mengingat masa lalu'. Yang ada hanyalah masa sekarang dan masa depan. Mereka tidak merasakan luka lama. Tidak ada masa lalu, tidak menangi (mengalami) reformasi. Mereka sudah lahir dalam keadaan persaingan satu orang dengan yang lainnya. Tidak ada istilah balas dendam, atau rasa enggan akan masa lalu. Mereka fokus dengan pencapaian sekarang. Dan kesusksesan esok.

**

Sebelum saya mendampingi santri, saya lebih awal di ndalem

Saya sudah lebih mengenal suasana ndalem, artinya saya sudah tau bagaimana nyaman dan tidak nyamannya di posisi itu. Dan akhirnya saya merasakan syukur yang tidak terkira.


Satu tahun berlalu. Tepatnya dari Juli 2020-Agustus 2021, saya sudah melalui hari-hari serta proses adaptasi. Sampai tanggal 12 Agustus, santri satu rombongan datang, disusul satu rombongan berikutnya. Di suatu hari, hari terakhir kedatangan santri, saya sudah di kehidupan baru tentunya. Saya bersama 107 santri putri, dan ada 140 santri putra. Coba sejenak, mengulur waktu yang telah lalu. Awalnya sepi, hanya 15 orang. Mereka adalah santri putra dan putri. Sekarang! Maa syaa Allah, seramai ini. 


"Kamu bukan guru, kamu pembimbing. Anak zaman sekarang tidak akan ngajeni siapa-siapa, kecuali dia bertitel guru. Dan itu juga belum pasti. Apalagi kamu yang jelas bukan guru. Jadi, apa yang kamu punya, bagilah dengan mereka. Maka di dalamnya akan ada pelajaran, saling berbagi, saling memahami juga saling mengerti", pertama kali ucapan yang keluar dari lisan Umik saat saya sudah mantap menetap di pesantren. 


Dari Agustus 2021 sampai Sekarang (1 November), sudah berjalan 3 bulan, menurut hitungan santri setelah kembali ke pesantren pasca lebaran 2021. Berbeda jika santri assabiqunal awwalun, yang datang pertama kali, atau yang kebetulan mereka anggota ndalem. Sudah berjalan 2 tahun, sama halnya saya. Meskipun tidak stay terus di pondok, karena lebaran diberi kesempatan pulang (sekalinya ijin pulang, ya itu saja). 


Ya gimana ya? Senengnya ada, senepnya ada. Seneng tepatnya lega, saya bersyukur bisa di tahap ini. Saya bisa bertahan. Itu suatu yang patut saya syukuri. Disamping itu, saya banyak pengalaman baru. Saya tahu apa itu konsep mengabdi, saya juga melihat banyak contoh. Contoh yang membuat saya bangkit juga malu. Jika bicara materi, ini yang paling di luar nalar, tidak ada kebutuhan yang tidak tercukupi. Tidak kurang sama sekali ketika di pondok, kasih sayang, juga kasih barang. Astaghfirullah mulut ini. Senang (makna aslinya) adalah Syukur. 


Jika bicara senep. Saya tarik benang merah dari perkataan Umik. "Menghadapi Anak Millenial, disitu adanya acuh, empati juga kurang", pikiran spontan saya.


Berlalu, banyak trial error', banyak juga chances, banyak challange, dan akhirnya saya tiba pada waktu paripurna yaitu Memaklumi, Memahami, dan Mengerti. Saya diberi tanggung jawab memegang pelajaran beberapa kitab dasar, menyimak ngaji Qur'an, dan mendampingi pengurus ketika ada acara atau mengontrol keseharian di pondok.


Diantara itu, mempunyai kesulitan dan kesenangan masing-masing. "Sejujurnya tidak ada yang abadi, apalagi kesenangan. Namun yang abadi adalah syukur dan sadar. Ketika mengaji, saya menyimak adik-adik. Saya belajar melihat karakter mereka. Saya selalu ingat, ketika pelajaran di bangku kuliah. Ucapan Bu Yuli waktu itu, "Konseling adalah bagaimana melayani dan memberi dari hati". Ucapan itu ternyata bisa membuat saya berpijak, dan bisa menjadi akar ketika mulai goyah sampai akhirnya kokoh kembali. 


Setelah menyimak Qur'an, saya beralih pada mengajar kitab. Saya masih malu harus mengajar kitab di depan anak, adik-adik santri. Saya belum tamat jurumiyah, saya belum tamat safinatun najah, saya baru mendengar mabadiul fiqhiyah, saya juga masih awal belajar aqidatul awam. Dan sekarang ini, saya harus berbagi kesemua itu pada mereka. Walaupun benar sih, ada hikmahnya. Saya belajar lagi. "Bukankah itu yang menjadikan ilmu itu manfaat?", teringat orang bijak. Disitu pula, saya belajar mengenali karakternya. Hal yang paling saya merasa enggan, ketika mereka sudah lelah dan saya lelah, akhirnya tidak fokus, mereka juga enggan menulis. Waktu itulah, bagaimana saya mengais ingatan baik agar jam mengajar saya selesai sampai beres dan tidak membekas nilai buruk, yaitu marah (misal).


Saya juga diberi amanah untuk mendampingi dan membimbing santri. Ini tantangan yang terberat diantara chance yang lain. Karena apa? Santri, anggap saja dia sudah dewasa (menurut umurnya). Kata teori psikologi, remaja awal adalah masa dia ingin menunjukkan dirinya, dirinya sudah merasa bisa memutuskan, namun alih-alih kelabilan masih menguasai dirinya. 


Saya sebetulnya ingin mengingat teori ketika mereka sedang 'angel'. Sebisa mungkin menghindari emosi buruk. Namun kadang ekspresi saya tidak bisa ditutupi. Akhirnya saya menyerah dengan keadaan itu. Saya juga mengerahkan semua itu pada semesta. Tau lah ya! Apapun itu juga akan terlewati. Dan akhirnya Yasuda! Hihi 

**


Masa sulit, masa jenuh, masa capek, masa sedih memang butuh penawar. Tau kah kalian? Salah satu penawar saat di posisi di atas adalah Kamar Umik. Di kamar Umik, sudah didesain sedemikian rupa. Sepertinya sesuai keinginan Umik. Ada dua ruangan, yaitu ruangan utama (kasur Umik), ruangan dua (kasur tamu; biasanya ditempati putra-putri Umik yang pulang dari luar kota). 


Begitu banyak printilan di kamar Umik. Namun yang bisa meredakan pikiran mbutek adalah Kotak Ukuran 1/4 meter persegi, dengan tinggi setengah meter. Kotak itu adalah aquarium. Kotak yang kecil namun tinggi. Ikannya ada beberapa, diantaranya ikan emas, ikan batu (sapu-sapu), dan ikan hias kecil-kecil warna kuning. 


"Aku ingin jadi ikan sementara. Hidupnya adem, di dalam air. Hehe. Indah pula. Tidak riuh dengan urusan perduniawian. Tapi ikan ga capek melek terus", obrolan seperti itu yang saya sebut self talk ambyar saat Umik sudah berbalik badan di atas kasur.


Saya dulu juga merasa berat atau tertantang. Saya harus menjalani hari di pesantren, antara perkiraan saya dan kenyataan ternyata tidak sama. Tidak ada jadwal tetap, tapi tetap ada yang dilakukan kwkw. Namun, ketika beralih dengan fokus yang saya kerjakan. Sebut saja sekarang, mendampingi santri. Saya berandai-andai, ingin di ndalem saja. 


Pergulatan batin, demikian. Itu terjadi saat capek, saat tidak terkendalinya emosi saya, sedang dipenuhi nafsu. Namun, ketika dalam keadaan tenang tentu itu biasa saja. Saya sadar semua harus saya tunaikan, dengan batasan. Saya tau saat saya harus mengambil jeda. Diam dulu. Nanti lagi. Tidak juga memilih salah satu, karena itu adalah ilmu. Saya berdoa, ini adalah jalan untuk sebuah mimpi atau kado Allah untuk saya. 

**


Pada 12 Rabiul Awal, pukul 1.00 A.m. Santri sudah bangun dan bergegas ke masjid. Mereka berbondong-bondong berangkat untuk menghadiri puncak Maulid Nabi Muhammad Saw. Saya bangun terlambat 30 menit setelah mereka meninggalkan pondok. Sehingga saya di pondok menemani Umik.


Saya di kamar Umik, saya turut mendengarkan suara Hadroh dari pondok kami. Alhamdulillah mereka dipercaya untuk meramaikan dan menyambut hari yang luar biasa itu. Semua sayuk, bersama, gembira merayakan Maulid Nabi di Masjid Besar An-Nur. Saya salut dengan para santri, mereka baqoh, kuat. Dibangunkan jam berapapun, bangun. Saya yakin pada malam itu, dimanapun umat Nabi Muhammad menyambut Nabi Kita. 


Saya tersadar di malam hening nan syahdu. Saya hanya di teras Umik, melihat sesekali santri hilir mudik. Saya termenung, 'Saya bisa ya di kesempatan ini, saya bisa ada di waktu ini, saya bisa di tempat ini, saya bisa bersama mereka. Satu hal, saya bisa bersama Ibu Nyai. Beliau yang saya elukan, saya hormati, dan sangat berharap setiap barokah dan doanya'.


Setiap hari saya menyiapkan obat Umik. Namun tak dapat dipungkiri, human error masih sering terjadi. Lupa tidak menyiapkan, atau telat menyiapkan. Saya biasanya menyiapkan saat malam untuk obat satu hari besok. Terkadang di hari besoknya saya baru membawakan. Dari aktivitas rutin itu, saya mendapat ilmu, hafal obat; canderin, diamicron, dan banyak lagi.


Selain itu, saya juga pernah merasakan ketika beliau bangun di tengah malam (pasti saya bangun), hal-hal kecil dapat dilakukan di tengah malam itu. Mengupas buah, menanak makanan, menyiapkan minuman, membaca bersama, berdoa bersama. Rasa syukur dan ada rasa sadar yang datang. Ini apa sih, tapi itu mimpi yang terwujud. Ada hal lain yang meliputi. Saya bersama putri Umik, saya rasa pengabulan doa juga pemberian dari-Nya. 


'Ibu itu cantik. Sayang, tidak pernah di ajar beliau', ini ungkapan ketika di Aliyah. Saya sudah melihat putri Umik sudah lama. Tapi tidak pernah interaksi. Namun, saat ini saya setiap hari melihat. Bahkan tidak jarang saya, membersamai beliau. 


Ini semua praktik dari apa yang pernah di jelaskan pada teori. Teori yang saya pelajari saat kuliah. Seni melayani. Seni menahan nafsu. Juga ilmu kehidupan dari orang tua. Ibu-Bapak selalu mengingatkan juga menerapkan, "Semua itu karena Allah. Tidak bisa amal ini dibuat beli tiket surga Allah. Ya kita cuma mengharap Rahmah Allah". 


Bagian hidup ini tidak bisa untuk dilewatkan. "Memang hidup seperti itu. Bertemu orang, ya seperti itu". -Ibu-






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton