Real Talk and Dream

     

Dokumen PKU

    Banyak hal yang kita lalui selama kita masih diberi kesempatan menikmati alam raya. Jika melihat perjalanan guru, teman, orang tersayang, bahkan diri kita, tidak akan habis cerita yang terus diciptakan-Nya melalui setiap manusia. Per kejadian yang bisa dijadikan teladan, menambah rasa syukur, ataupun memaknai sebuah kehidupan.

    Saya bersyukur bisa menyimak kisah perjalanan guru saya. Salah satunya, Umik. Sosok guru sekaligus Ibu Nyai, seperti Ibu sendiri. Saya bertemu beliau sejak mesantren di Aliyah. Saya berkesempatan mengulang pertemuan yang sama, namun dengan cerita baru saat saya pengabdian kemarin. Kalimat yang selalu diutarakan oleh beliau semasa pengabdian dan sulit saya lupa, "Umik dulu sekolah sampai PGA dan sempat mesantren di Solo. Umik tidak sarjana, tapi Umik bisa jahit, Umik bisa nyulam, Umik bisa masak, Umik bisa mengajar, iso sembarang dengah", penuturan Umik yang tulus.

    Berulang-ulang Umik menegur, atau bermaksud bercanda. Betul, saya sudah sarjana, tapi untuk menanak nasi juga masih ha he ho. Saya memiliki pengalaman berharga di ndalem. Ilmu yang tidak digunakan dalam waktu itu saja, namun bejangka panjang ke depan. Yang pasti tidak saya temui di perkuliahan. Diantaranya,  'Memanfaatkan plastik yang masih bisa dipakai, melipat dengan rapi segitiga lalu disimpan, mengaduk kopi, menggoreng yang dipanaskan dulu panci/penggorengannya, menjahit baju sobek, dan membaca wirid rutin, serta satu hal baru yaitu salat tasbih yang bisa sebagai wasilah doa apapun yang kita panjatkan kepada Allah, Allah cuma-cuma mengabulkannya'. Aamiin...

    Siang tadi, saya berkesempatan ke Institut PTIQ. Tempat saya menempuh jenjang magister. Tempat baru untuk mendapat pengalaman berbeda dari jenjang sarjana atau waktu mengabdi. Tempat yang memiliki perpustakaan dengan koleksi kitab yang dominan. Tempat dimana para Da'i dan Da'iyah dilahirkan. Tempat suburnya Al-Qur'an sekaligus pengkajiannya secara mendalam. Maa syaa Allah, mabruk haadzal makan. 

    Saya sudah sepuluh hari di kota yang baru saya tempati. Saya sebut, Jakarta. Tapi tepatnya, saya di daerah Tangerang Selatan. Kota besar; iya, masih bersahabat ko'. Di tempat ini masih ada murottal Al-Qur'an yang lantang dan berulang. Pengajian ibu-ibu masih lestari, tidak jauh beda dari daerah Cibiru. Saya masih ada rasa seperti di Al-Ikhsan Cibiru atau di Hasyim Asy'ari Bangsri. Saya lekat dengan rasa nyaman ini.

    Meskipun asrama saya di Tangerang Selatan, kampus PTIQ (di atas) sudah berlokasi di daerah Jakarta Selatan (Lebak Bulus). Apalagi, kuliah saya double. Saya juga kuliah di pusat kota, di Masjid Istiqlal. Tentu ada bedanya, situasi Tangerang Selatan, Lebak Bulus, dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di sekitar Masjid Istiqlal, berdampingan dan bejajar gedung-gedung pencakar langit, gemerlap dengan sunyi penghuni, (saya melihatnya).

    Saya sudah berkesempatan di Istiqlal saat pertemuan pertama kali dengan Prof. Nasaruddin. Kegiatan perdana itu, bertemakan Penyambutan Mahasiswa Baru Pendidikan Kader Ulama-Masjid Istiqlal. Tema yang membutuhkan refleksi diri serta patut untuk disyukuri. "Saya dulu hanya lihat di TV, saat pelaksanaan tarawih, salat ied, atau kegiatan petinggi-petinggi RI. Namun, saya saat ini singgah, belajar, bahkan jamaah salat wajib di Masjid Istiqlal. Alhamdulillah, tsumma Alhamdulillah".

    Satu minggu lebih sedikit, cerita saya cukup berisi. Mulai dari pembukaan kuliah daring di Asrama, sempat ke Situ Gintung juga, rutin kuliah, dan pembukaan PKU di Istiqlal. Satu hal pokok yang baru telaksana di Senin tadi (21/2). Saya baru mendatangi kampus almamater saya. Saya tidak sengaja ke kampus PTIQ. Padahal wajar saja ya. Karena kampus sendiri. Namun, karena daring sehingga kuliah yang awalnya luring menjadi 'cukup di asrama saja'. Saya menerima saja. Kapanpun, lah. Nanti masih bisa berkunjung. "Tapi ingin, segera", batin saya di hari-hari. Qadarullah, teman sekelas (Mba Jannah, asal Depok) datang ke asrama dan membawa motor. Dia berencana ke perpus. "Ikut Mbak", saya semangat menyambut saat dia spill mau kesana.

    "Ini mimpi, dulu. Sekarang nyata, rezeki dari Allah. Doa para orang tersayang dan sosok luar biasa. Saya bersyukur, juga berterima kasih pada diri, masih semangat belajar", gumam di dalam langkah kaki menuju perpus 'Museum dan Perpustakaan Al-Qur'an Istitut PTIQ'. Rasa yang biasa khas pada diri saya; kagum, senang (ke perpus lagi), tidak direncana lagi. Unpredictable and satisfied.

    "Umik mendukung 200%", terus terngiang ucapan Umik saat saya ijin kuliah S2. "Saya hanya bisa kuliah, Mik. Saya berusaha memperbaiki diri. Terimakasih atas restu njenengan. Barakah dari pesantren yang tidak mampu didefinisikan. Manfaat atau rasa lahir dan batin bisa menjadi bekal saya di Jakarta, atau dimanapun tempat yang (mungkin) berbeda lagi, nanti."

   Di perpus, saya membaca buku Risalah Islamiyah. Di dalam buku itu bertuliskan, "Kenapa ada MTQ. Karena agungnya Al-Qur'an, hukum dan pesan, pegangan hidup seluruh umat yang terus dibumingkan. Walau (seperti) kuno, tapi tetap abadi sepanjang zaman untuk siapapun kelak." Saya belum tuntas membaca, sudah di tutup perpustakaan tersebut pukul 14.30 WIB. Saya bisa mengantongi dua buku, selain Risalah Islamiyah, saya meminjam Buku Metodologi Penelitian (Psikologi). Saya sudah sah menjadi mahasiswa PTIQ, terbukti dengan kartu perpustakaan PTIQ dengan nama pemilik 'ATSSANIA ZAHROH'.

Institut PTIQ Jakarta

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton