Antara Orang Tua dan Anak

 Keinginan orang tua memang tak selaras dengan keinginan anak. Kenapa seringkali seperti itu?

 

Sumber: Alodokter

Saya baru sadar hal ini karena bermula dari keluarga sendiri, juga melihat tetangga, atau mendengar cerita teman. Awal mula saya menganggap hal biasa, potret sederhana ketika orang tua kondangan dan membawa putranya. Di lokasi kondangan ada banyak penjual. Disitulah kasus antara orang tua dan anak muncul.

 

Anak ingin membeli mainan, tidak hanya satu. Dua sampai tiga penjual dijajaki semua. Apa yang diinginkan anak, harus dituruti menurut si anak. Jika tidak, merengek sampai nangis, tidak mau diajak pulang sampai mainan didapat. Sedangkan menurut orang tua, cukup jajan saja--cup susu blend dan satu tusuk sosis dumbo. Menurut orang tua itu lebih mengenyangkan.  Jika mainan yang dibeli, teringat mainan yang sudah menumpuk di rumah, tidak ada tempat lagi, dan mikir berulangkali ketika setelah main, si anak tidak mau membereskan.

 

Saya dalam beberapa kesempatan, mulai dari perkuliahan dikenalkan dengan pengasuhan kepada anak, lalu beralih membeli buku serial parenting, kebetulan tumbuh di lingkungan yang peduli dengan tumbuh kembang anak, sekaligus saya menjadi anggota keluarga saya sendiri. Rasa ingin tahu, atau penyadaran akan hubungan antara anak dan orang tua tidak pernah ada ujungnya. Baru tersadarkan kali ini.

 

Hubungan anak dan orang tua akan berbeda-beda, bisa dilihat dari umur sang anak juga orang tua. Ketika orang tua masih muda, dan ditemukan dengan masalah anak-anak. Seputar mainan, sekolah, makanan atau keseharian si anak. Namun akan berbeda tanggapan, saat orang tua mulai berusia lanjut, sedang anak makin dewasa.

 

Anak usia dewasa sudah menemukan kebebasan, masalah yang dihadapi mulai hal-hal prinsip. Anak mulai tidak sejalan dengan orang tua. Tidak lagi, anak dilarang untuk main pistol dengan peluru berbahan plastik. Tapi, anak dilarang untuk memasuki circle pertemanan yang kurang baik di kacamata sosial lingkungan sekitar. Untuk mengantisipasi tidak sekedar diambil mainannya ketika anak tidur atau sedang main bersama teman. Namun, anak dikasih penjelasan serta diajak diskusi, tidak bisa menuntut teman untuk menjauhi si anak.

 

Ulasan kali ini, membuktikan bahwa hubungan atau komunikasi antar anak dan orang tua itu terjalin sejak kecil, bahkan bayi. Akan tetapi ketika bayi, lebih kepada mencurahkan kepada satu pihak. Orang tua memberikan perhatian penuh kepada anak, tanpa ada perlawanan atau disitu belum ada keinginan anak (berupa keputusan) yang bertentangan dengan harapan orang tua.

 

Contoh kecil, yang sempat saya katakan di awal paragraf. Di saat anak yang merengek meminta mainan, dan orang tua tetap bersikukuh tidak mau menurutinya. Maka pilihannya, orang tua harus memaksa anak dengan tangis si anak yang menjadi-jadi.

 

Hal di atas bisa jadi tidak terjadi, atau ketika sudah terlanjur bisa disikapi. Anak dan orang tua, menjalin komunikasi setiap hari. Tidak hanya di luar rumah ketika ada acara. Sehingga, sebelum berangkat anak bisa diberi tahu, atau semacam membuat perjanjian. Anak diajak berbicara dan dimintai persetujuan.

 

Menurut Damar Aisyah, penulis buku Good Childhood Memories (terbitan EA Books), dalam bukunya "Meskipun anak kecil, mereka harus diperankan." Anak dalam keadaan apapun tidak bisa hanya dilarang tanpa ada alasan, tidak boleh memilih sesuatu jika tidak ada alternatif lain sebagai gantinya. Anak tidak sekedar menerima, mereka butuh dijelaskan juga diberi ruang.

 

Dalam memutuskan, jika sudah ada komunikasi, terbiasa dengan hal tersebut. Maka ketika keinginannya ditahan, maka bisa memilih pilihan lain. Jika tidak bisa membeli mainan, maka tetap bisa membeli jajan. Jika tidak bisa membeli mainan dengan harga mahal, maka bisa membeli mainan yang harganya di bawah standar awal. Pola pengasuhan itu bisa diterapkan, dan tentu butuh pembiasaan.

 

Selanjutnya, bagaimana membuat persetujuan antara orang tua dan anak yang sudah usia dewasa? Tantangan yang berbeda lagi. Tidak bisa dikatakan lebih berat, karena setiap fase ada titik terberatnya.

 

Mengulik akan kaitannya hubungan/cara komunikasi dalam penyelesaian antara orang tua dan anak usia dewasa, saya baru melihat bagaimana orang di sekeliling sebagai referensi. Dalam benak saya, ternyata tidak ada solusi/cara tunggal, one size for all. Tidak demikian. Tidak menemukan cara komunikasi yang tepat. Sehingga memungkinkan masalah masih menggantung, tidak selesai saat itu juga.

 

Ketika sudah beranjak dewasa, keputusan-keputusan yang saya katakan prinsipil. Ketika kuliah, dan mulai jauh dari orang tua. Disitulah kehidupan dalam diri seolah-olah ditemukan. Mulai merasakan pertemanan yang sama tujuan, dibarengi dengan rasa individu yang menguat karena menemukan jati diri, seolah lepas dari orang tua.

 

Namun, orang tua tetap menjadi role model. Menjadi pengingat, jangan sampai dispelekan. Ketika jauh dari orang tua, tidak terjalin komunikasi, dan sudah merasa cocok dengan pilihan sendiri. Ketahuilah, ada masa ketika anak kembali kepada orang tua.

 

Justeru, disini butuh waktu yang lebih lama dan pemahaman antara keinginan anak yang sudah pandai mengatur jalan hidup sendiri (dirasanya), dan orang tua yang memikirkan kehidupan anak yang layak, juga tidak bertentangan dengan keluarga.

 

Jika anak usia dewasa hendak melanjutkan S2. Diawali obrolan, anak meminta persetujuan orang tua, lalu membicarakan sumber dana yang nantinya mencukupi kebutuhan kuliah magister yang tentu lebih tinggi dari sarjana. Atau mengikuti beasiswa dengan beberapa rumitnya persyaratan. Jika orang tua tidak tau, dan tidak mau tau, apakah jalan menuju 'mimpi' itu mulus?

 

Belum lagi dihadapkan, dengan keinginan orang tua yang menilai anak sudah matang, cukup umur. Bagi perempuan sudah saatnya dipinang, dan untuk laki-laki sudah saatnya bergaji tetap. Ketika keduanya itu disetujui, untuk menikah atau bekerja. Selanjutnya, apakah ada kecocokan antara orang tua dan calon mantu? Adakah rasa cocok, si anak bekerja di perusahaan A?

 

Sorotan kelumrahan fase antara anak dan orang tua, selalu diperbincangkan. Juga ada waktu dimana kesadaran untuk menjalin komunikasi yang baik itu harus diutamakan. Bagaimanapun harus ada kata 'iya' atau sepakat 'tidak' antar anak dan orang tua. Semua itu, perlu waktu, pertimbangan, juga cara menyikapi, tidak jarang ada yang mengalah. Namun, sebisa mungkin mengalah bukan menjadikan salah satu anggota keluarga dirugikan.

 

Saat usia dewasa, ada hal yang cukup dijeda. Dipikirkan masing-masing. Orang tua menenangkan diri, anak merefleksikan diri. Selang beberapa waktu, baru bisa dioborolkan kembali.

 

"Menjadi orang tua, adalah tugas seumur hidup. Pengasuhan terhadap anak tidak ada sekolahnya, juga tidak ada ilmu pastinya." -Damar Aisyah-

 

Dari masa ke masa, anak tetaplah anak, pun orang tua tetap menjadi orang tua. Mereka dua individu berbeda. Namun, disitu ada tali temali yang tidak bisa putus. Hubungan erat, yang dalam suatu waktu, tidak selalu bisa diutarakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton