Kartini dan Pesan Kepemimpinan Perspektif Adil Gender

 Pesantren Ramadan Rahima

“Kartini dan Pesan Kepemimpinan Perempuan”

Narasumber: Nyai Nur Rofiah, Moderator: Andi Nur Faizah (Koord Program Rahima)

Live Ig Swara Rahima bareng Ngaji KGI, pada Jumat 22 April 2022

 

Tadi saya mendengarkan ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) bersama Pesantren Ramadan Rahima. Berikut ini poin yang tertangkap oleh indera saya:

  1. Kartini meninggal di usia muda, karena lemah sistem reproduksi saat beliau mengandung dan melahirkan. Mungkin saja saat itu, dia mendapat tekanan, menikah dan menjalani proses reproduksi di usia muda. Disisi lain, yang harus membuat kita bersyukur juga spirit untuk terus berjuang adalah perjuangan dan hasil (pada waktu itu) oleh RA. Kartini bersama taruhan jiwa raga beliau, tidak hanya pada saat itu akan tetapi dinikmati untuk terus direfleksi oleh generasi/umat selanjutnya sampai hari ini
  2. Kepemimpinan adalah jiwa yang ada pada diri setiap manusia, baik perempuan atau laki-laki. Jika ada stigma, bahwa perempuan memiliki kepemimpinan dengan kualitas satu tingkat lebih rendah dari laki-laki-- sangat perlu untuk dikritisi atau diimbangi dengan pengetahuan lagi. Bahwa tugas  khalifah fil ardh adalah untuk laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, di dalam semua bidang, ekonomi atau politik, perempuan juga bisa mengambil peran. Seperti kesempatan yang bisa diperoleh laki-laki. Sekalipun dalam rumah tangga, seorang perempuan harus memiliki jiwa kepemimpinan. Salah satunya ketika ditinggal suami dan menjadi orang tua tunggal, apakah itu tidak perlu keberanian untuk tetap survive dan mengambil beberapa keputusan? Tidak ada yang menjamin, bahwa laki-laki lebih panjang umur dibanding perempuan. Kapanpun harus siap saat perempuan (konteks tersebut), harus bertahan dengan kedua kakinya sendiri.
  3. Standar seorang perempuan adalah terletak pada masing-masing diri perempuan itu. Semua perempuan itu unik. Bukanlah menggunakan standar industri, yaitu perempuan yang cantik adalah yang berkulit putih, perempuan yang cantik dengan membeli produk ini. Mungkin ini yang menjadikan perempuan harus tau, bahwa dia dapat membangun citra diri atau karakternya. Standar tunggal itu tidak ada, terlebih datang dari orang lain atau sebuah produk. Kita punya pilihan, dengan kita memilih (ini), kita tahu resiko atau manfaat yang didapat. Sehingga, keunikan kita adalah kita yang memilih, kita sudah mengambil peran atau subjek. Sampai kapan mau jadi imbas dari produk? Dan bukankah diri kita sendiri yang menjadikan diri sebagai objek, jika menggunakan standar atau penilaian orang lain?                                                                
  4. Disini ada poin tambahan; “Dalam memilih versi terbaik itu bagaimana sih?” Versi terbaik bisa jadi antar pilihan buruk dengan yang lebih buruk. Maka kita pilih buruk. Biar apple to apple, bukan memilih antara pilihan baik dan buruk (saja). Karena pilihan, tidak selalu kategori baik-buruk (secara harfiah), dan pilihan yang dipilih adalah sesuai kapasitas dan potensi dalam diri. Percayalah. Contoh dalam berumah tangga, pilihan cerai dan tetap bertahan dalam pernikahan yang di dalamnya ada kekerasan. Keduanya memang sama-sama ‘buruk’ (secara dhohir), maka disini mana pilihan yang paling maslahah dan tidak ada mafsadat (lebih) yang ditimbulkan. Maka cerai adalah pilihan. Yuk diskusi…
  5. Pesan yang terakhir adalah, berlomba-lomba untuk menebar manfaat dan melakukan kebaikan. Karena di hari akhir nanti, kita hanya dimintai pertanggung jawaban atau kesaksian, atas amal baik atau ‘buruk’ yang kita lakukan. Bukan ditanya mana yang menikah atau tidak, mana yang memiliki putra atau tidak, mana yang lebih hebat atau yang lebih lemah.
  6. Waspada ya! Ada kalimat yang sering diucapkan “Perempuan hebat, mereka tidak bekerja, namun mereka sudah mengurus anak dan kegiatan/urusan rumah”, ini awalnya untuk menyanjung, tapi ada saja yang memandang dari pespektif patriarki. Sehingga, “Perempuan harus mengurus anak, satu-satunya yang menjadi madrasatul ula”. Padahal semua tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan adalah milik berdua. Adapun kalimat lain, seperti surga ditelapak kaki Ibu; suatu keistimewaan, namun ada stigmatisasi yang muncul. Berarti kriteria perempuan yang selayaknya sebagai surga adalah bla, bla bla. Ada lagi ketika menyebut, “Wanita sholehah”, lantas ada lagi stigmatisasi sholehah yang seperti ini…. Disitu adanya pembatasan atau pengekangan yang dilihat dari perspektif patriarki, lagi-lagi perempuan dengan mudahnya menjadi objek dalam banyak hal… Hati-hati ya!, dengan ungkapan glorifikasi (penyanjungan) di atas, eh tapi ujungnya perempuan kena juga!

 

Perempuan Tangguh-RA. Kartini (Sumber: https://bobo.grid.id/)

Menjadi perempuan yang utuh dan tangguh. Kita harus hati-hati dengan arus patriarki yang seringkali menjebak. Kita juga hati-hati dengan internal diri kita yang ternyata diam-diam berpaling pada orang lain. Hindari men-standari diri ya—standar yang dimaksud adalah ‘standar orang lain/perempuan lain’. I am special, you are only one, we are different and unity in diversity. (Indonesia banget ga tu) Harus dong!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton