Diskusi Akademisi: Gender dan Poligami

Saya memulai dari yang saya ingat saja, meskipun itu sedikit. Sepekan lalu, saya mendapat materi tentang Pendekatan Keadilan Gender dalam Kajian Islam (Poligami). Materi yang sangat menarik, terutama didiskusikan dalam dunia akademis (perkuliahan).


Tulisan ini akan menampilkan penjelasan dari dua term, yaitu gender dan poligami. Gender dan poligami menjadi suatu frasa yang sudah kerap didengar dan didiskusikan. Di tulisan ini, siafatnya  mengulangi saja, bisa jadi memperkuat argumen pembaca, atau suatu informasi baru bagi yang baru saja mengenalnya. 


Gender

Gender adalah konstruk sosial. Menurut Mansour Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Beliau mencontohkan, seorang perempuan lekat dengan sifat lemah lembut, emosional, cantik, keibuan. Sementara laki-laki adalah kuat, rasional, jantan dan perkasa. Hal ini perlu diingat, bahwasannya ciri atau sifat tersebut dapat dipertukarkan. Terdapat perempuan yang kuat dan rasional. Adapula laki-laki yang emosional dan memiliki sifat keibuan. 


Mansour Fakih menjelaskan lebih lanjut. Perubahan atau pertukaran ciri pada laki-laki atau perempuan karena berjalannya waktu atau perubahan pada dunia ini. Waktu dan tempat yang terus berubah menjadikan perubahan sifat atau karakter pada seseorang (laki-laki dan perempuan) berubah (saling bertukaran). Demikian merupakan Konsep Gender. Semakin banyak tuntutan pasar, terbukanya wawasan atau ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir. Sudah sepakat, jika tuntutan atau perubahan tersebut tidak ada batasan perihal laki-laki dan perempuan. Semua mendapatkan kesempatan yang sama, semua berperan dengan karakternya, dan bagaimana aktualisasi setiap pribadi terhadap konteks yang ada. 


Anggapan terhadap konsep dari gender itu sendiri sebetulnya mengalami perubahan. Bersumber dari sosialisasi, atau dikonstruksikan, bahkan ajaran agama dapat mendorong perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan gender. Kabar yang beredar di masyarakat atau pemahaman masyarakat sedikit bergeser dari makna aslinya. Laki-laki dan perempuan dengan identitas masing-masing, sifat yang melekat tersebut--berubah dari konstruk sosial menjadi kodrat Tuhan. Dari sinilah mulai muncul stereotype. Seperti adanya subordinasi, marginalisasi, kekerasan, atau beban ganda. Potret seperti ini akan tampak di dalam bingkai perkawinan atau rumah tangga. Adanya peran kepala keluarga, berpotensi lebih berkuasa. Adanya peran ibu, dilimpahkan kepadanya pekerjaan domestik dan mengurus anak. Di sini, mulai diketunjukkan bahwa perempuan yang menjadi korban. Lihat juga kasus pemerkosaan .


Konsep Gender yang bermula dari konstruk sosial menjadi takdir Tuhan, membawa pada bangunan sosial yang bias dengan bangunan biologi perempuan. Bias tersebut tentu menimbulkan dampak. Laki-laki seolah dianggap kuat dan rasional, begitu sebaliknya, perempuan dianggap lemah dan makhluk yang ke-dua setelah superioritas laki-laki. Anggapan inilah yang akan muncul ke permukaan sejalan dengan praktik kasus poligami.


Poligami

Poligami berasal dari kata poli yang berarti 'banyak', sedangkan gamein yang berarti 'kawin'. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwasannya poligami adalah perkawinan yang banyak. Poligami dalam pembagiannya terbagi menjadi dua, yaitu poligini dan poliandri. Poligini memiliki arti suami menikahi beberapa/banyak isteri. Poliandri memiliki arti isteri menikahi beberapa atau banyak laki-laki. Sehingga istilah poligami berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Jamak diketahui, jika poligami hanya dinisbatkan kepada laki-laki sebagai pelakunya. 


Jika menilik fenomena poligami, mereka  (praktik poligini) yang menyetujui tersebut memiliki landasan dalil Al-Qurán. Yaitu, Q.S An-Nisa':3 

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ ٣

Makna dari ayat di atas adalah pembolehan seorang laki-laki yang menikahi 2, 3, atau 4 isteri. Pengertian tekstual ini yang dijadikan kemantapan lelaki untuk menikahi banyak isteri. Mari coba menganalisisnya. Saya sebelumnya mendengar beberapa diskusi tentang poligami. Dari sisi negatif atau tidak setuju, mengatakan bahwa poligami tidak dianjurkan dengan alasan 'diperbolehkan oleh Al-Qurán saja'. Namun kembali kepada pelaku. Tanya kepada pribadinya, tujuannya berpoligami. Tidak hanya serta merta mengikuti Rasul dan mengikuti perintah agama--secara teks. Namun harus diketahui perbedaan konteks sekarang dan dahulu. Rasul menikahi beberapa perempuan untuk menyelamatkan mereka dari perbudakan. Namun, menilik kasus saat ini, poligami berdasarkan keinginan untuk menambah jumlah isteri. Belum tentu mampu untuk membiayai kesemua isteri dan yang paling terpenting adalah adil.


Pendapat lain, yang menyetujui poligami juga ada. Saya melihat sekilas liputan dari salah satu kanal YouTube yang menunjukkan poligami dilanggengkan bahkan diseminarkan. "Saya ingin belajar  berumahtangga", ungkap salah satu peserta seminar poligami. Seminar poligami ini dipelopori oleh Kiyai yang berasal dari daerah Jawa Barat. Beliau sendiri memiliki 4 isteri. Terbilang isteri yang paling muda berumur 16 tahun. Saya teringat hukum tentang usia perkawinan di Indonesia bahkan kesepakatan internasional. Jelas melanggar. Saya hanya merasa miris saja. Sang Kiyai tersebut, hanya beralasan bahwa melaksanakan apa yang diperbolehkan Rasul. "Seorang isteri juga harus ikut apa kata suami, melayani suami..", begitu orasinya di depan para peserta seminar poligami. Cukup geleng-geleng saja. 


Fakta antara setuju dan tidak setuju sama-sama terbuka di realita ataupun di dunia maya. Coba dikembalikan pada pribadi kita masing-masing. Manakah yang diperlukan, manakan yang sepatutnya dilakukan? Saya mengajak berpikir jernih. Para akademisi, ataupun pembaca budiman dapat melihat sudut pandang mana saja. Hal-hal yang perlu diperhatikan, meskipun Al-Qurán telah menyuratkan membolehkan menikahi maksimal 4 perempuan, kita perlu tahu konteks--apakah masih relevan atau tidak. Sekarang zaman sudah canggih, tantangan zaman semakin luar biasa. Mana yang lebih diunggulkan, kualitas atau kuantitas. Kualitas atau jumlah pertambahan penduduk yang tidak bisa terkendali. Dari pertimbangan tersebut, dapat kita ambil keputusan yang tepat. 

Kita juga dapat melihat salah satu ungkapan, 

الضرورة تبح المحضورة

Penggalan kaidah di atas menunjukkan, "Jika sesuatu yang dilarang, dibolehkan saat keadaan darurat saja". Begitupula poligami. Mengutip dari Prof. Quraish Shihab, bahwa poligami adalah pintu darurat. Jadi digunakan benar-benar dalam keadaan darurat. "Darurat adalah antara hidup dan mati", celetukan dari Prof. Darwis Hude. Disini bukan menjadi negasi atau melawan agama. Akan tetapi menjalankan peran agama  sebagai petunjuk, meluruskan yang kurang tepat dalam pemahaman. "Apabila ada kasus, seorang laki-laki yang meninggalkan rumah karena pekerjaan dalam waktu lama, meninggalkan isteri dan akhirnya memutuskan menikah lagi dengan alasan menjaga saat bekerja", sebuah pertanyan . "Ramashok'' kalau sebatas pindah kota saja. Demikian bukanlah antara hidup dan mati. Lagi-lagi, selalu berpikir dengan jernih ya, sebelum mengambil keputusan atau berargumen!


Ada hal yang saya kira perlu untuk disyukuri. Pernikahan di zaman dulu memiliki arti kepemilikan (at-tamlik). Namun sekarang sudah lebih egaliter. Jika dulu perempuan sebagai harta, seolah barang, tidak bisa beekspresi. Namun, sekarang sudah jauh berbeda. Laki-laki dan perempuan bisa sama-sama sekolah, duduk di bangku yang sama, bisa bertanya, bisa berkarya. Kita bisa mengupayakan kebaikan yang mulai lestari ini.


Selain mengajak berpikir jernih, bersyukur, kita juga perlu berdamai. Berdamai bukan berarti membiarkan praktik poligami yang hanya berdasarkan keinginan syahwat, apalagi memprovokasi di masyarakat. Akan tetapi, memilih mana yang tepat, menggunakan akal sehat, agar maslahah untuk umat.


Pesan saat kelas Pendekatan dalam Kajian Islam kemarin mengisyaratkan peran para akademisi untuk mengambil peran. Peran mereka dalam penelitian, kajian intelektual, ataupun keilmuan tersebut yang nantinya disebarkan saat pengabdian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton