17 Agustus 2022, Aku dan Hari Kemerdekaan

Malam 17 Agustus, aku memutuskan untuk melakukan perjalanan Jepara-Jakarta. Aku sudah merasa cukup libur semester dan harus segera kembali ke perantauan. Aku harus ingat pula tanggung jawab ngajiku.


Aku tetiba merasakan gelisah. Kenapa aku meninggalkan desaku yang sedang banyak-banyaknya kegiatan, sedang menyemarakkan kegiatan HUT Kemerdekaan? Ada rasa jika aku belum memiliki cukup peran dan tau setiap kegiatan, termasuk kegiatan desaku. Apakah aku tidak semangat untuk mengikuti kegiatan tersebut? Aku sudah 6 tahun merantau, aku 4 tahun di Bandung, 1,5 tahun aku pengabdian di pesantren (meskipun ini di Jepara, aku tidak di rumah), 6 bulan terakhir ini aku di Jakarta. Kebetulan malam 17 Agustus ini aku sengaja untuk kembali meninggalkan Jepara.


Cukup keresahan pribadi yang menjadi dialog dalam hati . Di lain sisi, aku bersyukur melihat persiapan sebelum 17 Agustus 2022, di daerahku atau di sekitar Jepara semua mempersiapkan kegiatan. Bendera merah putih, jalan yang dicat merah putih, ada bunga-bunga plastik yang diletakkan di depan setiap rumah, selain itu juga kegiatan atau perlombaan yang sifatnya ber-babak sudah dilakukan di awal Agustus. Meriah sekali tampaknya.


Aku pulang setelah libur semester sejak 1 Agustus 2022. Selama liburan aku bertemu beberapa teman. Aku melihat aktivitasnya yang bertanggung jawab di liga pertandingan sepak bola, ada juga yang memiliki peran di pemuda desa atau IPPNU, ada juga yang berniat untuk menjadi perangkat desa.


Aku bertanya pada diri sendiri. Kenapa aku masih suka merantau, mencari ilmu di kota orang, masih suka perjalanan, kadang pulang dan harus pergi lagi? 


Aku juga punya tekad atau niat baik, nantinya aku punya peran di desaku. Setelah aku sekolah magister, aku ingin pulang dan bisa mencari kerja atau menjalin relasi di daerah asalku. Namun, aku selalu sadar, kalau tidak ada yang tau bagaimana masa depan nanti. Meskipun ada cerita teman, secara dhohir, perjalanan karir (sebut saja begitu) mereka sesuai; linier  semasa lulus dari bangku SMA/Aliyah. Tapi ada juga jalan yang seolah lebih baik dari rencana yang kita buat secara lurus (linier). Jika aku menyimak ceritaku, aku sudah ditempatkan oleh Allah di jalan yang berbeda dari setiap tahap pendidikan yang aku tempuh. Aku setelah merasakan kuliah, aku semakin menemukan apa yang aku butuhkan. Meskipun aku tau itu berat, karena semua yang aku alami selalu baru. Inilah yang menjadikan aku tetap berjalan, yaitu aku menyukai setiap hal baru.


Aku sampai di asrama sekitar pukul 6 pagi tanggal 17 Agustus 2022. Jalanan yang aku lewati penuh dengan pernak-pernik kemerdekaan, serba merah putih, banyak yang berseliweran dengan seragam rapih di pagi hari, perkiraanku mereka akan upacara. Aku juga ingat, kalau salah satu temanku juga mengikuti upacara di istana kepresidenan. Mungkin saja ada beberapa orang yang terlintas di mataku juga menuju ke istana presiden hendak mengikuti upacara. 


Dialog di dalam diri sejak perjalanan semalam dilanjutkan sampai pagi hari. Aku berpikir, aku telah sampai di kota orang. Aku sengaja pergi, aku sadar pergi dengan meminta ijin orang tua, aku pergi dengan tujuan, aku pergi dengan kemantapan. Aku berpikir ini tidak ada yang salah atau keliru. Aku sedang memiliki tanggung jawab. Aku akan mengaji dan aku memiliki beberapa tulisan yang aku harus garap. Aku akan menyelesaikan yang ada pada diriku. Aku terbersit niat, bahwa yang aku lakukan adalah bekal yang harus aku persiapkan untuk nanti, saat aku harus bersama masyarakat atau aku harus siap dulu sebelum nanti aku berada di tengah orang banyak. 


Aku memperingati 17 Agustus dengan merefleksikan diri. Setiap tempat di tanah air disitulah aku memperjuangkan kemerdekaan, aku meneruskan perjuangan para pendahulu, aku berada dan berdiri dengan niat tulus dengan berharap kebermanfaatan diri lebih-lebih untuk orang lain. Baik ketika aku di Jepara atau di Nganjuk (tanah kelahiran), di Bandung, di Bangsri (pesantren), atau di Jakarta saat ini. Aku juga sempat men-cocokologi. Teman-teman di pesantren ketika 17 Agustus tidak pulang, tidak bisa mengikuti lomba. Tapi mereka mengadakan lomba di pesantren. Jika tidak lomba, mereka tetap mengaji. Bukankah semua itu juga intinya berjuang dimana mereka tinggal, wujud mensyukuri kemerdekaan. Jika tidak merdeka, mana bisa melakukan hal tersebut? 


Aku sempat melihat liputan perhelatan upacara kemerdekaan di istana presiden. Disitu ada Farel yang datang dari Banyuwangi. Anak yang memiliki suara lantang menyanyikan lagu "Ojo dibandingke". Aku menganggap ada pesan implisit. Setiap orang tidak bisa disamakan, mungkin salah satunya juga dalam memperingati hari kemerdekaan. Ada yang bisa berlenggang di istana presiden, ada pula yang tanggal merah masih memilih bekerja (pekerjaan non-instansi), ada yang sekolah, ada yang melakukan pekerjaan di dalam rumah, ada yang lomba balap karung, lomba kelereng, lomba bersih desa, dan masih banyak lagi. Aku pribadi, lomba di desa-desa itu memang harus lestari. Kira-kira kenapa alasannya? Karena lingkunganlah yang membentuk pribadi anak. Lomba atau peringatan-peringatan tersebut membuat diri mereka senang saat hari kemerdekaan. Semangat yang telah ada sejak kecil akan tetap bersemayam, meskipun nanti akan bertransformasi dalam kerja, sekolah, atau berperan di masyarakat. Semua bersyukur-mensyukuri kemerdekaan, dari anak-anak sampai dewasa. Mereka tersenyum bahagia, mereka berusaha dengan cara yang berbeda-beda.


Aku di asrama, aku sempat istirahat sebentar, aku menunaikan jam wajib nderes, lalu aku menulis blog. Semangat di hari kemerdekaan ini kusadari, kulakukan, dan kukuatkan (dalam hati). Aku memiliki bagian untuk melakukan ini. Aku akan selesai dalam setiap tanggungjawabku, aku menjadi putri bangsa, aku menulis dengan niat, aku akan berusaha, dan aku juga menyadari dengan penuh, bahwa kemerdekaan sekaligus usaha di dalamnya ini diijinkan oleh Allah. Aku melakukan hal apapun, mutlak berharap keridhoan-Mu.


Certainly, everyday is independent day 

Selamat hari lahir Indonesia yang ke-77


17 Agustus 2022, Ciputat (Pondok Najdah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton