Hil yang Mustahal: Sinopsis Film Srimulat

Film Komedi Srimulat yang saya tonton Juni lalu, baru ingin saya ulas. Kemarin, saya membaca blog Agus Magelangan, ada tiga judul yang muncul di halaman pertama. Teratas atau terbaru yaitu tentang ungkapan senengnya mengikuti konser Dewa 19 yang di momen itu ada Ari Lasso--pertama kali konser setelah jeda 9 bulan karena kanker. Judul tulisan yang kedua yaitu Pak Lartono, tentang kenangannya bersama Guru Biologi yang baru mampir ke tempat jualan es kelapa Bapaknya. Judul yang ketiga yaitu, Review Film Srimulat.


Rupanya Mas Agus juga menonton film komedi itu. Film yang diangkat kembali dengan peran aktor masa kini. Diantaranya Saipul Jamil yang di film tersebut berperan sebagai Tarzan, Elang el Gibran yang memerankan sosok Basuki, Bio One sebagai Gepeng, Erick Estrada yang berperan sebagai Tessy,  Zulfa Maharani sebagai Nunung, Dimas Anggara sebagai Timbul, Teuku Rifku Wikana sebagai Asmuni, Indah Permata Sari sebagai Royani, Naimma Aljufri sebagai Ana, Rano Karno sebagai Babeh Makmur, Morgan Oey sebagai Paul, dan Erica Carl sebagai Djujuk.


Mas Agus mengungkapkan rasa senangnya bisa menyaksikan komedi yang pernah kondang di zamannya. Film yang diangkat kembali di tengah edane zaman yang semua serba mesin. Film Srimulat dengan suasana klasik, lengkap dengan mobil komedi layaknya carry, dan juga gaya masyarakat zaman itu. Seolah memori penonton langsung dibawa ke belakang. Kesan warna retro atau vintage menyempurnakan pertunjukan tersebut.


Saya menyaksikan satu kekonyolan saat anggota Srimulat yang datang ke Jakarta. Mereka ke kota memenuhi panggilan media yang nantinya akan menyiarkan penampilan mereka di jagad hiburan. Sebelum mereka casting. Ada cerita saat makan bareng di Rumah Masakan Padang. Semua makan dengan lahap. Namun setelah selesai makan, anggota Srimulat pergi satu per satu. Orang terakhir di meja makan adalah Asmuni, ketua Srimulat. Dasar, anggota kurang ajar. Hahah, Asmuni hanya diam sambil mengunyah makan dan wajah geram. Akhir dari makan bersama itu, Asmuni mencuci piring semua anggota Srimulat lantaran tak bisa membayar bill makan siang itu. 


Gepeng, salah satu anggota Srimulat muda. Pada saat pementasan di desa, Gepeng masih menjadi pemain sampingan atau di balik layar. Namun, rejeki telah berpihak padanya. Dia terpilih untuk ikut pentas di kota metropolitan. Gayanya yang suka nyletuk, meskipun kasar atau kurang sopan, dia dinilai memiliki bakat dan bisa membawakan peran di Srimulat secara apik. Ada suatu kejadian saat sudah sampai di Jakarta. Dia hanya tidur dan tidak mencerminkan anggota Srimulat yang ndas-ndes-ndes (anggap saja cekatan). 


Suatu pagi, dipanggilah Gepeng dihadapan Asmuni dan anggota lainnya. Lebih mengagetkan lagi. Ternyata kesalahan Gepeng tidak hanya kebiasaannya bangun kesiangan. Tapi, dia diketahui dekat dengan putri Babeh Makmur (pemilik kontrakan yang ditempati Srimulat), yaitu Royani. Sehingga Gepeng tidak fokus dalam persiapan pementasan malam puncak pementasan yang akan datang.


Cerita belum usai. Royani mencegah para senior Srimulat untuk memulangkan Gepeng. Dia mengaku sebagai penyebab kenapa Gepeng tidak hadir saat latihan. Para senior Srimulat masih mentolerir, dan akhirnya Gepeng masih bertahan di dalam keanggotaan Srimulat. 


Puncak pementasan tiba. Semua anggota Srimulat sudah mempersiapkan dengan matang. Anggota Srimulat berdandan sesuai peran masing-masing dan siap tampil di hadapan RI I, Bapak Soeharto dan Bu Tin. Malang nasib Srimulat. Selama penampilan berlangsung, tidak ada senyum apalagi tawa yang keluar dari Bapak RI. Semaksimal mungkin anggota Srimulat tampil dengan karakter dan natural yang  memunculkan lelucon, humor, atau sindiran yang konyol. Masih saja tak ubah bentuk bibir Pak Soeharto.


Sebetulnya, ada hal lain yang harus diketahui. Penonton Srimulat tidak hanya Bapak RI I dan Ibu Negara. Namun ada ajudan (staff) di belakang beliau. Tau kan? Bagaimana air muka ngempet ngguyu. Itulah mereka para ajudan yang menyaksikan tingkah polah Srimulat. Hus! Jangan sampai berbeda dengan Bapak RI, meskipun itu hanya senyum. Matilah kau. Barangsiapa yang berani berbicara, hari itu biji timah akan melesat di kepala anda. Sungguh tragis Orde Baru. 


Hal itu tentu menjadi PR besar bagi Srimulat untuk menyajikan lelucon yang lebih berbobot untuk para petinggi negara. Sepertinya, masih ada hal berat yang dialami Srimulat. Tepatnya yang membuat kecewa di malam puncak itu selain datarnya ekspresi Pak Soeharto. Yaitu, Gepeng tidak hadir di pementasan malam itu. KACAU... AJUR GEPENG


Dari kejauhan, Gepeng lari tergopoh dan diikuti Royani di belakangnya. Tidak ada yang berkata, satu persatu meninggalkan panggung dan tak menyapa, menoleh ke arah Gepeng saja tidak. Hanya Basuki, yang berdiri terakhir dan menatap wajah Gepeng dengan tajam. "Semua kecewa." Gepeng telat datang, lebih dari telat, pementasan telah berakhir. Kekecewaan yang bertambah 2 kali lipat sangat dirasakan anggota Srimulat. 


Gepeng sebelumnya mengundang Royani untuk menyaksikan pementasan malam puncak. Bisa-bisanya dia menyempatkan main catur dengan Babeh Makmur saat menunggu Royani berdandan. Ternyata, Royani tidak keluar kamar sampai permainan  kelar satu sesi. Ehladalah. Gimana tidak remuk-remuk akhirnya? Karena menunggu yang terlalu lama itu, pementasan Srimulat tetap berjalan tanpa Gepeng sampai akhir pentas. 


Jika Mas Agus menggambarkan kekonyolan setiap plot twist yang disuguhkan, sekaligus pembawaan yang tetap dengan masa lampau bisa dihadirkan di hari ini. Maka saya sedikit berbeda. Saya menyoroti kisah Gepeng. Menurut saya, memang ketika sinyal suka atau cinta itu turut serta, yaweslah ada yang dikorbankan. Ini berdasar cerita film aja lo. Katanya, dunia nyata tidak seperti itu. Tapi bisa jadi lebih kejam. Hehe


Cerita komedi itu masih dengan alur cerita yang otentik. Sepertinya, asmara itu memang bumbu, bumbu penyedap tepatnya. Tapi, bukan inti cerita yang disampaikan. Srimulat diangkat kembali untuk hiburan, menghadirkan kembali untuk memuaskan penikmat film kolosal, dan sebuah citra panggung komedi kawakan yang legend namun tetap eksis dengan penggemar setia. 


Jika saya melihat lebih jauh lagi, tentang bagaimana penikmat film Srimulat, terdapat dua macam. Yaitu terbahak-bahak, biasanya ini kaum dewasa atau paruh baya. Sebagian yang lain, atau kalangan remaja menganggap tidak menarik dan memiliki alur yang datar; niatnya lawak tapi tidak tertangkap. Saya melihat contoh yang pertama dari ulasan Mas Agus. Seperti yang saya utarakan sebelumnya akan kegembiraan Mas Agus bisa menyaksikan film jadoel di waktu sekarang. Jadi, ingatan lelucon pada waktu lampau dapat dirasakan kembali. Sedangkan contoh yang kedua, saya temui di artikel kekinian. Saya baca sebelum saya membeli tiket CGV di Serpong. Penuturan sebagai salah satu nilai kekurangan dari film tersebut yaitu ceritanya minim klimaks. 


Saya setelah menyaksikan sendiri, saya menilai sebuah kelebihan dan juga kekurangan. Pendapat saya seolah menjadi sintesis dari versi Mas Agus dan artikel terkini. Saya melihat nuansa yang khas klasik zaman orde baru saat itu, lengkap dengan peranan Bapak Soeharto dengan wajah yang kaku, termasuk juga aturan/kebijakan yang tidak bisa membuat tertawa penonton Srimulat karena beliau tidak tertawa. Kekurangan yang saya temukan adalah materi lawaknya tidak bisa saya cerna dengan cepat, sehingga saya tertawa lambat, atau bahkan telat.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton