Pesan WA (WhatsApp) dari Baba
Aku mencoba menulis ulang apa yang disampaikan oleh Gus Umam (Baba,
begitu panggilan dari santri-santri beliau). Beliau menyampaikan suatu kisah
seorang Kiai dalam mendidik anaknya. Baba mengirim pesan (kisah) lewat WhatsApp
grup alumni, hanya saja dalam Bahasa Jawa. Aku paham apa isi dari teks
tersebut, karena aku Gadis Jawa, hehe. Mungkin ulasan berikut, bisa lebih
dipahami secara umum dengan Bahasa Indonesia.
Pesan yang tertulis adalah, kisah dari Kiai Haji Masduqi Mahfudz.
Beliau dianugerahi Allah putra putri soleh solehah. Salah satunya, seorang
putra yang bernama KH. A. Sampton Masduqi. Cerita Kiai Sampton dahulu, setelah
lulus SMP dan memutuskan mondok. Kisah yang luar biasa, yang bisa diteladani
Bapak-Ibu, atau calon Bapak-Ibu, anak yang masih nyantri, dan atau orang tua
terhadap anak pada umumya dalam mendidik atau menyampaikan suatu pelajaran
(nilai kehidupan).
Ada beberapa kejadian yang menjadikan Kiai Sampton selalu bertanya.
Kejadian seputar mondok, selama beliau menjadi santri, mencari keberkahan ilmu,
dengan harapan meraih sebuah kemuliaan ilmu.
Scene (kejadian) pertama, ketika berangkat ke pondok pertama kali. Sampton (paggilan dalam
cerita) diantar oleh Mas (kaka Sampton) Musoddaqul Umam Masduqi naik kereta. Kebetulan
kereta penuh. Dan mengharuskan mereka berdiri dari Malang sampai Kediri.
Ternyata, suatu waktu ada tetangga Pak Kiai Masduqi (Abah Sampton), yang
anaknya juga dipesantrenkan. Alangkah terkejut, Sampton sebagai anak sendiri
tidak diantar oleh orang tuanya. Namun anak tetangga di antar Abah langsung
dengan mobil. Lantas Sampton bertanya kepada Abah, “Kenapa Abah berlaku
demikian?”. Abah menjawab, “Ada tetangga yang mondok, Aku sangat bersyukur
sekali. Jadi, Aku antarkan. Lha kok anakku dewe (misalkan anakku
sendiri) yang tidak mondok, lebih baik minggat saja! Aku gawe anak maneh (Aku
akan membuat anak baru).
Scene (kejadian) kedua, ketika liburan bulan Maulud. Sampton sangat rindu keluarga
dan ingin pulang. Sampton saat itu dirayu oleh Mas Muhammad Isyroqun Najach (kang
yang dipondok) untuk tidak usah pulang. Akan tetapi bayangan Sampton, jika
pulang dan sampai rumah, akan mendapat pelukan, disambut hangat, kecupan dari
Abah-Umi. Akhirnya Sampton bisa pulang. Namun belum sempat masuk rumah, Abah
sudah duduk di ruang tamu. “Siapa itu? Sampton bukan? Baru berapa hari mondok, lha
kok wes muleh (Kok sudah pulang saja). Balik sana! (Sampton jalan lunglai
kembali lagi ke pondok.
Scene (kejadian) ketiga, ketika Simbah Mahfudz dan Simbah Putri Chafsoh sedo (meninggal
dunia), Sampton ditelpon. “Mbahmu kapundut (Mbah telah dipanggil Allah), tolong
kamu kirim (tahlil) dari pondok, tidak usah pulang”. Sampton menjawab, “Kenapa
tidak boleh pulang?”. Dari seberang telpon menjawab, “Karena kamu tidak bisa
menghidupkan Simbah kembali...” Sampton selalu mengiyakan.
Scene (kejadian) keempat, ketika Mas Muhammad S Niam menikah, Sampton pulang. Orang
di rumah berkomentar, “Acara begini aja pulang, balik sana!”. Sampton lantas
kembali ke pondok sebelum acara di rumah selesai.
Scene (kejadian) kelima, serupa kejadian keempat. Di lain waktu Kaka (Mas) Sampton menikah, Mas Muhammad Taqiyyuddin Alawiy.
Sampton ditelfon Mbak, “Besok Mas nikah, nda usah pulang ya”. Sampton balik
bertanya, “Kenapa tidak boleh pulang?” Mbak singkat menjawab, “Kamu tidak
menjadi syarat dan rukunnya nikah Masmu, jadi tidak usah pulang.”
Masih berlanjut kisah-kisah lain readers setia,:)))
Scene (kejadian) keenam, ketika hari Jumat banyak sekali santri yang mengantri di
tempat penerimaan telpon. Karena di hari Jumat para santri ditelpon orang
tuanya, untuk saling berkabar. Sampton tidak seperti santri kebanyakan. Lalu
dia tanya ke Umi, “Kenapa saya tidak pernah ditelpon?”. Umi menjawab, “Aku ga
butuh kamu, lha buat apa ditelpon?”. (Lagi dan lagi, mendapat jawaban
demikian).
Scene (kejadian) ketujuh, saat santri-santri disambang orang tua di pondok. Sampton tidak
demikian. Sampton bertanya kepada Abah Umi, “Kenapa aku tidak pernah dijenguk
di pondok?”. Beliau menjawab, “Aku menganggap ketika anakku di pondok adalah
anak ilang, ketika pulang berarti anakku sudah pinter. Aku (Abah Umi) bagaikan menemukan
sebuah permata ketika kamu datang”.
Scene (kejadian) kedelapan, suatu ketika Umi opname di RS, Sampton pulang.
Umi berbisik padanya, “Umimu lebih seneng jika kamu kirim doa dari pondok
dibanding kamu harus pulang. Umi tidak suka orang yang sedang mencari ilmu
diganggu dengan hal-hal yang remeh seperti ini.”
Last scene (kejaadian),
kesembilan. Kisah di
pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah Nurul Huda Mergosono, bila santri-santri
pamit pulang, tidak ikut pengajian diniyah karena mau ada Ujian Nasional. Abah
Umi kompak menyampaikan pesan, “Tidak usah pulang atau tidak ikut ngaji
diniyah. Tetaplah mengaji diniyah dan membawa buku pelajaranmu. Carilah berkah
dari mengaji, maka mencari ilmu disekolah akan ikut memperoleh keberkahan.
Zaman sekarang, alasan konsentrasi mengerjakan skripsi, ibunya
sakit, tidak ada yang bantu jaga toko, tidak ada yang antar ke pasar, adiknya
sunatan, sampai tetangganya panuan saja harus pamit pulang. Emange arep
ngeroki panune tah? Lol (Lot Of Laugh).
Semoga mendapatkan kemanfaatan dari cuplikan kisah KH. A. Sampton
Masduqi. Begitu mulianya ilmu dan kasih sayangnya orang tua terhadap anak agar
mendapat kemuliaan ilmu. Wallahu A’lam..
Kasih Tak Bertepi, Kasih Bapak-Ibu Untuk Anak-anaknya. It's My World |
[25 Juli 2019, hamalatil quran, Aamiinn]
Komentar
Posting Komentar