Corona, Cerita Anak-Cucu(ku) Kelak
Sumber: Jawa Pos |
Hari ini, sudah berjalan selama 11 hari masa #dirumahaja. Semenjak
ada himbauan dari pemerintah, bahwa seluruh masyarakat Indonesia cukup di rumah
saja selama kurang lebih 14 hari. Waktu 14 hari ini adalah tenggang minimal
untuk mengetahui bagaimana virus bekerja dalam tubuh. Sehingga setelah 14 hari
tersebut, maka akan diketahui seseorang tersebut terinfeski virus atau tidak.
Gerakan 14 hari di rumah aja, yang mungkin dimengerti oleh sebagian masyarakat
adalah social distancing (jarak untuk bersosial) adalah salah satu upaya
menyikapi wabah pandemi virus Corona (Covid-19) yang sudah masuk di Indonesia.
Seperti pengalaman negara lain, China (disebut-sebut sebagai negara
pertama yang terkena wabah virus tersebut). Berbagai upaya untuk meminimalisir
kasus atau bahkan menuntaskan (sampai hilang), mulai dari gerakan hidup sehat,
sampai tenaga medis yang dikerahkan untuk para korban yang jumlahnya ribuan.
Dari mulai Desember dan sampai Maret, saat ini di lansir dari Kompas.com telah
mengalami penurunan kasus. Namun, tidak tau kebenaran yang pasti. Adapun berita
yang beru muncul hari ini (25/3), adanya virus baru Wuhan yaitu Hantavirus.
Berita masih saja terus bergulir cepat, menunjukkan dinamisnya ‘dunia’ ini.
(Semoga selalu dalam bimbingan Allah, yang menghendaki segala urusan di jagad
raya).
Penulis hendak bercerita saja, seputar apa yang sedang dirasakannya
atas kehendak Allah ini. Mulai dari rasa kaget, terkadang tertawa, panik,
parno, dan masih banyak hal. Dimulai dari kesehariannya. Ya!! Penulis tinggal
di pondok pesantren, di kota orang karena dia sedang kuliah di perantauan,
sekarang sedang menjalani semester akhir. Mungkin penulis membatasi cerita lah
ya. Soalnya, penulis termasuk orang yang suka mengungkapkan seluruh rasa, ya
atau lost control.
Respon atau tindakan PP Al-Wafa
Penulis tinggal di PP Al-Wafa, berlokasi di Bandung. Melihat
kondisi Bandung yang kian hari kian mengkhawatirkan—seiring dengan meningkatnya
kasus covid-19, sampai disebut sebagai salah satu kota yang berstatus zona
merah. Untuk kabar terbaru (24/3) dilansir dari Kompas.com, sebanyak 60 kasus
(posistif covid-19) berada di Jawa Barat. Dari pihak pesantren menghimbau agar
santri pulang ke rumah masing-masing, sebelum adanya keputusan lockdown (tidak
bisa kemana-mana, benar-benar di rumah/pondok saja).
Sebelum ada pemberitahuan itu, banyak hal yang berbeda di
pesantren. Hal berbeda ini terbingkai apik sebagai langkah social
disatancing (akhir-akhir ini dirubah physical distancing). Awal
mulanya adalah pemberitahuan bahwa santri dianjurkan untuk pulang (himbauan I),
selanjutnya gerbang diperketat, hanya boleh lewat gerbang depan. Namun, santri
masih saja keluar masuk, dengan alasan mencari makan. Ya mau gimana lagi!.
Selanjutnya, di pengajian harus bawa alas masing-masing, jadi sajadah di masjid
sudah digulung. Untuk berjabat tangan ditahan dulu, penulis pernah mendapati
momen, menjemput Ibu Haji di teras, hendak salim. Ternyata beliau menolak, dan penulis
baru teringat, kalau sedang tidak baik-baik saja dan harus jaga kontak fisik.
Selanjutnya, dari pihak pesanten menaikkan siaga, dengan mendukung-memberikan
sabun cuci tangan untuk santri. Selepas itu, ada hal yang penulis kaget (karena
pertama kali), yaitu salat yang berjarak. “Oh Allah, sekarang aku berlaku
seperti halnya yang di tv”, ucap penulis. Dan keesokan harinya, terbitlah
pengumuman yang kedua, untuk santri agar meninggalkan pondok pesantren, karena
melihat kasus semakin meningkat—tidak sesuai dengan tingkah santri yang memang
tidak bisa dibatasi, karena ini perihal perut-keberlangsungan hidup. Oleh
karena itu, agar imun kuat dengan suply makanan tercukupi lebih baik
belajar di rumah. Mumpung, akses jalan umum belum ditutup juga. Dan di beri
himbauan lebih jauh, jika sudah lockdown, pesantren benar-benar melarang santri
keluar, sampai waktu yang tidak ditentukan.
Seorang Presiden, “Hebat sekali kau, Pak!”
Melihat kasus covid-19 ini, berita datang silih berganti, tiada
henti, dan memutarbalikan kerja otak, oh. Berita yang banyak, seharusnya bisa
menjadikan pembaca bijak, untuk menyaring data yang paling tepat. Bisa
membandingkan, dan mengambil yang bukan HOAX, bisa menjadikan pembaca lebih
bijak dalam bersikap. Namun juga tidak sedikit pembaca yang malah kolaps,
karena yang muncul dalam diri bukan sifat bijak, tapi panik. Semakin banyak
kasus, semakin susah berpikir jernih. Sehingga yang memenuhi pikiran adalah
satu hal saja, dan itu menjadikan diri terganggu, dalam menjalani aktivitas
hari-harinya. Tidak menutup kemungkinan, psikis terganggu dan nanti akan
mengenai fisik, dan berujung pada lemahnya imun. Bukankah itu lebih rentan
terhadap virus (penyakit)? Ya demikianlah, fenomena yang menggambarkan keadaan
saat ini, kurang lebih.
Sudah dihimbau, dari pihak pimpinan atau pemerintah. Bagaimana
terkait sikap masyarakat dalam menghadapi virus ini. Mulai dari rajin cuci
tangan, stay di rumah, usahakan tidak menyentuh hidung, mulut, menjaga
pola makan. Jika bepergian, harus mengenakan masker, membawa handsenitizer,
sesampainya di tujuan harus langsung mandi, baju dicuci bersih, dan hindari
kontak dengan orang lain, selama kurang lebih 14 hari (mengkarantina diri).
Agar tidak teerjadi hal yang ditakuti, semisal membawa virus dari daerah asal.
Hal di atas, baru seputar sisi kesehatan masyarakat (Indonesia).
Belum dari segi politik, ekonomi, pendidikan, dan masih banyak lagi, yang turut
mendapat dampak dan juga pihak yang harus aware dengan kasus ini. Munculah
dari otak kerdil penulis. “Bagaimana itu otak Pak Jokowi. Mikirin seluruh
rakyat, dari Sabang sampai Merauke. Walaupun memang ber-tim. Tapi tidak dapat
dinafikan, kalau tanggung jawab seorang pemimpin (sewajarnya & seyogyanya)
lebih berat, lebih-lebih.” Kurang lebih rasa yang dapat terwakilkan lewat
tulisan adalah demikian. Sebelum menulis ini, penulis sempat membaca berita,
snap WA, bahwa di Indonesia sudah siap tangani covid-19. Dengan adanya wisma,
yang digunakan untuk pasien positif covid-19. Yang dapat menampung ribuan
pasien. Selain itu juga sudah siap untuk tes massal. Ya! Pasti ada nitizen yang
mengungkapkan ketidaksetujuan dan bla bla. Tapi, satu hal yang perlu diingat,
“Bukankah itu sebuah usaha/ikhtiar? Untuk hasil, tidak ada yang menjamin.
Seperti yang diungkapkan Mbah Nun, bahwa Allah menyruh hamba untuk usaha bukan
untuk sukses. Seperti di kasus covid-19 ini bukan? Segalanya dikerahkan (oleh
Indonesia), untuk hasil diserahkan pada Allah.
Selain itu, juga ada snap WA. Yang menggambarkan raut muka Bapak
Jokowi (Presiden RI). “Begitu Berat apa yang harus engkau pikul”. Kurang
lebih demikian. Harapan penulis untuk Indonesia, semoga Aman dan bisa melalui
ini. Dan semaksimal mungkin memelihara kewarasan, terlepas dari kedunguan diri.
Untuk mendukung selalu usaha pemerintah. Dan semua hal punya dua sisi, penulis
mengungkapkan mendukung pemerintah, tapi di sisi lain ada yang mengungkapkan
pemerintah masih bertindak kurang tegas. Akan seperti itu terus menerus.
Kemutlakan adalah ketidakmutlakan itu sendiri (bisa) untuk tataran kita,
makhluk atau serba duniawi. Dan kemutlakan yang sesungguhnya adalah Kuasa
Allah, yang tidak dapat kita jangkau. Tidak akan. Laa haula walaa quwwata
illa billah
Ikhtiar lahir dan batin atas semua yang terjadi saat ini. Mungkin
tidak hanya kali ini. bahkan setiap saat Allah menunjukkan kuasa-Nya. Namun,
untuk kali ini yang menjadikan manusia (mungkin) lebih berhati-hati dan
memasrahkan diri (pada Ilahi). Patuhi apa yang diintruksikan dari pihak yang
berwenang, dan giring itu semua lillah.
Sumber: TRT World |
Mungkin ini seklumit cerita, yang jika masih ada kesempatan akan
kuceritakan dengan ciamik, kepada anak-cucuku kelak. “Di tahun 2020, yang
mungkin episode ke-2 dari fenomena tahun 1998.” -Paceklik-
Komentar
Posting Komentar