Keberangkatan Bus Patas Sore Itu

Aku bergegas mengemas baju dan jajanan yang sudah disiapkan ibu. Sore hari itu, aku harus balik ke luar kota untuk kembali pada rutinitas sebagai mahasiswa. Dengan hati lapang, aku merasa siap kembali ke tanah rantau. Bekal, amunisi, dari keluarga yang membuatku tambah mantap untuk mem-Bandung. Sudah kurang lebih 4 tahun di tanah rantau, artinya aku telah tiba pada masa akhir perkuliahan. Mulai dihadapkan dengan keputusan-keputusan hidup selanjutnya, yang lebih ekstrem lagi.

 

"Hey, bus nya asal lewat aja", Ibu agen bus ngoceh dengan sedikit geram


Seharusnya bus berhenti, karena ada penumpang yang mau naik. Tidak lain adalah aku. Tapi ibu agen dengan legowo mengantarkanku ke pull atau agen selanjutnya. Ya!! Untuk membuntuti bus yang telah lewat dengan tak berdosa. Ada-ada saja, dan selalu saja ada orang baik. Sebaik ibu agen itu.

 

Aku dibonceng ibu dengan santai, melihat sekeliling, seolah-olah rumah yang aku lewati ikut bergerak, menyertai motor vario ibu agen yang aku tunggangi. Tidak hanya rumah yang bergerak, matahari yang sudah berwarna jingga di sebelah barat seolah semakin menjauh, dan aku terus mengejar, lari, tak sampai. Lamunan, keparat!

 

Bus telah sampai di kota Kretek

"Akankah ini menjadi perjalanan yang terakhir? Yang telah 4 tahun berjalan. Hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan menurutku. Tapi ketika tidak demikian lagi. Pasti ada yang kurang, suatu hal yang akan dicari nanti. Atau hanya bisa dirindukan saja kelak", ngomong sendiri, hobiku.

 

Laju bus diiringi derum knalpot yang sangat lirih. Saking eksekutifnya, lubang jalan pun tak terasa. Masih keras dentuman hati yang bergejolak. Aku terus saja mengingat apa yang pernah terlewati selama empat tahun, perjalanan Jepara-Bandung. Tak terasa, bus perlahan mengambil posisi untuk berbelok, rem berdencit dengan mulusnya. Waktu untuk memanjakan nafsu perut telah tiba—fasilitas makan dari pihak bus. Ini menandakan sudah setengah perjalanan. Jepara sudah menjauh, dan Bandung segera kuhampiri. (Lokasi: Kendal)

 

"Hilir-mudik orang-orang ini, begitu banyak. Ratusan atau bahkan ribuan? Hendak berbuat apa mereka? Pikirku, ini orang Jepara semuanya. Karena bus yang berhenti di rumah makan ini milik satu PT (orang Jepara). Tinggi sekali minat orang Jepara untuk mengadu nasib ke kota orang. Dan pernah kudengar dari obrolan sesama wong Jeporo bahwa disebut istimewa, ketika seseorang (penduduk Jepara) itu mampu bahkan sukses di tanah perantauan. Padahal Jepara sudah terlalu indah dari materi pun immateri. Ini hal lumrah kah atau satu hal yang bakal mengundang banyak kontroversi, atau pembahasan yang kompleks?", masih dengan hobiku yang sama, hati-pikiran saling beradu dan menenangkan sekaligus ingin memenangkan ego-hasrat kedunguan.

 

Sekalinya tidak beradu dalam diam. Dapat dipastikan aku dalam keadaan tak sadar, tidur pulas. Mata sulit sekali untuk terjaga. Padahal dalam hati terbersit, "Bisakah perjalanan (yang mungkin terakhir) ini merekam semua kota yang terlewati, melengkapi rasa yang rumpang, melengkapi kekurangan yang terjadi dalam perjalanan demikian--telah 4 tahun?". Seisi hati ingin mewujudkan.

 

Namun tidak dengan mata yang terlihat di luar ini. Kelopak mata dengan semilir angin AC, ditambah jiwa manusiaku, atau kebenaran firman Allah. 'Bahwa malam hari dijadikan-Nya sebagai selimut (yang berarti waktu untuk istirahat, atau bisa dikata sebagai waktu tidur). Itulah yang terjadi. Sama saja seperti biasanya. Bangun-bangun sudah di Kota Sumedang. Sempat melihat kota Majalengka—karena tepat keluar tol, mataku terbelalak lagi. Dengan hela nafas, menyiapkan otak yang masih banyak ruang kosong. "Oalah tempat ini lagi. Aku tahu, aku selalu melek ketika sampai sini", hatiku berucap jujur.

 

Ada insight lain, pada perjalanan ini. Aku sempat tersadar, tepatnya belum kalap dengan kantuk. Awal masuk tol Kalikangkung-Kendal, dan lama sekali tak kunjung datang kantukku. Baru tau, merasakan nyamannya dan mulusnya tol. "Oh ternyata ini, yang menjadikan perjalanan Jepara-Bandung yang kulalui semakin cepat dari tahun pertama sampai tahun keempat ini. Sebelum subuh selalu meributi kawan, untuk jemput aku". Cukup, tetap saja aku kalah dengan kantuk, karena bak ditimang-timang dengan meliuk-liuknya jalan aspal halus yang digoreng (prosesnya). Mungkin.

 

Kembalinya aku saat ini, (berniat-bertekad) pandai-pandai menahan. Sudah tahu mana yang harus diprioritaskan, dan sudah ada yang hendak ditinggal. Sudah bisa memilih. Tahun terakhir di Bandung, "Dimulailah riyadhahku, untuk bekal awal sebelum menghadapi tes kehidupan selanjutnya. Mantapkan niatku untuk menjaga kalam-Nya. Dimulai dari saat ini, detik ini", kuat hati dan lisan tak terbuka.

 

Bandung, sudah sedikit tampak dari kota tetangga; Sumedang yang kental dengan tahu gurih. Konon. Perjalanan yang biasanya 12 jam, sekarang bisa ditempuh 10 jam. Sampailah di Bumi Pasundan.

 

Gadis Jawa, “Merantau” (25 Maret 2020 baru beres (nulis), dimulainya 9 Februari 2020). Baru sebulan balik Bandung, ternyata Allah berkehendak dengan kedatangan corona. Dan menjadikan luluh lantah seluruh rasa, tak terdefinisikan. Pulang! Sepertinya, Bandung tidak tercipta untuk sebuah perpisahan:)


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton