Membahas Kombinasi Pengalaman Biologis sekaligus Pengalaman Sosial Perempuan (Respon dari Ngaji KGI Bersama Ibu Nur Rofiah: Kehamilan, Persalinan, Nifas Perspektif Islam)
Diawali dengan suatu fakta bahwa 9 menit ketika hubungan seksual
itu mebawa nikmat bagi laki-laki dan akan membawa beban pada seorang perempuan
selama 90 tahun. (Angka 90 tahun ini diumpamakan umur keturunan dari hubungan
seksual tersebut).
Bagaimana tanggapan kalian? (Konteks, Kekerasan Seksual)
Perihal pengalaman sosial perempuan, selalu diulangi oleh Ibu Nur
Rofi’ah. Betapa pentingnya untuk menggeser stigma tersebut. Pengalaman sosial
perempuan (kenyataan di lapangan),
1.
Stigmatisasi, perempuan Odhiv dianggap pelaku seks bebas
2.
Subordinasi, perempuan hanya dipandang sebagai objek seksual
3.
Marjinalisasi, pemaksaan nikah pada perempuan. Ini akan mengakibatkan pada
kehamilan, nifas, dan menyusui. Perempuan tidak ditanya, mau berakhir dengan
demikian atau tidak. Disini bukan ditekankan pada menikah, dan apa yang ada
pada fase selanjutnya. Namun sebelum semua itu terjadi, yaitu ditanya atau
meminta persetujuan terlebih dahulu pada perempuan. Kesiapan,
mendengarkan apa yang diinginkan perempuan. Tidak serta merta asumsi terlalu
kaku, bahwa perempuan menunda pernikahan akan mempersulit masa depannya (jodoh).
4.
Kekerasan, di dalam atau luar rumah (verbal, fisik, psikis, finansial,
seksual, spiritual, dll). Perempuan bisa menjadi korban dari unsur di atas,
rentan. Ucapan perempuan, fisik perempuan bisa menjadi bentuk kekerasan (pandangan
tidak baik). Atau anggapan, perempuan lemah dalam finansial, dan sebagainya.
5.
Beban
ganda, bertanggung jawab dalam hal
domestik juga publik ketika aktif di ruang publik.
Kesetaraan gender, bisa disetujui ketika tidak menambah sakit dari
pengalaman biologis perempuan. Perempuan sudah mengalami pengalaman biologis;
sakit. Yaitu, menstruasi, hamil, menyusui, juga mengalami nifas. Pengalaman yang
tidak bisa dirasakan oleh kaum adam. Perlu diketahui oleh teman pria dan wanita
pasti sudah merasakan. Salah satu contoh, PMS (premenstrual syndrome);
mual, melilit, pegel, keringat dingin, hmm. Dan disadari itu qadarullah juga
anugerah.
Perempuan, masih melekat dalam dirinya adalah Pengalaman Sosial
seperti di atas. Seolah tambah berat, Pengalaman Biologis juga Pengalaman
Sosial. Namun tidak harus selalu demikian? Apa yang belum tepat, dengan asumsi
seperti itu? Mana yang perlu di-pernahke (luruskan)?
Contoh Kasus: Pertentangan Antara Penglaman Biologis dan Pengalaman
Sosial (Pasangan Yang Menunda Program Kehamilan)
Tema yang diusung di tanggal 29 Januari 2021, mendapat tanggapan
dari partisipan yang meminta pendapat atau arahan ‘Ketika bagaimana pasangan
suami istri yang dengan sengaja sadar untuk menunda memiliki keturunan pasca
menikah’.
Kasus di atas memiliki latar belakang, pasangan suami istri yang
baru menikah lebih mengutamakan vaksin untuk keduanya, dengan niat hifdzun
nafs, tepat di saat pandemi memiliki pandangan bahwa langkah menjaga
pasangan juga keturunan agar mengurangi potensi kasus terdampak Covid-19. Namun,
ketika dalam lingkungan sosial belum sampai kepada maksud pasangan tersebut.
ungkapan bahwa semacam sumpah serapah, ketika menunda keturunan, nanti akan susah
mendapatkan keturunan di kemudian.
Ini lebih kepada, Pengalaman Sosial Perempuan (isteri tersebut). Ada
rasa ragu ketika berniat baik, dihantui dengan layaknya doa ‘susah hamil’.
Ibu Nur Rofiah, mengungkap tidak bisa menentukan bahwa menunda atau
mensegerakan kehamilan, salah satunya paling bagus. Namun beliau menegaskan
bahwa setiap pasangan harus mengenali dalam kehidupan pasangan tersebut. Pasangan
suami isteri yang menjalani, otomatis keputusan yang terbaik adalah dari kedua
belah pihak. Tetap dengan keyakinan mutlak, bahwa Rezeki (putra atau keturunan)
dari Allah.
Saya setuju apabila rumah tangga ditentukan oleh pasangan itu
sendiri. Bisa jadi kesepakatan untuk menunda keturunan baik menurut pasangan
tersebut, belum tentu pasangan lain juga demikian. Layaknya ungkapan yang
sering kita dengar, bahwa orang lain adalah inspirator namun bukan berarti
dibuat standar. Karena standar setiap orang adalah berbeda.
Selaras dengan pasangan. Pasangan lain, bisa menjadi inspirasi
namun tidak dapat menjadi standar pasangan pasangan lainnya. Dalam hal promil
(program hamil) , dapat diterapkan dengan prinsip ini. Pasangan tersebut baik,
ketika turut menyukseskan vaksin dan mencegah keturunan terdampak Covid-19,
sehingga menunda kehamilan. Namun, keputusan ini bukanlah keputusan yang
terbaik sehingga dapat menjadi fit for all. Kembali, kenali dalam
pasangan kalian (kita) masing-masing untuk memutuskan kehidupan kedepannya,
terutama untuk keberlangsungan keturunan.
Tidak Segera Berketurunan Gara-gara Stigma Orang Kebanyakan—Tidak Demikian!
Throw Back: Landasan Awal, Islam Adalah Mengasihi Seluruh Umat,
Termasuk Perempuan. Dan Apapun yang Melekat pada Dirinya Juga.
Komentar
Posting Komentar