Tuturan (Ipun) Ning

Nderekaken, istilah yang menurut saya khas ketika di pesantren. Tapi istilah ini sepertinya hanya bisa ditemui di Jawa. Bahasa nderekaken memiliki arti 'menyertai'. Menyertai disini, adalah dzuriyah (keturunan) pesantren. Beliau, Ibu Nyai, Pak Kiyai, Gus, Ning. 


Dulu hanya dalam benak, sepengalaman saya. Saat ini, tidak lagi demikian. Saya melalui. Saya turut. 


"Berarti menikah itu pilihan ya, ma? Boleh iya atau tidak"

"Kamu bisa-bisanya ngomong gitu."

"(Senyum, tawa), takut"

"Emang ada niatan ga nikah?"

"Emm, pingin ma, belum siap"

"Alasannya?"

"Ga becus di dapur ma"

"Ya Allah, karena ga bisa masak ga mau nikah. 'ojo ngono'. Uma juga ga bisa masak, ga pernah di dapur. Itu belajar sambil jalan mba"

"Ga pandai memilih (pasangan) ma", masih terus mengelak

(DIAM)

"Tetap enaknya, hidup itu dijalani bareng Mbak. Seneng dengan pasangan. Masalah bisa dibagi dan diselesaikan bareng"

"Oh iya ma"

"Masak bisa belajar, ada gogel. Awal masih kagok, itu wajar"

"Mertua itu mengerikan, apa benar ma?"

"Gimana ya Mbak, tidak selalu begitu. Bergantung orang yang menghadapi. Saya tidak merasa ngeri. Anggap saja mertua itu seperti orang tua kita. Marah, sayang, cerewet, bagaimanapun tetap orang tua kita. Kita sayang mereka. Selisih paham, itu lumrah"

"Bener juga ya, Ma"

"Hidup itu harus dihadapi, dinikmati. Uma tidak pernah bermasalah dengan ada tidaknya uang, misal. Ada uang ya hidup, tidak ada harus tetap hidup. Rumah tangga demikian, asal mau bareng, menerima satu sama lain. Mbak sudah umur berapa?"

"23 Uma, hehe"

"Uma di umur 23 sudah hampir punya anak tiga. Hamil pas masih kuliah, dan teman-teman kuliah tidak tahu. Soalnya tidak nampak. Tahu ketika sudah 9 bulan"

(Uma sampai mempunyai 4 anak, tidak nampak secara fisik. Beliau masih layaknya muda-mudi. Cantik, kekinian, tidak suka marah, selalu ceria. Komunikasi dengan putra putrinya seperti dengan teman. Sesiapa yang bertemu, akan nyaman. Insyaallah)

"Awal pernikahan jangan dikira langsung mapan bisa naik mobil Mbak. Meski dari orang tua ada fasilitas tapi sudah beda rasa. Ketika sudah menikah, diri dan pasangan ingin mandiri. Malu jika masih bergantung, walaupun tidak mungkin lepas sama sekali. Pernah di kos di luar kota, waktu itu Abi mendapat panggilan kerja kontrak. Mau tidak mau harus diambil untuk memenuhi kebutuhan hidup"

"Iya, Ma. (Diri yakin saja, kalau ada puncak ada pangkal. Ada sukses, ada ikhtiarnya. Tidak langsung merasakan dan melihat rumah yang bersih dengan adanya keramik atau marmer tapi dimulai dengan ruangan sepetak yang beralaskan plester (semen). Ditambah kos.an umum, dipakai banyak orang, ada kotoran yang nempel, jika dikamar mandi ada lumutnya. Cerita Uma di balik layar)


Saya anggap ini belajar dan saya hanya berhak sebegai pendengar. Masih terus berbincang, sekitar dua jam penuh dengan cerita Doeloe. Sebelum turun dari mobil, "Lihat laki-laki yang mau serius. Kalau saya, kebetulan yang saya suka selalu pinter. Jadi saya setuju, pasangan harus bisa membimbing. Ketika yang seperti itu datang, pastikan, dan minta ridho untuk petunjuk, atau arahan yang akan dilakukan."


Lebih suka mencintai, ketimbang dicintai. Pesen Uma. 







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton