Mengabdi Beda Persepsi

Mau menulis saja, pertimbangannya Subhanallah. 'Apa yang mau ditulis ya, ah ga menarik, sudah terlalu lama tidak cerita pengabdian, ah sulit, dan masih banyak lagi'. Tapi akhirnya saya bisa sedikit mengajari diri saya untuk menampik kemalasan.

Sudah hampir 4 bulan saya mengabdi, ya kurang 5 hari.an lah. Tepat di hari ini, 25 November 2020, perasaan yang tidak enak muncul. Perasaan yang mirip ketika saya pertama kali di pesantren. 'Saya tidak berbuat apa-apa, dan saya tidak nyaman karena rasa ewuh'. Sebenarnya saya sudah tau apa yang seharusnya saya kerjakan, 'menemani Umik'. Namun agenda rutin itu, dalam satu bulan terakhir ini tidak tentu atau dinamis. Sebenarnya hal dinamis itu bukan buruk, bahkan saya suka. Tapi tidak tau, untuk perkara ini.

Saya diarahkan untuk menemani cucu Umik yang masih kuliah, menemani sekaligus membantu mengerjakan tugas. Saya suka. Dan tugas-tugas semakin kesini pasti semakin banyak. Sehingga, intensitas dengan cucu Umik lebih padat dibanding bersama Umik. Saya bisa biasa saja, tapi untuk hari ini tidak. 'Saya seperti dikasih kebebasan, ketika saya bantu cucu Umik search jawaban, itu berkaitan dengan IT atau sosial media. Jadi sambi main. Berbeda jika bersama Umik, tidak mungkin sambi-sambi begitu. Seharusnya tidak tepat ya, meskipun dengan cucu beliau, tetap sama untuk menghormati. Namun begini adanya'. Perasaan tidak enak itu cukup mengganggu gaes.

Jika sedikit mengulas, kedekatan atau intensitas dengan cucu Umik, memang cukup baik--layaknya teman. Bercanda bareng, sambat bareng, jajan bareng, mikir bareng. Alhamdulillah. Namun, masih banyak hal yang saya kira saya harus pelajari di luar akademik. Pengetahuan tentang dapur, atau keseharian. "Bagaimana ilmu alam-mu?", saya tahu persis kalimat yang menunjukkan bahwasanya saya tidak mampu. Berulang kali. 'Masalah ngetik, baca atau tulis, saya sedikit bisa. Namun, untuk melunakkan bahan (ayam, santan, tepung singkong) dari freezer, ga becus. Mengambil minuman untuk ditambahi (airnya), menutup nasi agar ada udara, mengambil garam yang sudah dibuka agar mudah diambil Umik, masih harus diingatkan dan dituntun. Miris ya:'

Semoga saya bisa belajar dan berubah. Saya pelupa, diberi tahu lantas hilang dalam memori. Ya Allah, hamba hanya menyandarkan semua kepada-Mu. Ingatkan dan rubahlah diri saya dengan cara-Mu, dan meski saya tidak mengerti, mudah-mudahan saya menyadari dengan seizin-Mu. Saya bukan sedih sepenuhnya, karena saya banyak rasa lega (bahagia), namun rasa bingung dan tidak nyaman itu bisa memblokade semangat saya. Na'udzubillah

Saya bersyukur, saya mau sinau baca dan tulis. Saya terlihat bodoh dengan memegang buku. Tidak tahu! Saya menstandarkan diri saya. Mungkin tidak pantas, karena sudah ada yang Maha Mengatur. Tapi ini saya jadikan batasan. "Saya masih baca dan nulis, saya masih waras dan membina semangat saya. Dan saya akui, belum pandai membina hubungan, hihi." 

Saya masih asyik dengan Buku Buya Kamba, Mencintai Allah Secara Merdeka. Berulang kali, kalimat yang ditulis adalah Kebaikan, Kemurnian, Ketulusan, dan Penyerahan Total. Saya ugemi, walau saya tidak tahu. Saya pegang erat, dan tetap memohon bimbingan semoga tidak taklid buta dan kosong. Dengan wujud ibadah sebagai bentuk syara' atau jalan yang harus ditempuh disertai kesadaran, satu doa; semoga tetap terbina dan istiqomah dengan tahajud tanpa kepentingan. "Allah sepenuhnya".

Benar-benar praktik, tasawuf dalam kehidupan nyata:). Insyaallah besok sudah tidak hadas. Alhamdulillah semangat ziyadah wa muroja'ah

Mengabdi itu bisa dalam bentuk apapun. Tidak perlu bingung. Kata Bapak Imam Syafi'i, salah satu pembina PBSB pusat. Saya mengabdi dengan nyantri, nderekaken Bu Nyai (masih belajar), tidak melulu menjadi guru. Jadi ketika ditanya, 'Ngajar apa?'. Saya menjawab saya masih 'dibelajari'. 'Guru atau ustadzah?'. Saya menjawab, saya santri. Semangat dan sehat selalu buat teman-teman seperjuangan!!!

Tulisan malam ini, dimulai ketika Umik ngaos dan selesai ketika Umik ajeng sare (mau tidur).

Hendak mensudahi tulisan, ada saja yang ingin diungkapkan. Baru saja, diutus memindahkan jajan ke tempat (kotak) makan. Saya teringat Si Mas, tawadhu beliau (cerita Mas Aam, "Si Mas kalau ke rumah Mas Aam suara motornya tidak terdengar sama sekali...) "Bonex santun". Saya berusaha agar tidak menggangu waktu malam keluarga ndalem. Saya hati-hati agar suara brokoh tidak terdengar. Eh ladala, ambyarrr. Dan tara, malu kesekian kalinya

"Saya intip mbak, takutnya suara kucing", suara Uma dibalik pintu kamar sedikit terbuka selepas mengintip saya--kaya kucing eh. 

Terimakasih ilmu kehidupan saat ini, esok dan nanti. Benar kata Jason Ranti, The Panas Dalam Band, "hidup cuma numpang ketawa", tetap stay cool menertawakan diri dari kejadian konyol satu ke kejadian konyol lainnya. Jangan lupa, bahwasanya itu belajar:))

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton