Tentang Berjuang

Rabu malam Kamis, menjadi hari yang saya istimewakan. Karena apa? Karena saya menyempatkan menulis apa yang saya rasakan. Sudah lama bukan, wahai diri? Tidak mengulas, barang untuk muhasabah diri atau memperbaiki diri, atau sekedar men.sambati.


Saya tidak ingin malam ini berlalu. Begitu berat setiap diri beranjak kepada hari esok. Saya terbayang dengan diri yang berjuang dalam kurun waktu 12 jam di waktu siang, karena ada tanda sinar matahari juga jarum jam yang bergulir memutari angka yang hanya ada 1-12. Saya tidak ingin malam hilang. Malam menurut saya adalah waktu yang tidak ada penyesalan, tidak ada kegundahan, ada usaha tanpa tuntutan, ada waktu istirahat tanpa ada paksaan. 


Saya sudah lelah dengan siang. Berjuang sendiri, tanpa ada kepentingan, benar-benar mengajari diri sendiri dengan kesadaran diri yang rentan lupa diri. Mulai dengan merapihkan tempat tidur, selang olahraga setiap dua hari sekali--sebagian realisasinya hanya rencana (saja), disambung mandi atau makan, mencoba memenuhi target tulisan atau hafalan, tapi ini tidak berlaku jika ada panggilan yang sewaktu-waktu hanya butuh mengiyakan dan segera. Tugas muskuloskeletal, epikardium, atau insisif, sudah seperti kewajaran dengan kebaharuan. Mungkin ini termasuk new normal.


Jarum jam tidak akan berhenti berputar kecuali baterai habis. Atau mati karena kemakan usia, rusak mesin--motherboard jika itu komputer. Terdengar suara tarhim (terdengar sesekali, mungkin karena kosong dan hanya bersimpuh pada Tuhan, mengaku-ngaku?). Lantas terdengar adzan 'asar. Wuh kebahagiaan saya dimulai kembali, rasa lega dan merasa ada yang ditunggu, yaitu waktu istirahat.


Malam, nyaman ini tak seindah siang esok. Tapi gimana Allah saja, yang Maha Pembolak-balik hati setiap hamba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton