Bersama Intervensi Anak Disleksia Sejak Dini

Kehidupan anak disleksia

Disleksia merupakan suatu hambatan atau gangguan belajar spesifik/khusus. Khusus dalam arti; diketahui dari segi bahasa berasal dari (bahasa) Yunani, dys yang berarti kesulitan dan lexis yang berarti kata-kata. Secara sederhana berarti memiliki gangguan dalam (khusus) membaca. Tapi perlu diketahui juga, kalau komorbid disleksia sangat beragam. Sehingga disleksia jika tidak ditangani dengan baik juga akan berpengaruh pada fungsi (eksekutif) anak. 


Buku Disleksia yang diterbitkan oleh ADI (Asosiasi Disleksia Indonesia)


Sehingga disleksia bukanlah anak yang menyandang atau memiliki keterbatasan yang sampai dicap bodoh dalam kelas, tidak mampu mengikuti pelajaran pada umumnya. Jangan sampai keliru dalam intervensi ya!


Gangguan belajar khusus ini disebabkan oleh gangguan psikologis dasar, yaitu disfungsi syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang termanifestasikan dalam bentuk atau perilaku nyata. Yaitu, kegagalan dalam pemahaman, gangguan mendengarkan, berbicara, membaca, berhitung dan juga keterampilan sosial.” Anak disleksia tidak sekedar sulit dalam membaca teks. Namun, juga membaca keadaan sosial”, jelas Ibu Diah Puspasari (psikolog).  


Anak dengan disleksia termasuk dalam kategori anak yang normal atau bahkan memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Tapi, perlu dipahami bahwa anak disleksia adalah mereka yang memiliki kesulitan belajar pada bagian tertentu. Misalkan dalam membaca, belum mampu membedakan huruf yang (memiliki bentuk) hampir sama. Contoh: p dan q, b dan d. Salah satu sumber menjelaskan, disleksia terbatas pada mengolah informasi yang mereka terima, dan bagaimana otak dalam mengolah informasi tersebut, (Nurul, 2015).


Untuk menghadapi atau menyikapi individu disleksia, bisa dilakukan intervensi sejak dini. Kasus pada hambatan belajar anak disleksia ini perlu ditangani oleh pelbagai pihak, mulai dari orang tua, guru, tenaga kependidikan, atau psikolog. Sehingga orang lain (pihak lain) paham keadaan anak, dan bisa mengambil langkah lanjut yang tepat. Selain itu, anak juga dapat memahami dirinya; percaya dan paham kalau ada orang lain yang menghargai kehadirannya. 


Hal apakah yang perlu dikenali dan dipahami dari penyandang disleksia?? 


Kenali emosi anak disleksia-Setiap individu pasti memiliki emosi, begitupun anak disleksia. Anak disleksia masih bisa merespon orang lain atau (anggapan) diri terhadap dirinya sendiri. Bagaimana dia mendapat dukungan atau malah dianggap sebelah mata. Bagaimana dia menerima keadaan diri atau malah menarik diri.


Ketahuilah, anak disleksia lebih suka bercerita. Oleh karena itu, ketika orang lain bercerita tentang dirinya atau yang lain, mereka akan mencoba merespon kembali, dan menunjukkan bagaimana emosi yang sedang terjadi pada dirinya. Apa yang perlu dilakukan jika dalam dirinya memiliki low self esteem? Bagaimana untuk membuat mereka menghargai dirinya sendiri?


Emosi adalah respon yang dilakukan atas stimulus dari luar diri atau dalam diri. Sesuatu yang kita rasakan dan nantinya akan mempengaruhi perilaku yang kita tunjukkan. Lantas, bagaimanakah emosi anak disleksia? Respon dalam perasaan serta perilakunya atas perlakuan orang lain terhadap dirinya, bagaimana dirinya dalam menghargai diri sendiri (self esteem)? 


Suatu kasus menjelaskan anak disleksia memiliki  kesadaran self esteem (menghargai dirinya sendiri). Sehingga, dia paham keadaan dirinya, tau memiliki kekurangan, sadar berbeda dengan teman lainnya. Dari kesadran itu, anak menjadi pribadi yang mudah marah, frustasi, menarik diri, dan sedih. Anak disleksia menyalahkan diri sendiri. “Kenapa saya tidak bisa mengikuti pelajaran seperti teman lainnya?” 


Di usia sekolah, anak disleksia mulai mengenal banyak perbandingan yang tampak dari temannya. Ketika ujian, bukan menyelesaikan lembar jawabannya sendiri, namun melihat pekerjaan teman. Memastikan sudah sampai mana pekerjaan teman lain. “Mereka hampir selesai. Saya tidak bisa”. Sehingga dia bersembunyi, menarik diri. 


Gangguan sosial emosi yang sering muncul pada penyandang disleksia diantaranya,

  1. Salah persepsi. Contoh, ketika anak di sekolah sedang bertengkar. Anak penyandang disleksia ditindih oleh teman lainnya. Anak disleksia tersebut justeru meminta maaf. Sebetulnya ini keliru, seharusnya anak bisa melakukan atau menyelamatkan dirinya. Hal ini, guru atau pihak lainnya harus membantu meyakinkan anak disleksia, meluruskan yang sebenarnya. 
  2. Gangguan kecemasan. Anak disleksia, menyadari memiliki kekurangan, namun dia tidak memunculkan self esteem dalam diri, maka yang muncul atau dimenangkan dalam dirinya adalah kecemasannya. Cemas ketika tidak bisa bersaing dengan teman, cemas ketika dijauhi teman. Maka dia tidak mampu menghadapi sendiri, sehingga perlu peran orang tua, guru, atau psikolog untuk membantu dia tetap bertahan, pribadi mandiri, bahkan berkembang (produktif) 
  3. Low self esteem. Tidak tau peran dirinya, pesimis dengan keadaannya. Serta fokus dengan judgement orang lain terhadap dirinya, yang menjadikan dirinya tidak berkembang. 
  4. Tidak bisa mengekspresikan secara verbal maupun non verbal. Yang dikhawatirkan hanya dipendam dalam dirinya sendiri, hal ini pasti akan berdampak pada kualitas dirinya. Memilih menarik diri, tidak menngungkapkan apa yang sedang dialaminya, dan juga sulit untuk menuliskan keadaannya. Keadaan tertekan yang mengganggu sosial emosinya

Ketika sudah mengetahui kendala yang dihadapi anak disleksia, kita mampu hadir di dalam kehidupannya. Kita mulai intervensi sejak dini mungkin. Sebagai orang tua atau guru, pasti menginginkan kemandirian pada anak disleksia tersebut.


Usaha yang dapat ditempuh tentu tidak hanya satu cara, atau satu pihak saja untuk mencapai mandiri. Mulai dari pola pengasuhan orang tua kepada anak disleksia. Pola pengasuhan yang tepat--menghindarkan pada pengasuhan yang penuh amarah, frustasi, menghindar, merasa kehabisan akal, selalu menggunakan nada tinggi, dan cenderung cerewet pada anak disleksia.


Bagaimana orang tua menerima keadaan anak, dan terus berjuang membimbing sampai mandiri. Bagaimana orang tua membantu, anak untuk meyakinkan dirinya bisa, mampu. Bagaimana menumbuhkan dan merawat self esteem dalam diri. Tentu, kala itu tercapai, 'kekurangan' pada anak disleksia akan luntur dengan kecerdasan atau keterampilan yang luar biasa dari dalam diri anak disleksia.


“Siapapun sangat perlu menumbuhkan kepercayaan pada diri anak disleksia. Mereka orang tua memberikan tanggung jawab yang bisa dilakukan oleh mereka. Bukti, orang mempercayai diri anak disleksia. Tidak bisa tidak, hal ini sangat perlu komunikasi yang efektif antara anak dan orang tua.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton