Malam Jumat

Rasa senang yang tidak bisa dibohongi. Saling bertukar kabar dengan teman, teman yang tersayang. 
Malam yang tidak berbeda dengan malam lainnya. Malam yang dimulai dengan tibanya waktu Maghrib. Malam yang jatuh di hari Kamis, sedikit berbeda. Karena malam itu terasa melelahkan juga melegakan selepas ikut kelas inklusi yang saya tekuni saat ini. 

Adzan Maghrib selesai, saya masih di dapur. Kali ini saya masak. Memasak untuk teman pondok yang sedang sakit. "Oh, harus begini ya. Ketika ada teman yang membutuhkan, memang harus meluangkan waktu untuk membagi sebagian empati dalam diri ini." Itu kiranya cukup, untuk orang yang mengalami rasa yang tidak enak, panas, capek, sampai air mata juga tidak bisa diam saja. 

Saya juga ingin berbagi. Saya bagi cerita saya di grup kesayangan. Grup yang tercipta karena diinginkan tanpa kesadaran sejak awal. Saya mensyukuri itu.

Panggilan video saya mulai. Dari ketujuh peserta WAG itu hanya tiga wajah yang tampak, tapi empat nyatanya. Seperti biasa yang di belahan barat duo calem baik ada di satu tempat yang sama, jadi bisa satu layar hape. Satu lagi, belahan tengah tapi sedikit mlenceng ke arah (entah), ada si humble yang baik, satunya lagi belahan tengah ke arah Utara, iya saya.

Apa saja yang dibagi tadi? Kabar, makanan yang sedang dimakan di waktu itu, sedang diutus Gusnya, sedang bicara tentang balada pandemi, bicara tentang saya yang sedang masak; memasak untuk teman yang sakit. Dari situ teringat teman yang selalu butuh pendamping saat sakit semasa kuliah. Doakan yah, dia sedang sakit. Walau dia dekat teman baik yang di tengah ke arah entah (tadi). Tapi tetap, apa-apa yang tidak seatap lebih susah ketimbang seatap, dan beda kamar untuk ikut merawat ketika sakit. 

Rindu ingin bertemu. Rindu ingin sebuah candu, layaknya dulu. Candu bersama di satu ruang pun waktu. 

Lega sekali di waktu yang singkat, rasanya sampai nanti kayaknya. Hehe. "Beginilah hidup", katanya. Ya! Dua teman kalem itu sudah ada tugas lain, sehingga menyisakan saya dan teman baik satu. Terpantik juga kata Kaka kemarin (kemarinnya lagi); "Begitulah kehidupan. Itu semua ilmu", dibercandakan juga didoakan (bisa bersama nanti?).

Masak menjelang  malam itu sudah selesai. Bubur yang saya kira enak (betul enak gurih), tepat untuk teman yang sedang tidak fit. Juga sup kentang dan wortel hangat, rasa gurih juga ada penyedap Roy**.

Masakan sudah siap. Masih menikmati bau bubur beras yang ada santan gurihnya. Ada juga aroma sup yang khas, saya ingat ketika ibu masak. Bau merica, merica yang di uleg bukan merica instan. 

Rasanya tidak mau beranjak. Dapur yang disulap menjadi tempat nyaman bisa bertemu virtual lewat video call wa. Sempat larut, dimana tidak ingin beranjak ingin berlama-lama. Malam ini dan sepertinya beberapa hari kemudian saya tidak menemani Ibu di kamar. Jadi saya bisa mempunyai sedikit lebih banyak waktu untuk mengulur apa yang ingin saya lakukan.

"Aku habis jalan dengan teman baikku dulu", ungkap teman baik. Mereka lama berteman, lama saling tau memiliki perasaan. Sudah empat tahun berlalu. Keduanya berbeda tempat untuk menimba ilmu. Saling berjauhan. Juga sempat tidak berhubungan.

Semudah pada waktu itu, Allah mempertemukannya kembali. Walau ada rasa kesal ungkapnya. Ketika ditanya apakah ada niat untuk menikah bersamanya (teman baik bertanya pada teman baiknya). Lagi-lagi terdiam, tanpa jawaban. 

Saya dengar kabar itu senang pula. "Bisa ya, bertemu kembali". Nanti, dengan izin-Nya Allah juga dengan mudah mempersatukan mereka. Batin saya memekik halus.

Malam masih terasa sama, sama rasa. "Dia yang saya sebut teman sejati. Teman yang murni". Masih bisa saya menyambung silah dengannya. Berbagi cerita, bertatap muka, seperti hal yang sama ketika di lakukan di tempat perantauan dulu.

Pengabdian, sekarang yang selalu menjadi topik berbagi rasa. Sudah semakin luas berpikir, luas bertindak, selow dalam menjalani. Seringkali, rasa capek muncul, capek hati juga fisik. Tapi seiring itu juga, sering muncul pelajaran juga penyadaran.

Membicarakan masa lalu, membicarakan halu, membicarakan teman-teman. (Seperti lama sekali ya obrolan saya). Gawai sudah banyak menerima bualan, kisah, doa, juga haha hihi. Sedikit terhenyak obrolan. (Tanda hampir berakhir). 

Teman baik saya dipanggil oleh kawannya. Mereka hendak kumpulan. Tuturnya. 

Rasa mulai sedikit cemas. Padahal belum tuntas, mengepul kisah. Salam sudah disampaikan. Tapi masih tersambung. Artinya masih bisa melihat wajah di jauh sana. 

Menghela nafas, menarik nafas, terdiam, sendiri. 

Saya beranjak menuju kamar. Melihat kawan terbaring lemah. Kasur yang hanya cukup untuk satu orang, menampungnya yang sedang dikompres jidatnya. Seperti oleh dirinya sendiri.

Ada yang lebih penting, ketimbang halu saya.

"Mba, tak suapin ya.."


[Kamar DPR, 1 Juli 2020]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton