PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), Pernak-pernik Korona oleh Manusia

Apa kabar di Minggu pagi? Masih ada semangat yang bersemayam di dalam diri kalian? 

Tanggal 11 Juli 2021 bertepatan 1 Dzulhijjah, menjadi hari ke 9 PPKM Darurat. PPKM yang di putuskan dalam undang-undang termasuk Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ini menjadi upaya yang ditempuh pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia untuk mencegah atau menurunkan angka penularan Covid-19 yang kian hari kian melonjak drastis.


Jumlah (pasien) positif covid di Indonesia sebanyak 2.491.006. Pasien sembuh tercatat 2.052.109, dan meninggal sejumlah 65.457 orang. Data ini diperoleh dari situs resmi covid19.go.id (diupdate terakhir 10/7/2021). Dari data yang selalu di update oleh pemerintah, pernah tercatat kasus lonjakan tertinggi, mencapai 25.000. Kenaikan angka tertinggi terjadi pada tanggal 3 Juli 2021. Adanya kenaikan angka kasus membuat pemerintah mengambil kebijakan PPKM Darurat. Sebelumnya, pemerintah sudah menempuh upaya PPKM berskala mikro yang ditetapkan per 1 Juni 2021.


Pemerintah mengeluarkan aturan dalam pembatasan aktivitas masyarakat ini tidak lain adalah meningkatkan siaga dan mengajak masyarakat untuk sadar untuk melaksanakan aturan tersebut dengan tepat. Kematian pasien Covid-19 juga mengalami kenaikan. Dilansir dari situs resmi pemerintah penanganan Covid-19, kematian yang terjadi di beberapa provinsi mengalami peningkatan. Dari 34 provinsi, 31 mengalami kenaikan aktif kasus, 9 provinsi mengalami peningkatan kasus kematian, dan 29 provinsi mengalami penurunan kesembuhan. 


Prof. Wiku Adisasmito selaku Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 menuturkan, “Kenaikan persen kematian menunjukkan dalam satu minggu terakhir, kenaikan kematian lebih signifikan dibanding kesembuhan.” Prof Wicu mengungkapkan pada pers saat PPKM Darurat secara daring pada Kamis (8/7/2021) dimuat di kanal YouTube Sekretariat Presiden.

**


Situasi PPKM Darurat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebelumnya, pemerintah yang memberlakukan PPKM Mikro sudah membatasi aktifitas masyarakat. Mulai WFH dan WFO sama sama 50%, membatasi pengunjung restoran atau fasilitas umum, sekolah dilaksanakan secara daring. Hal ini sudah membuat resah sebagian masyarakat yang sumber penghasilannya, misalkan dari rumah makan. Mungkin, merasakan penurunan pendapatan. 


Beberapa peraturan dalam PPKM Darurat lebih ketat lagi dari PPKM Mikro. Sektor esensial, seperti pelayanan administrasi perkantoran diperbolehkan beroperasi 25 persen. Sektor esensial yang berkaitan dengan keuangan, bank, lembaga pembiayaan (yang berhubungan dengan fisik pelanggan) diperkenankan 50 persen untuk staf yang melaksanakan pelayanan. Sektor esensial lainnya, pasar modal, operator seluler, data center, pos, internet, juga diperbolehkan beroperasi 50 persen. Sedangkan sektor kritikal, seperti kesehatan, keamanan, dan penertiban masyarakat berjalan 100 persen.


Dengan diberlakukannya hal di atas, tidak terkecuali di dunia pendidikan, full dilaksanakan secara daring akan berlaku dari 3-20 Juli 2021 mendatang. Dalam praktik PPKM Darurat ini sangat terlihat (berklaku). Aturan terlaksana dapat kita lihat; tutupnya mal, kongkow atau nongkrong di cafe tidak ramai, bahkan diberlakukan hanya take away, tidak melayani makan di tempat.


Besar harapan, dari peraturan pemerintah dan patuhnya masyarakat akan menumbuhkan kesadaran kolektif. Selain semata-mata menuruti peraturan, harus adanya sense dalam diri. Selama PPKM, pribadi setiap individu bisa lebih menghargai sehat, mencintai keluarga, menjaga orang-orang tersayang, memperbaiki diri, lebih berorientasi pada Pusat (Allah). 


Upaya-upaya (ex: peraturan pemerintah) yang ditempuh ini tidak ada maknanya jika tidak dibarengi dengan doa atau penyerahan total pada Sang Pencipta. Noted, ya!

**


Fenomena yang terjadi, sama-sama dirasakan oleh kita semua. Seputar pernak-pernik polah manusia saat banyak tekanan (PPKM)


Setiap malam, pihak berwajib, polisi dan keamanan daerah berpatroli. Mereka mengelilingi desa atau pusat kota. Mereka menyisir jalanan, menertibkan para pedagang kaki lima, angkringan, atau warung sedap malam.


Mereka yang gagah, berseragam, bersuara lantang, “Bapak Ibu sekalian, dimohon untkuk selalu mematuhi protokol kesehatan untuk menekan penularan Covid-19. Untuk para pedagang yang masih beroperasi di atas jam 20.00 WIB silahkan menutup lapaknya sebelum ditertibkan oleh petugas.”


Suara yang asing, tapi mulai peka di telinga. Saban hari mobil patroli melintasi pesantren tempat saya mukim. Berulangkali Ibu Asuh menanyakan suara itu, karena tidak pernah di dengar sebelumnya. Juga, beliau sudah sepuh jadi mengulang pertanyaan yang sama (itu). Toh, tidak masalah saya selalu merespon pertanyaan tetap beliau. Hihi.


Saban hari pula, berita kematian yang disiarkan di masjid depan pesantren tidak luput dari telinga saya, juga masyarakat sekitar. Tidak cukup satu kali menyiarkan, dua, tiga dan seterusnya dengan nama ‘kematian’ yang berbeda. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.


Teman jauh, cerita. “Kabar duka dari pesantrenku, Kiyaiku sudah sedo  Mohon doaya”. Status teman di sosial media, “Saya bersaksi teteh orang baik. Semoga teteh bahagia Disana”. Teman satu asrama cerita, “Banyak yang meninggal di daerahku, Mbak”. Ibu barusan semalam mengirim pesan WA, “Doanya Nduk, buat Pak Haji sama Tante yang deket rumah Mbah barusan dikabari sudah meninggal.”  


Kematian itu nyata, bahkan ada yang mengucapkan hal biasa. Tapi, tetap saja itu menyedihkan, sangat menyedihkan (!). 


**

Saya mengiyakan jika sebagian orang mengalami jenuh, atau sampai pada taraf frustasi. Mengeluhkan pendapatan yang kian menyusut, kerja mulai serabutan, dan pedihnya lagi--masih merasakan kehilangan orang yang disayang. 


(Allah kan tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuan umat-Nya kan?). Atau sebaliknya, dengan adanya herd immunity? Yang kuat bertahan, yang tidak akan tiba pada kematian. Dan semua bergantung orang yang berkuasa, punya kedudukan pula (?)


[REHAT]

Namun, disini juga hal-hal yang masih bisa ditertawakan (kalau kata Mbah Nun, “Puncak dari tertawa adalah Menangis: Tertawa yang sampai pada puncaknya adalah air mata). Sepertinya berlaku pada saat ini.


Banyak video atau gambar yang viral di TikTok atau media sosial lain. Membuat diri ngekek sendiri, dan geleng-geleng kepala. Gambar yang akhir-akhir ini diunggah oleh kontak whatsapp android saya adalah bapak paruh baya yang memakai masker se-dus atau se-pak. 


Bisa dibayangkan kan? Begitu tebal dan berlembar-lembar, bertumpuk-tumpuk dipakai sekaligus. Dan, edan, covid membuat diri semakin tidak normal. Mengutip kata Mbak Kalis di akun twitternya, covid Janc**kk. 


Adapun ulasan yang meliput kaum heleh ala Covid-19. Di tengah gentingnya suasana pandemi, ada saja hoax dan pola kaum yang tidak percaya covid. Entah takut disangka mengimani covid atau bagaimana. Mereka pakai masker satu lapis saja enggan, apalagi sekarang ada anjuran memakai masker dobel, masker medis yang dilapisi masker kain.


Berikut beberapa potret memakai masker dengan varian gaya. Sekarang banyak pengait masker. Tujuannya bagus, agar tidak lupa membawa masker. Tapi, buat apa jika itu buat gaya dan variasi saja, sedangkan masker dikalungkan, gandul-gandul ketika swafoto, mbuh kudu misuh


Saya ulas lagi untuk variasi masker yang pantas di-pisuh. Masker yang dipakai di jidat, masker yang digantung di telinga kanan atau kiri saja, masker yang ditaruh atau berhenti sampai dagu saja, dan satu lagi yang baru saya lihat adalah satu tali diletakkan di tangan (dibuat gelang). Sangat accessoriable; kata yang saya karang sendiri.


Begitu random keadaan masyarakat sekarang. Meskipun demikian, kita sebagai manusia yang diberi akal sehat dan dalam keadaan sehat pula jasmani pun rohani. Bisa memilih, dari contoh atau tayangan yang hadir di setiap lini masa. Mulai dari merawat tanaman, menekuni bisnis start-up (online), lebih giat dalam belajar, menuntaskan hafalan, menuntaskan skripsi, berjuang melawan malas, dan berusaha bangun kembali di setiap pagi yang masih menyapa diri. Sungguh luar biasa, masih bisa bersyukur, lebih dan lebih.


Biar tidak ikut mengkampanyekan, "Kenapa kalau Covid-19 matinya di RS, ga di rumah, ga di jalan. Ada apa dengan RS?", pemikiran kaum cuma paham "kalau di RS di-covidkan". Selain itu, kayanya, mmm apa ya yang kurang dari diri mereka itu? Ah sudah saja ghibahnya!


Usaha yang sudah ditempuh. Ibaratnya berulangkali uji coba alat baru, belum berhasil, dan masih melanjutkan ikhtiar lagi,  dimodifikasi lagu, dan di uji coba lagi. Apapun itu, peraturan pemerintah, atau inovasi para ilmuwan dan, etos wong cilik. Allah menyimak semua itu.


[Diedit pada Kamis, 15 Juli 2021: Lok. Kamar DPR PPHA]

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton