Kegentingan Pandemi, Saya pun (hanya mampu) Menulis

Ahad pagi,

Masih sama, dengan kebutuhan android-sasi. Menyibak berita di setiap lini masa sosial media. Kabar yang muncul masih sama, Balada Covid-19. 

Covid-19 yang bisa merambah ke berbagai sektor masalah. Tayangan pertama yang saya buka, ajakan untuk diri sendiri. Kenapa saya bilang demikian? Karena ajakan untuk tidak mempercayai virus Covid-19 cukup dikonsumsi pribadi. 

Tolonglah! Jangan menyebarkan, kalau pandemi itu hal biasa, kasus Covid-19 hanya sedikit, tidak perlu menaati prokes, seperti itu kurang lebih ungkapan akun yang peduli lindungi dari Covid-19. 

Jika tidak percaya Covid-19 yang sudah banyak meregang nyawa, cukuplah disimpan dalam hati. Tidakkah sadar dirimu? Jika disebar di lini masa, banyak orang yang membaca. Tau kah apa dampaknya? Abai dengan Covid-19. Dan yang lebih parah, bertambah pula kebencian dan semakin ingin menyebarkan kabar berita yang menyatakan Covidiot.  

Bukan hanya sakit fisik? Sakit hati, penyakit hati pula yang ditimbulkan. Bisa-bisanya menyebarluaskan dan itu sama saja mengajarkan (ketidaktepatan).

Bersambung di lini masa selanjutnya,

Menyimak konten dari Narasi Mbak Najwa Shihab. Menyoal Hilang Rasa. Bukan Anosmia, yang tidak bisa mencium dan merasa (bau atau makanan). Tapi  Hilang rasa, hilang Empati. 

Siapa si mereka? Siapa saja yang tidak ada welas asih di saat keadaan genting? Jawabannya, "Pejabat", tutur dalam siaran itu. 

Pejabat harus disediakan tempat isolasi khusus, anggota dewan menolak isolasi setelah dari luar negeri, pejabat desa sedang melakukan hajatan pernikahan dan pesta di hari pertama PPKM, pejabat harus mendapatkan tempat ICU.

Siapa pejabat itu? Siapa?

Wajar jika pejabat dalam pengawalan atau pengawasan, juga jamuan (pelayanan) khusus. Tapi, mengertilah (...) 'jika itu dalam situasi normal'. 

Apakah dibenarkan, jika ada masyarakat yang melewati masa kritis (Covid-19) di ruangan ICU dikeluarkan begitu saja ketika ada pasien pejabat? Apakah iya, jika saat pasien (jelata) sedang menghirup udara dari oksigen dengan megap-megap dicopot dan dialihkan kepada pejabat yang membutuhkan? 

Bukannya sama -sama membutuhkan tanpa ada kategori status sosial? (Otak  mana otak? Atau otak-otak yang digoreng adanya)

Anosmia varian baru... 

Swipe lini masa terakhir. Dari Mas Agus, yang menulis esai di mojok.com. Artikel yang berjudul Ketimbang Sinetron Ikatan Cinta, Pak Mahfud MD Seharusnya Menonton Tayangan-Tayangan Televisi Ini mengulas Pak Mahfud MD yang beres nonton Ikatan Cinta di TV pas wayah PPKM ini.

Sebelumnya, saya nemu artikel yang bisa dibilang judulnya provokatif. Saya lupa dimana situs webnya. Kurang lebih isinya, 'Presiden blusukan bagi-bagi sembako, Menteri Kopolhukam sibuk nonton sinetron, dan Menteri Sosial sedang memaki ASN yang kerja lelet untuk dipindahkan ke Papua saja'. 

Blusukan adalah kerjaan ditingkat RT, bukan wayahe presiden. Sedangkan secara global, masalah kekurangan tabung oksigen tidak ada tindak gercep dari pemerintah. Lanjut, Pak Menteri lha ko nonton sinetron, dan rakyate merintih kesakitan. Sedangkan, Ibu Mensos, sudah memaki masih memarjinalisasi pula. Maksudnya Papua dikasih ASN lelet itu bagaimana Bu? (Sederet analisisnya)


Mas Agus di artikel pojokan khusus mengulik film apa yang cocok buat Pak Mahfud. Yang dinilainya, film Ikatan Cinta kurang pas ditonton Pak Mahfud sebagai Menkopolhukam yang seharusnya nonton serial yang menumbuhkan rasa iba atau tertuntut oleh keadaan pandemi ini. Biar geraakkkk bertindak!!

Berikut ini pilihan Mas Agus untuk Pak Mahfud MD yang kiranya sedikit fresh ketika membaca berita menyebalkan Pak Mahfud sedang menonton Sarah.

The Day After Tomorrow, Geostorm, San Andreas, 10.0 Earthquake, Chernobyl, National Geographic, atau 86 (Delapan Enam). Setidaknya menulis atau berkomentar itu memberi solusi. Kaya Mas Agus ini. Hehe

Masih ada tambahan kutipan dari nitizen pembaca artikel Mas Agus, "Tidak apa-apa, nonton sinetron biar tidak tegang terus", benar juga ya. Ada juga komentar "(isinya iklan bikin rumah, atau beli tanah ya)", bagus juga idenya, itung-itung ada yang tertarik bisa dapat pendapatan.

Topik, perbincangan, atau permasalahan banyak macemnya. Gimana  tidak bingung ya? Saya sudah baca 3 akun dengan 3 konten, dan hanya bisa menuliskan ini, eh bukan 'hanya' tapi 'sudah menuliskan ini'. Sudah mubal wal hamdulillah. Bagaimana jika masih melanjutkan scroll up and scroll down, mumet, saya nulis parafrase juga tambah ruwet. 

Do what you learn ya! Semoga tidak terprovokasi, mudah-mudahan dijauhkan dari sifat acuh (jika dalam situasi harus saling membantu), dan tidak pula jadi orang yang ikut campur dalam hal yang tidak kita tahu, dan timbulah kebencian. 

[Jika kamu mendapatkan pelajaran-kebaikan, maka tunaikan, dari mulai diri kalian]- tentu ini pesan untuk diri saya juga.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton