Lupa #Day 25

29 Juli 2020

Saya memberi judul "Lupa", karena kebiasaan yang kurang baik. Tidak tepat waktu dalam menulis. Terakhir di notes 'satu hari satu , satul tulisan', baru sampai tanggal 28 Juli. Saya kira kurang satu tulisan saja. Di hari terakhir, kepulangan dari pondok. Tapi, setelah diruntut. Saya di pondok selama kurang lebih 26 hari, sampai tanggal 30. Walaupun hanya setengah hari, di hari terakhir. Saya kira, cukup 25 hari. Ya, begitulah. Intinya, adakalanya menulis yang tidak disiplin, seperti ini contohnya. Dan saya berusaha, nembeli (mengganti) untuk memenuhi komitmen menulis satu hari satu tulisan di masa pengabdian sesi pertama.

Pagi dengan hawa dingin, menusuk tulang. Saya kira, Jepara baru kali ini, menampakkan rasa dinginnya. Bukan dingin, laiknya sikap seseorang. Tapi benar-benar dingin, yang diungkapkan oleh ufuk timur, dengan ditandai surya menyapa.

Aktivitas pagi, menemani Yunita. Adik kelas, yang dulu masih kelas 7 Mts. Sekarang, sudah kelas 12 Aliyah. Dia jadi cah ndalem. Saya menemaninya untuk membeli nasi pecel di warung seberang pondok. Langganan keluarga Umik. Tapi, sebenarnya, permintaan awal adalah ketan, di warung langganan satunya. Warung Mbah Becu, julukannya.

Intermezo,

Mbah Isah, Mbah Becu, Mbah Bolot I, Mbah Bolot II

Mondok di Hasyim Asy'ari Bangsri, menjadikan saya tahu istilah penjual yang menjadi langganan santri, ada beberapa langganan ndalem

Langganan Ndalem,

Mbah Isah, Mbah Becu (Mbah Nab), Mbah Bolot II

Ketiganya adalah penjual pecel. Ada perbedaan diantara ketiganya, dari menu yang disediakan selain pecel. Warung Mbah Isah, warung pecel dan soto. Warung itu sepertinya legend. Karena turun temurun dari orang tua ke (diteruskan) penjual yang saat ini (anak). Saya tidak paham siapa namanya. Tapi saya juga melihat dari warungnya. Warung yang dihiasi dengan pajangan foto-foto lama. Orang-orang berpengaruh, ulama. Diantaranya Gus Dur, dan ada beberapa Kiyai, yang saya tidak hafal. Dan ada beberapa foto, menunjukkan pengunjung yang pernah berkunjung dan makan di warung itu. Sialnya, saya lupa. Memang lupa itu penyakit akut. Astaghfirullah..

Warung Mbah Becu, penjualnya bernama Mbah Nab. Sepertinya Ibu saya pernah membeli pecel disitu. Saya yang memberi tahu, ketika saya masih mondok dulu (aliyah). Di hari pengabdian #Day 25, saya menemani Yunita kesitu. Membeli ketan, permintaan Abi-istri Ummah, sepertinya. Sayangnya tutup. Kita kembali ke pondok, matur (bilang) bahwa warungnya tutup. Maka digantilah permintaan Ummah. Yaitu pecel tanpa bumbu, yang sayurnya cukup bayam dan taoge, tanpa kacang. Kami kembali keluar, menuju warung Mbah Isah. Kembalinya keluar, adalah kali kedua dalam waktu pagi itu saja. Ternyata, kita harus balik ketiga kali. Karena, Umik menghadang kita ketika kita sampai dari membeli pecel pesenan Ummah. Umik ngersaake (menghendaki) nasi oseng. Walhasil kita kembali. Pas tiga kali, Sunnah. Eh, barokallah...

Warung Mbah Bolot II, warung pecel langganan Umik. Boleh beli pecel seharga 1500-2000 rupiah, sudah dengan nasi. Maa syaa Allah. Masih ada ya, pikir saya. Sekilas keadaan warung Mbah Bolot II, warung yang di gelar di rumahnya sendiri. Tidak nampak bahwasanya beliau (Mbah Bolot II), sedang berjualan. Tapi tidak perlu risau, karena sudah punya langganan. Yaitu santri putra. Ciri khas santri putra: "Nasi Banyak, Harga Murah". 

Santri pernah membeli,

Warung Mbah Bolot I, warung yang berjualan jajan zaman doeloe. Saya lupa-lupa ingat, apa saja menunya. Tapi saya pernah membeli bubur kacang ijo, yang benar-benar bubur. Sangat kental. Saya suka ketan hitam. Mulai harga 2000-3000 rupiah, anak pondok membelinya. Sebutan Mbah Bolot, sudah jelas. Karena untuk mendengar suara kita ketika memesan yang sudah  dengan nada tinggi, harus ditanya berulangkali. Kita harus tahu dan paham, ketika sudah sepuh (seperti Mbah Bolot), kemampuan mendengar sudah sedikit berkurang. 

**

Saya ingat, di hari ke-25 atau ke-24, saya keluar. Menikmati sore, membeli nasi kucing (porsi kucing). Saya juga mampir, di rumah Bu Inun. Saya merasa, lega dan greng seneng. Ternyata, bukan perihal mewah, mampu, dan berstandar. Tapi segala hal baru, yang saya temui, adalah ilmu dan pengalaman berharga. Termasuk ke dalam cerita pengabdian, yang masih penuh ke-absurd-an. Saya masih dalam ingat, setelah membaca, dan terpaku kuat dalam memori. "Menjadi Pembelajar Sejati."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton