Sepucuk Ucap, Ijin #Day 26

30 Juli 2020


Hati rasanya gundah, hanya karena dilema pulang ke rumah dari pondok yang jaraknya kurang lebih 7 km saja. Dasar saya. 

Meminta sebuah persetujuan, ijin pulang ke Umik suatu hal yang membuat diri saya lemes (lemas). Saya tidak pernah merasakan seperti itu sebelumnya. Ijin yang bukan seperti biasanya. Ijin pada Bunyai, yang telah menerima saya dengan tangan terbuka, menurut saya beliau sangat mengajeni (menghargai) murid seperti saya yang mungkin belum layak menjadi murid beliau. 

"Umik ajeng ijin, Alhamdulillah sampun angsal ijin sangking Mama. Kira-kira pripun? (Umik, mau ijin, Alhamdulillah sudah dapat ijin dari Mama. Kira-kira bagaimana?) ", terbata-bata saya mengucapkan.

** 

Awalnya tidak diperbolehkan pulang. Karena diutus membuat kue kacang yang hendak dibawa ke Surabaya di acara pernikahan cucu Umik, yang insyaallah Umik satu Minggu tidak berada di pondok. Saya senang, karena kalau saya pulang, seperti tepat waktu. Karena Umik, yang biasa minta teman atau meminta tolong (walaupun ga seberapa), saya kira termasuk bagian pengabdian, saya bisa lega untuk ijin tidak menemani beliau terlebih dahulu.

**

"Bagaimana, kalian sanggup membuat kue kacang, dan santri putri ini pulang?", tanya Umik pada santri putra, yang selalu stand by tidak pernah pulang dari pondok. Umik menanyakan, setelah saya matur sama Baiti terkait ijin pulang lebaran Idul Adha.

Santri putra mengiyakan. Dan Alhamdulillah, santri putri boleh pulang. Tapi ada saja rasa yang tidak klek di hati. Seperti ada yang tidak suka dengan kepulangan, kita santri putri. Terutama santri putra, walaupun hanya satu orang. "Ah, sudahlah. Biarkan saja", ucap Baiti. Dia tidak mau peduli dengan hal remeh itu. 

Saya pulang dengan rasa yang mencoba untuk tenang. "Apakah ini, ngabdi, ikut orang, bukan orang tua, orang lain (guru) yang kita panut, sungguh ewuh, takut berbuat salah, tidak bebas. Tapi ada pikiran positif, apakah mungkin ini yang namanya riyadhoh?", ucap diri pada diri sendiri.

**

Motor melaju, beberapa kali berhenti di toko buah, warung makan, warung kelontong. Siang menjelang sore itu, saya dijemput Ibu sekalian membeli beberapa perlengkapan, dan makanan. Saya salawat, untuk memantapkan hati, bahwa saya pulang ini sudah mengantongi ijin, tidak melanggar janji, atau niat yang kurang baik (apapun). Saya serahkan pada Sang Maha.

Foto sebelum pulang: Baiti, Saya, Via, Anita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton