Malam 27 Ramadhan 1441 H (ini) ...
Loc: Kudus (Shoot Nokia 3) |
Gadis itu sedang tidak tarawih, dan tidak bisa puasa. Hal lumrah
yang sedang dialami, yaitu siklus mens pada perempuan. Hanya saja si
gadis menyayangkan keadaannya. “Kenapa ketika malam istimewa seperti ini, Aku
tidak mampu untuk bercumbu dengan-Mu Ya Allah”, hanya sesal sementara dalam
lisan.
Sebagian kaum awam ada yang sependapat dengan si gadis,
menyayangkan puasa yang tinggal di ujung waktu menuju kemenangan. Namun, ada
tamu dari Allah datang. Sesal tidak mengapa, akan tetapi penerimaan jauh luar
biasa. “Beribadah tidak hanya disimbolkan atau diwujudkan dengan memegang mushhaf
yang berisikan laa yamassuhuu illal muthahharuun, “Tidak dapat memegang
kecuali dalam kedaan suci”. Tidak sesempit itu—beribadah kepada-Nya,
sepertinya.
Sungguh tidak pas, ketika Allah tetap menurunkan rahmahnya tanpa
batasan apapun terhadap makhluk-Nya, dengan rahman-rahiim yang sangat
luar biasa. Lantas, manusia yang membatasi dengan sendirinya bagaimana
berkomunikasi dengan Allah, yang mengedepankan alasan paradoks.
Dalam keadaan apapun, hati, diri tetap terhubung dengan Allah.
Dzikir selalu didawamkan. Tidak ada yang lebih unggul, antara membaca mushhaf
qur’an dan mengingat Allah dengan cara apapun. Berbondong-bondong menuju
rahman-rahim Allah, dengan versi masing-masing, yang tidak merumitkan dan
mempersulit untuk selalu bermanja kepada-Nya.
Si gadis tersenyum, melihat bulan. Dan melanjutkan dalam gerilya
jari di atas mesin tik, sambil berusaha mengingat-Nya dengan salawat (atas Nabi
Muhammad)
Laa haula wa laa quwwata illa billah
(Masih terus diuji dalam kelalaian, Nafsu Gadis)
Komentar
Posting Komentar