Kontributor Mojok yang Enggan Tertolak!

Suatu hari saya membuka platform Mojok. Saya termasuk pembaca yang memfavoritkan platform renyah ini. Banyak konten yang ditawarkan, menggelitik untuk dibaca. Kesan saya, ko bisa ya dapet ide kayak gitu. Pernah baca tulisan yang judulnya "Nggak Berani Ngaku Jatuh Cinta sama Teman Sendiri karena Takut Merusak Persahabatan" klik ya!. Ya mungkin itu yang saya ingat, karena relate dengan pengalaman saya. Eh.. Cukup lah, nanti jadi curhat. Mari kita lanjut.


Berawal dari teman dan senior, sehingga saya tahu platform ini, berujung cocok, dan timbul ambisi untuk ikut nulis di dalamnya. Ya, apa salahnya mencoba. Sampe-sampe, sempat searching dan menemukan dari salah satu sumber. Ternyata pesangon kontributor di Mojok, menduduki peringkat pertama dari website-website lain. Lha ko malah bahas royalte, ah sebagaimanapun usaha penulis, tetap saja uang lelahnya terhitung kecil, seperti kata penulis Bernard Batubara,, dalam sebuah seminar di kampus, sempat mengucapkan "Menulis itu aktivitas yang berat, dan uang komisinya kecil, tidak sepadan. Menulis bisa menjadikan stress bisa juga stress karena tidak menulis--saking candunya atau gabutnya". Hehe

Saya tetap mencoba, beberapa kali saya mengirim artikel di email redaksi Mojok. Dua artikel, langsung dibalas dengan santun, 'Terima kasih sudah mengirimkan artikel di redaksi Mojok dan kami terima tanpa kurang suatu apapun' dan 'Maaf artikel Mbak belum bisa kami muat'. Saya dengan legowo, saya menerima. Lebih baik mencoba lantas ditolak, dibanding hanya diam dan tidak memulai. Nyesek, kaya suka teman sendiri tapi diam, berkaca dari judul yang saya tuliskan di atas.  Hiyahiya. Lanjut, mengirim artikel yang kedua, jawaban kurang lebih sama dengan sebelumnya. Saya: oke saja!. 

Setelah artikel ke-2, saya rehat. Sepertinya susah, dan ketika itu saya bertemu dengan teman. Kebetulan mahasiswa dari pak Khadafi di Surakarta. Dia menuturkan, susah untuk bisa menulis di Mojok. Saya membatin, dia saja tahu siapa penulis yang sudah lama di Mojok, tahu relasi lah. Mengakatakan ketidakmungkinan untuk saya bisa mampang tulisan alakadar. Apalagi saya, yang bermodal baca di ketentuan pengiriman naskah Mojok. Terpantik pikiran jelek, "Apakah yang dimuat di Mojok itu karya orang-orang tertentu, dan ada unsur KKN-nya? Ah dasar lambe saya", sampai situ saja.

Eh ga kapok, ngirim artikel ke-3 dan ke-4. Saya kira jawaban sedikit melegakan. "Kami sudah menerima naskah tanpa cacat, dan tunggu sampai 5 hari, kalau tidak ada balasan, boleh mengirimkan tulisan lagi atau memuat tulisan sebelumnya ke website lain." Setidaknya ada progress. Hahha. Artikel ke-3, saya antusias menunggu sampai 5 hari kedepan, dan Alhamdulillah, statusnya coba lagi. Dan yang ke-4, saya mau-maunya mengirim, dengan jiwa pesimis. Ya iyalah, "Allah mengabulkan sesuai prasangka hamba-Nya", naskah diterima namun belum sampai dimuat. Tapi saya baru sadar sekarang. Kalau saya tidak menggubris waktu untuk menunggu yang ditetapkan selama 5 hari itu. Ternyata mindset saya, "Ah pasti tidak diterima", duhduh mental peyeum. 

Baru 4 artikel ya gais. Saya masih mengikuti laman ini dan baca selewat di Mojok. Artikel yang saya temui ketika baca timeline Twitter. Ada tulisan, "Silahkan menghubungi kontak ini apabila belum masuk dalam grup kontributor mojok", kurang lebih demikian. Saya termasuk orang yang grusa-grusu melihat notif itu. Dan saya langsung menghubungi nomor tersebut lewat WA. Pikiran saya, siap siaga mengikuti kelas menulis yang disediakan Mojok, atau apalah, asal bisa masuk grup yang termasuk bagian dari Mojok. Iya, ingin, benar ingin. Eh ladalah. Ternyata tidak tamat membaca, atau kategori disleksia; susah paham dengan maksud suatu kalimat.

"Hah, gimana mbak", balesan dari Mas atau Mbak Mimin Mojok. Khas banget, khas pojokan. Dilanjut dengan pertanyaan sekaligus pernyataan saya, jika saya bisa bergabung. 
+62 821-3718-5xxx: tulisanmu udah pernah terbit di mojok, mylov?
 +62 821-3718-5xxx: maaf ya, ini grupnya masih khusus untuk yang udah pernah nulis di terminal mojok nich.

Ketahuan lah saya, kalau saya ternyata ga baca tuntas. Asal semangat yang menggebu, giliran ingin ikut gabung tapi tulisan saya belum pernah terbit di Mojok, cukup sampai di badan email saja dengan balasan yang super friendly. Balasan yang membuat saya ingat, dan nyatanya masih mau berjuang nulis. Ahahha

Sekuy nulis, di platform mana saja. Mojok juga boleh. Kalau tidak salah jika belum beruntung masuk di Mojok bisa kirim di Terminal Mojok. Segala ketentuan sudah tertera, dari mulai menulis nama dan memasukkan teks pada kolom yang disediakan, sampai honorarium yang disistem poin. Baik Mojok atau Terminal Mojok, terimakasih sudah menjadi platform ruang curhatan lewat tulisan. Banyak inovasi, membuat pembaca kudu baca tuntas, dan semangat terosss makaryo lewat tulisan. Otewe puluhan kali penolakan yeu yang disertai rasa enggan tertolak lagi dan lagi. Haa, tak tahu diri.. rapopo ya Mas Agus dengan siklus: nulis kirim ke Mojok, coba lagi ke Terminal Mojok, apes, njur nulis lagi, ngono nganti ra bosen.

Nyatanya tertolak, selamat berjuang saia!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton