Paras Buruh



Sore, padat sekali di ruas jalan utama Jepara-Kudus. Tepat di waktu pulang kerja, pabrik-pabrik serentak membuka gerbang yang menandakan para buruh boleh kembali ke rumah. Mulai pagi jam 8 sampai jam 4 sore, diri (para buruh) harus siap melaksanakan semua tugas, yang nanti akan masuk dalam bill gaji di akhir bulan. Dengan segala peraturan pabrik, kreativitas dan kebebasan bisa dibilang dibatasi. Karena hanya sesuai komando saat melakukan (aktivitas) pekerjaan dalam beberapa jam itu. Menurut penuturan beberapa orang yang saya tanya, pekerjaan dalam pabrik hanya satu hal saja. Misalkan di garment (pabrik tekstil); entah memasang kancing baju (saja), memasang lengan (saja), atau yang lainnya, saya juga kurang tahu detail.


Sinar matahari semakin terkikis. Sudah berupa mega merah, yang lama-lama berubah menjadi gelap pekat. Mungkin waktu malam menjadi waktu istimewa yang dinantikan para buruh pabrik. Untuk merebahkan badan di kasur. Ribuan perempuan memadati jalan, ada yang berseragam biru, ada yang hitam putih. Warna seragam yang menunjukkan mana karyawan dan mana buruh tetap. Pemandangan yang membuat saya hanya diam. Dan terpantik dalam pikiran, "Mereka kuat, tapi sayang seribu sayang", menurut saya berat menjadi buruh pabrik.


Sekitar pukul 7 malam, saya melintasi jalan yang sama, hanya berbalik arah. Saya menuju jalan pulang. Masih ada saja perempuan berseragam hitam putih yang hilir mudik. Mereka membawa plastik kresek, "Mungkin itu kresek yang berisi makan malamnya". Ungkapan saya yang diiyakan oleh Ning pondok saya. "Eman Mba", begitu tambah beliau. Saya juga menyayangkan. Saya tidak kuat, dan tidak ingin. Tapi tidak menutup kemungkinan, jika saya di posisinya, sehingga menjadi buruh adalah pilihan.


Senyum, bercanda, ada yang jalan sendiri, berbarengan, sebagian tertutup masker, tidak tahu bagaimana raut wajahnya, yang bisa dilihat dari sungging bibir, atau cemberut. Ya! Setiap orang berbeda dengan apa yang dihadapinya. "Saya tidak mampu", lagi-lagi saya menguatkan kelemahan saya. 


"Kerja di pabrik, susah sekali meminta ijin. Ketika ada keluarga yang meninggal tetap saja masuk kerja, misalkan istrinya meninggal, tetap diutus untuk masuk. Namun, Alhamdulillah bapak saya kenal bosnya. Jadi masih bisa jika ijin karena keperluan yang mendesak", ucap teman saya. Dia anak sulung, kebetulan ayahnya kerja di pabrik. Perkiraan saya, dia sebagai anak pertama sedikit banyak tahu bagaimana cerita lika-liku hidup dalam keluarganya. Dan satu hal, dari ungkapan teman saya, saya meyakini betapa "butuh dan pentingnya relasi". Sehingga bisa lebih mudah dalam perizinan.


"Kalau buruh yang memakai kalung identitas kuning, menunjukkan sudah naik staf (posisi yang lebih tinggi) ketimbang buruh yang memakai kalung identitas warna biru, karena itu masih di posisi karyawan", timpal teman saya. Entah dia tahu darimana, sepertinya banyak teman atau wawasan yang menjadikan dia tahu hal seperti itu. 


Banyak sekali yang saya lihat dan saya dapat. Ketika tahu, maka saya belajar. Setiap orang punya pilihan dan latarbelakang sehingga memutuskan pilihan itu. Sedikit cerita buruh. Saya ingin menuliskan sambil mengingat hari (5-6 Oktober 2020, RUU Cipta Kerja yang menuai banyak sorotan). Keputusan yang ditetapkan oleh DPR beserta Presiden RI, dalam poinnya menunjukkan kerugian yang sangat dirasa oleh buruh. Mulai dikurangi jam cuti, gaji dihitung perjam. Tidak tahu lagi poinnya apa saja, tidak tahu pasti. Karena ketika baca berita lain, ada juga penjelasan dan rincian bagaimana pelaksanaan hasil dari omnibus law itu. Yang dalam penuturannya, bukan berarti merugikan (juga)!


Buruh, kerja keras, kerja fisik, upah tak sepadan, skill pas-pasan dan ditambah adanya pemangkasan pasal, yang membuat tambah ciut nasib para buruh. Sedih. Tapi benar saja, ketika ada yang mengungkapkan "Jangan bermental buruh". Memang, setiap orang ingin menjadi orang pintar, bisa kerja mapan. Apa boleh buat dan apa bisa dibilang atau bahasa jawanya lha embuh.


Banyak sekali macam, dan sesungguhnya semua yang terlihat hanyalah penilaian. Baik buruh, baik pejabat, baik diri sendiri ini, mari mengkritik dengan aksi. Belajar terus, jangan malas, hindari bodoh, tetap jaga kewarasan:)


Doa yang terbaik untuk bangsa dan negara Indonesia(ku)...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton