Bangsri

Aku besar di daerah Bangsri. Sejak SMP sampai Aliyah. Dan aku menemukan tempat, dimana aku tahu apa itu riyadhoh, mengenal guru, dan ada rasa ‘klek’ di hati. 

5 Juni 2020, aku menyinggahi Bangsri. Bukan hal yang istimewa, seperti sudah lama tidak mengunjungi, lantas aku berkunjung pertama kali. Bukan ! Aku berulang kali ke Bangsri, dan tidak ada rasa jemu. Tapi rasa selalu ingin ku memburu. Ingin ku jemput, kejar, bahkan menetap.

Banyak hal yang kudapati, dan masih bisa ku jumpai. Tidak hanya tempat, tapi juga sosok. Mulai dari Kiyai, Bunyai, Kang-kang, dan rekan-rekan. Aku tidak merasa sepi, atau hampa. Aku masih bisa merasakan walau dalam kesendirian, tapi nyatanya aku tidak pernah sendiri. Selalu ada orang-orang yang bisa diajak (mengajak) untuk saling mengisi. 

Syukuran IKAHABA, orang-orang ini yang membuatku mengerti arti mengabdi

Ka Hay, Ketua IKAHABA: sedang potong tumpeng

**
Aku mengunjungi salah satu Mbak, yang mengajariku memulai mengarungi keinginanku. Yang ku sebut di paragraf pertama, menetap di Bangsri. Allah mengabulkan ! Aku mengabdi, nanti. Sebuah ikhtiar agar tidak kagetan. Aku menemui Mbak, beliau Mbak Nisa. Sudah dua tahun mengabdi di Pondok Pesantren yang sama-sama kita tinggali dulu, hanya saja beda kawasan, dan beda wilayah asuhan (Pengasuh). Aku di Pusat, dan Mbak Nisa di Joglo. Hanya sebutan, hakikatnya satu, santri Abah Amiin Sholeh.

“Jalani saja dek, bukan untuk dipikirkan. InsyaAllah, pasti pengasuh mengarahkan, dikrenahno. Aku juga dulu ga kebayang, bayangannya kabur, pie-pie. Alhamdulillah, bisa menjalani. Pasti dikasih kelas mengajar. Dan niatmu bagus, semoga bisa neruske ngajine. Kalau kamu mondok, pasti diikutkan di jajaran yang ngurus pondok”, jelas Mbak Nisa dengan senyum yang tak pernah tertinggal
Nggeh Mbak, pasti udah disiapkan ya Mbak. Setidaknya aku bisa mengungkapkan niat, diskusi, baiknya gimana. Biar ga kaget”, sambungku dengan senyum lega, namun pikiran berpetuah dengan sendirinya.

Video sebenarnya, ngukuk:v

**
Aku menyusuri jalan raya, sunyi, karena waktu maghrib—aku masih dalam perjalanan menuju rumah dari Bangsri. Mobilitas kendaraan semakin berkurang. Aku masih menganggap orang Jepara (di dalamnya: termasuk Kecamatan Bangsri) cukup religius, survey mata(ku), ketika Maghrib volume kendaraan menyusut. Dan akan kembali ramai, selepas Maghrib walau sekitar 5 menit setelah adzan terakhir terdengar olehku. Pengendara, atau mereka yang di rumah menyempatkan salat dahulu, lalu melanjutkan perjalanannya. 

Bulan terlihat di ujung ke arah Timur, bulat terlihat sempurna. “Apakah ini malam purnama?”, “Oh tidak, baru malam 14 bulan Syawal”, demikian pertanyaan dan jawaban dari diri ini, yang sendiri mengendarai motor, vario merah, andalanku, sejak Aliyah yang kebanyakan teman sudah tahu, dengan khas menyeletuk, “Motornya kebesaran, kamunya kecil, lebih cocok motor Beat”. Lantas kujawab lantang, “Betol....”. Ahh, mengingatkan kala itu.

Satu hari menjelang purnama, nampak sempurna dhohir Si Bulan. “Semoga hajat, dan apa yang terucap Allah kabulkan, dan dihindarkan dari mudharat, Aamiin.” 

Hamalatil Qur’an, Perjalanan Tanpa Tujuan, Selama Perjalanan, Allah Ingkang Ngatur. Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton