Bu(n)tut Birokrasi,


www.alsalta.com

Kantor selanjutnya, hanya  berjarak kurang lebih3 km. Masih sama dalam kota, berjejeran gedung bertingkat namun tidak sampai mencakar langit. Hee. “Tidak semua bisa menikmati suasana ini, mungkin. Walau sebatas kabupaten.” Adik dan kaka itu masih bisa mengkases kota kabupaten dengan jarak tempuh 20-30 menit. Pengalaman adik ketika mendengar temannya yang rumahnya diujung nan pelosok desa dari kota itu, harus sedari subuh berangkat agar sampai kota kurang lebih jam 8, dan masih antri, tidak jarang mengantri sampai 2-3 jam, dan masih menempuh perjalanan pulang. Kalau perjalanan lancar, maghrib sudah sampai rumah. Ada lagi, ketika tidak selesai diurus dalam satu hari, harus kembali ke kantor di kabupaten, sekalipun hanya mengambil berkas yang diurus sebelumnya. Begitu administratif, otoriter, sistematis, ya dengan tujuan mensejahterakan rakyat. (Aamiin banter, untuk ucapan terakhir ini)

Sepeda motor sudah pada tempatnya, di parkir dibelakang gedung. Pemandangan yang sedikit berbeda, walau tidak mengganggu. Semenjak wabah covid membersamai masyarakat ini, beberapa sistem sedikit berubah, untuk menekan penyebaran virus ini, aturnya. Lahan parkir yang awalnya disamping gedung, dirubah di belakang. Karena samping gedung, dialihfungsikan untuk ruang tunggu. Dengan desain kursi berjarak, salah satu protokol kesehatan yang digencarkan dari WHO. 

Satpam kantor sudah berdiri tegap di samping gerbang, sesekali menyisir halaman depan gedung, seperti berpatroli di bangsal narapidana. Bapak satpam mengikuti aturan protokol kesehatan, eh. Tepatnya mengikuti HRD yang sudah memberi kebijakan, sepertinya jika tidak dituruti akan berdampak pada uang bulanan (gaji). Dasar atasan!

“Yang tidak memakai masker, tolong jangan malanjutkan proses administrasi. Silahkan mencari masker, atau meninggalkan area gedung ini”, tutur Pak satpam, yang lengkap dengan baju ‘kebesaran’ (patroli), masker, penutup wajah seperti helm, yang katanya mencegah droplet, dan suara khas keras-menghentak.

BANK, kata yang tertera jelas di papan depan gedung di kota kabupaten ini. Banyak masyarakat yang telah percaya untuk menyimpan rupiahnya, dengan iming-iming bonus, bunga ringan, dan menjamin masa depan. Hal biasa ya? Oke.

(Menunggu dimulai)

Nomor urut 15 dipanggil untuk maju menuju teller 1. Banyak teller di bank (kantor utama) itu, sekitar sembilan, tapi nomor antrian yang sudah mencapai 30-an lebih. Untuk jenis nomor antri A; sekitar 17, dan 15 lagi nomor antri B. Kurang lebih, adik dan kaka itu mengambil nomor antri, 26. Lagi-lagi birokrasi, iya bukan? Atau apalah. Dengan segala peraturan penguasa untuk masyarakat yang tak henti-hentinya datang menarik nomor antri. Yang jika dihitung antara pemilik dan pegawai PT itu lebih sedikit dibanding nasabah. Tidak ketinggalan, seluruh peraturan berlaku.

(Satu setengah jam kemudian)

Nomor urut 26, di loket B (bunyi pengeras suara otomatis, untuk memanggil nomor urut nasabah)
“Yang masuk cukup satu, yang satu tolong menunggu diluar”, cegat satpam yang mendapati adik-kaka masuk bersamaan dengan satu nomor tiket antrian.

Satpamnya tidak cukup satu. Yang memberhentikan kaka adik adalah satpam yang di dalam, sedikit lebih klimis rambutnya dan wajahnya masih muda. Mungkin efek, AC, pengharum ruangan, dan rupiah yang lebih besar. Entah ding!

Akhirnya, yang membuka rekening adalah Adik. Kaka menunggu di luar. Tidak terbayang sebelumnya. Karena yang pernah dialami Adik, yang mengantar boleh saja ikut, asalkan ada kursi kosong. “Dodol, akunya”, sontak terucap dari bibir Adik. Melihat ruang tunggu, layaknya di luar negeri. (Padahal Adik belum pernah ke luar negeri juga, xixi) Rapih, baris sesuai instruksi, satpam menjalankan tugas yang (tampak) sesuai. Di dalam gedung tidak berjubel, fasilitas oke, dan tetap jaga jarak. Hikmah corona mungkin ya..

Adik bersyukur lagi, ketika hape yang dibawanya lowbat. Ada buku yang menggantikan, eh. “Buku tetap buku, hape tetap hape, tidak ada yang bisa menggantikan satu sama lain. Prett. Adik membaca buku, sambil menunggu dipanggil oleh petugas. Terimakasih Cak Rusdi, Aleppo ini mebersamaiku”, (senyum Adik)

**
-Aleppo (Cak Rusdi)-
Sedikit cerita,Roti Matahari. Yang dikenal oleh Adik dan banyak orang adalah roti sisir. Ternyata itu (Roti Matahari) yang asli, dari Situbondo, menurut penuturan Cak Rusdi. Olesan mentega yang menambah nikmat, tiada tandingannya, sekalipun di mall jakarta, tidak menyediakan yang sama dengan rasa Roti Matahari Situbondo. Banyak judul yang dibaca Adik, yang membawanya kedalam kenangan dan masa depan. Diantaranya, sub judul ‘Menikah’ dan ‘Darah’. 

Proses terus berlanjut, tibalah nomor 26 masuk di loket 8. Tellernya laki-laki, masih muda. Dengan fucek nya Adik, “Untung laki-laki yang melayani”, sepertinya Adik sudah dewasa, dan bisa mengungkapkan itu. Ditanya banyak hal, dan salah satunya; memilih untuk tabungan pertama ada yang 100 ribu dan ada yang 250 ribu. Yang 100 ribu tanpa buku tabungan, dan 250 ribu dengan buku tabungan. Sial, terpaut ratusan ribu, namun hanya buku tabungan yang seukuran setengah HVS tidak penuh, jadi pembeda. Sialnya lagi, buku tabungan sebagai syarat untuk mengurus jaminan kesehatan tadi. Yongalah, mau tidak mau harus nabung yang 250 ribu. Terlalu poloskah? Adik menyetujui nominal itu...

Tidak tahu, sebenarnya apa skenario dibalik sistem yang ruwet ini. lagi-lagi Adik nyletuk, “Aku tidak lebih dari budak birokrasi, Njilll”. Masih dilanjutkan proses, dan ada tambahan rupiah yang harus dikeluarkan untuk materai, dan buku tabungan ternyata di luar 250 ribu. Astaga. Cukup

Adzan dhuhur sudah berkumandang. “Syukurlah, sudah beres”. Alhamdulillah, dua gadis ini masih dalam ingatan (anugrah Allah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton